Nelayan di Bitung Keluhkan Penurunan Harga akibat Lesunya Serapan Industri
Nelayan di Bitung mengeluhkan penurunan harga ikan tangkap yang ditetapkan industri pengolahan ikan. Kegiatan produksi perusahaan pengolahan ikan juga sedang lesu karena pintu ekspor masih tertutup akibat Covid-19.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
BITUNG, KOMPAS — Para nelayan di Bitung, Sulawesi Utara, mengeluhkan penurunan harga ikan tangkap yang ditetapkan industri pengolahan ikan. Di sisi lain, kegiatan produksi perusahaan pengolahan ikan juga lesu karena pintu ekspor masih tertutup akibat pandemi Covid-19.
Di tengah keluhan itu, kegiatan bongkar hasil tangkapan dari kapal-kapal ikan tetap berlangsung di Pelabuhan Perikanan Samudra Bitung, Kecamatan Aertembaga, Jumat (17/7/2020). Para awak Kapal Motor Bintang Terang berukuran 28 gros ton, misalnya, menurunkan beribu-ribu ekor ikan, mulai dari tuna kecil sirip kuning (baby tuna), cakalang kecil (baby cakalang), deho, malalugis, hingga ikan tude.
Sementara ikan-ikan disortir para awak kapal, Rudi (47), pemilik KM Bintang Terang, membuat catatan di buku tulisnya. Ia mengatakan, tak ada yang menghambat bisnisnya, kecuali harga ikan. ”Harganya turun bisa sampai Rp 5.000 per kilogram. Harga malalugis sekarang jadi Rp 14.000 per kg saja,” katanya.
Penyebabnya, harga beli oleh pabrik-pabrik pengolahan ikan menurun drastis. ”Tetapi, kami tetap jual ke pabrik, tinggal cari pabrik mana yang tawarkan harga cocok. Untungnya, harga bensin masih terjangkau, Rp 5.150 per liter,” kata Rudi.
Keluhan Rudi senada dengan Ketua Himpunan Pengusaha Kecil Nelayan (Hipken) Bitung Djefrie Sagune. Harga cakalang turun dari Rp 23.000 menjadi Rp 18.000 per kg. Adapun harga tuna sirip kuning dewasa yang sebelumnya Rp 60.000-Rp 70.000 per kg kini hanya Rp 40.000 per kg.
Harganya turun bisa sampai Rp 5.000 per kilogram. Harga malalugis sekarang jadi Rp 14.000 per kg saja.
”Kami selama ini hanya mengandalkan penyerapan pabrik. Karena harga yang ditawarkan jelek, kadang kami lebih suka jual ke pedagang yang ambil ikan untuk dijual ke Gorontalo atau Sulawesi Tengah. Beberapa waktu lalu ada pedagang yang tawar malalugis Rp 19.500 per kg,” kata Djefrie.
Djefrie memahami turunnya harga pembelian pabrik disebabkan sulitnya pabrik memasarkan produk mereka selama pandemi Covid-19. Beberapa pabrik yang penyerapannya masih tinggi adalah pabrik yang juga punya pusat pengolahan di area Muara Baru, Jakarta. Aktivitas pabrik juga berkurang dalam rangka mematuhi protokol kesehatan dengan menjaga jarak fisik antarpekerja.
Adapun penyerapan ikan kaleng dalam program bantuan sosial selama tanggap darurat Covid-19, kata Djefrie, tidak mampu mengangkat harga ikan. ”Seharusnya pemerintah bisa mengatur harga batas bawah agar kami tidak sampai merugi,” tambahnya.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Unit Pengolahan Ikan (UPI) Bitung Basmi Said mengatakan, saat ini ada 53 UPI di Bitung dengan kapasitas pengolahan 1.360 ton setiap hari. Namun, selama pandemi Covid-19, utilisasi 53 UPI hanya di kisaran 11-12 persen.
Sekitar 600 ton dari kapasitas UPI di Bitung dimiliki enam perusahaan pengalengan ikan. Namun, sebagian pabrik kini hanya beroperasi dua hari sepekan.
Hal ini disebabkan jatuhnya permintaan ikan kaleng besar, seukuran 1,8 kg atau 300 gram, dari pasar ekspor, terutama di wilayah Amerika, Eropa, dan China. Sebab, sebagian hotel dan restoran di negara-negara itu masih tutup sehingga permintaan ikan jatuh. ”Satu pabrik yang masih bertahan adalah yang pasarnya di Timur Tengah,” kata Basmi.
Pada saat yang sama, pabrik-pabrik pengalengan ikan terus beroperasi untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik. Namun, harga jual di pasar ekspor bisa mencapai Rp 13.000-Rp 14.000 per kaleng. Sementara pasar dalam negeri hanya Rp 6.000-Rp 7.000 per kaleng.
Permintaan pasar domestik, menurut Basmi, termasuk tinggi. Salah satu pemicunya, permintaan untuk bantuan sosial. Namun, tidak semua perusahaan bisa memenuhi permintaan itu karena harga beli yang ditawarkan pemerintah hanya Rp 5.000-Rp 6.000 per kaleng.
”Permintaan untuk bansos ini gila-gilaan, tetapi keuntungannya rendah. Jadi, bukan kami sengaja tekan harga beli dari nelayan, tetapi kami juga jangan sampai gulung tikar. Kalau kami beli ikan Rp 19.000 per kg, kami tidak mampu,” kata Basmi.
Salah satu perusahaan pengalengan ikan, PT Deho Canning Company, mengurangi produksi harian, dari 800 kardus menjadi 400 kardus. Setiap kardus berisi 48 kaleng berukuran 180 gram.
Bukan kami sengaja tekan harga beli dari nelayan, tetapi kami juga jangan sampai gulung tikar. Kalau kami beli ikan Rp 19.000 per kg, kami tidak mampu.
”Untuk sementara kami jalani dulu saja. Pokoknya pekerja aman dan kami taat protokol kesehatan,” kata Achmad Ichsan, kepala bagian pengalengan perusahaan itu.
Dihubungi secara terpisah, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulut Tienneke Adam mengatakan, turunnya harga memang disebabkan tingginya pasokan bahan baku dari nelayan. Untuk kembali menggairahkan produksi, perusahaan-perusahaan pengalengan ikan sedang mencoba menembus pasar ekspor ke Turki dan Timur Tengah.
Untuk menjaga permintaan domestik, kata Tienneke, pemerintah telah menugaskan dua badan usaha milik negara (BUMN), yaitu PT Perindo dan PT Perinus, untuk menyerap hasil perikanan di Sulut. ”Kemarin sudah dibuat persetujuan. Pemerintah menugaskan dua BUMN itu untuk menstabilkan harga,” ujarnya.
Untuk sementara, pemerintah hanya mampu membantu sektor perikanan melalui penyerapan untuk bansos. Dana Rp 70,5 miliar telah dianggarkan Pemerintah Provinsi Sulut untuk menyediakan bahan pangan bagi warga terdampak Covid-19.
”Dana pemerintah juga terbatas. Untuk sementara, kami minta pengertian nelayan dan perusahaan. Harus saling membantu di saat krisis seperti ini,” kata Tienneke.