Mengungsi ke Hutan, Menanti Keadilan
Praktik tambang liar emas dengan menggalang puluhan alat berat pastilah membutuhkan modal besar. Negara harus serius mengungkap dan memberantas mafia di balik tambang liar itu.
Sofia tertunduk sedih jika teringat Aska, putra bungsunya. Sudah dua bulan sang ibu mendekam dalam tahanan. Hingga kini, ia tak tahu kapan bisa pulang untuk menemui buah hatinya yang masih berusia empat tahun itu.
”Belum jelas bagaimana nasib kami,” katanya, Senin (6/7/2020).
Sofia dijemput sejumlah petugas dari Kepolisian Resor Bungo, Jambi, pada satu sore di pertenganan Ramadhan, Mei silam. Saat itu, ia baru akan berbuka puasa bersama keluarga di rumahnya. Tiba-tiba datang sejumlah petugas memanggil namanya dari muka pintu. Tak lama ia pun digiring keluar di tengah jerit tangis si bungsu. Ibu dan anak itu seketika berpisah.
Pada saat yang sama, penangkapan serupa terjadi dalam rumah-rumah warga di Dusun Batu Kerbau, Kecamatan Pelepat, Kabupaten Bungo, Jambi. Dari 16 warga, 10 orang di antaranya para ibu rumah tangga.
Peristiwa itu langsung membikin geger. Semalaman itu masyarakat dibayangi ketakutan. Jangan-jangan mereka bakalan ditangkap juga.
Rasa panik itu mendorong terjadinya eksodus warga ke hutan. Mereka trauma dan takut walaupun masih belum paham betul kesalahan apa yang telah dibuat.
Selama seminggu masyarakat mengungsi di hutan. Dengan bekal seadanya, banyak warga mengalami kelaparan, terutama anak-anak.
Berita tentang satu desa yang warganya eksodus ke hutan demi menghindari aparat rupanya terdengar hingga telinga Bupati Bungo Mashuri. Ia pun meminta anggota Babinsa untuk menjemput warga ke hutan, tetapi gagal. Masyarakat telanjur trauma.
Baca juga : Negara Didesak Serius Atasi Tambang Liar Emas
Karena berbagai cara tak mempan meredam ketakutan itu, Mashuri mengimbau langsung masyarakat untuk pulang. Ia pun berjanji akan meminta polisi menyetop aksi penangkapan itu. Mendapatkan janji tersebut, masyarakat akhirnya lega. Mereka langsung kembali ke desa.
Mashuri menyesalkan peristiwa yang terjadi. Namun, ia pun gundah karena tak banyak progres yang bisa didapatkan demi meredam konflik. Ia mengaku telah menemui langsung Kapolres Bungo dan meminta penangguhan penahanan terhadap ibu-ibu di Batu Kerbau, tetapi hasilnya nihil. ”Saya telah berupaya,” katanya.
Air keruh
Penahanan para ibu di Dusun Batu Kerbau adalah buntut dari kasus tambang emas liar di wilayah itu. Awalnya, masyarakat mengeluh soal air Sungai Pelepat tiba-tiba berwarna keruh. Ditunggu satu dua hari, air sungai tetap keruh. Masyarakat mulai gelisah. Sebab, air sungai yang menjadi sumber air minum dan mandi telah tercemar.
Karena mengira ada aktivitas tambang liar di hulu sungai, mereka pun bergerak menyisir hutan. Ternyata benar, puluhan alat berat ditemukan tengah menggaruk tebing-tebing sungai untuk mendapatkan emas.
Tebing pun longsor. Sedimennya terbawa aliran sungai. Itulah yang menyebabkan keruhnya air sungai.
Keruhnya air sungai turut mengusir ikan-ikan di Lubuk Larangan, yang merupakan reservoir ikan yang selama ini dijaga oleh masyarakat. ”Ikan-ikan pergi karena tak tahan kondisi air tercemar,” kata Datuk Picak, Ketua Lembaga Adat Melayu Batu Kerbau.
Baca juga :Tambang Emas Liar di Penjuru Bungo
Fakta soal itu menyebar dengan cepat. Masyarakat melapor dan meminta aparat dan kepala daerah turun tangan. Mereka pun menginformasikan adanya oknum-oknum aparat yang diduga membekingi sehingga praktik itu dapat leluasa berjalan di tengah hutan negara.
Menindaklanjuti itu, rombongan aparat gabungan polisi menggelar razia, menyisir sejumlah orang yang diduga petambang liar, termasuk sejumlah operator alat berat.
Penyisiran itu serta-merta menimbulkan keramaian di desa. Seluruh warga berkumpul untuk mencari tahu apa yang terjadi, termasuk para ibu tersebut.
Semakin malam, suasana jadi memanas apalagi setelah masyarakat mengetahui ada penduduk lokal ikut terjaring razia. Baru diketahui bahwa warga itu menjadi buruh di salah satu lokasi tambang liar.
Entah ada yang memanas-manasi atau bagaimana tiba-tiba terjadi keributan. Seorang polisi mengalami luka pada bagian bokongnya.
Dalam kondisi gelap, tak ada satu pun warga yang mengetahui apa yang terjadi. Siapa melakukan apa. Yang pasti, tiga hari kemudian, belasan ibu rumah tangga digiring ke Markas Polres Bungo. Setelah hasil pengumpulan bahan keterangan, tersisa 10 ibu yang masih ditahan hingga kini.
” Sampai sekarang kami tidak tahu kesalahan apa yang kami buat sehingga ditahan begitu lama,” tangis Fitriwati, warga Batu Kerbau yang kini menghuni Lembaga Permasyarakatan Bungo.
Ketua Forum Peduli Hijau Bungo Hasan Ibrahim menyesalkan aparat penegak hukum seolah menggeser prioritas penanganan hukum. ”Kasus yang seharusnya ditangani adalah soal praktik tambang liar dengan menggunakan alat berat,” katanya. Karena begitu besar dampak lingkungan yang terjadi, mestinya para pelaku utama di balik aktivitas itu diberantas dan dihukum.
Baca juga : Rindu Air Sungai Kembali Jernih
Kepala Kepolisian Resor Bungo Ajun Komisaris Besar Trisaksono Puspo Aji memastikan tidak ada penangguhan penahanan terhadap masyarakat. ”Tidak ada penangguhan dan semua diproses (secara hukum),” katanya.
Penahanan terhadap para ibu rumah tangga itu karena dianggap menghadang tim aparat, serta melakukan perusakan terhadap orang dan barang. Mereka tersangkut Pasal 214 KUHP Sub-Pasal 170 dan atau Pasal 160 juncto Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Saat ini, berkas kasusnya telah diterima jaksa penuntut umum Kejaksaan Negeri Muara Bungo.
Namun, pihaknya tidak tutup mata soal praktik tambang liar dalam kawasan hutan tersebut. Penanganannya melintasi dua wilayah hukum, yakni Kabupaten Bungo dan Merangin. Untuk aktivitas tambang liar yang berada pada wilayah Bungo, pihaknya memproses. Empat tersangka tengah diproses dan barang buktinya berupa dua ekskavator.
Direktur Walhi Jambi Rudiansyah menyebut praktik tambang liar dengan menggalang puluhan eskavator tak mungkin dilakukan masyarakat kecil, tetapi aktor bermodal besar. Pihaknya mengindikasikan adanya jaringan lama di balik tambang liar itu. ”Semua yang masuk di dalam rantainya adalah jaringan yang sebelumnya juga beroperasi di daerah tetangga,” katanya.
Mereka bekerja sama mulai dari memasok atau mengawal masuk alat-alat berat untuk menambang hingga memasok bahan bakar minyak ataupun menampung hasil emas.
Ia pun menyayangkan aparat penegak hukum terkesan kurang serius. Itu bisa dibuktikan dari kasus yang dengan cepat berproses menyangkut masyarakat kecil. Namun, bagaimana dengan progres pengungkapan terhadap para aktor tambang liar tersebut?
Negara harus tegas dan serius menyelesaikan persoalan ini. Sofia, Fitriwati, serta para ibu dan masyarakat setempat masih berharap akan adanya keadilan.