Danau Gambut Masa Depan Wisata Alam Siak
Perasaan takjub begitu saja muncul. Betapa luar biasa karunia alam ini. Itulah danau air gambut terbesar di Pulau Sumatera.
Perkiraan waktu tempuh tiga jam seperti yang disebutkan panitia, ternyata meleset. Setelah 180 menit berperahu menyusuri hutan Sungai Rawa, lokasi Danau Zamrud, di dalam kawasan Taman Nasional Zamrud—yang menjadi akhir perjalanan—belum juga terlihat.
Panas semakin menyengat ubun-ubun. Sinar matahari musim panas Riau, di tengah hari bolong, membuat permukaan bumi lebih menyengat dibandingkan hari biasanya. Celakanya, air minum dan makanan ringan yang disediakan panitia, sudah lama habis. Tidak ada toko atau kedai di pinggir sungai yang menjual panganan atau air minum. Namanya saja menyusur hutan. Jadi, rasa lapar dan haus terpaksa ditahan dulu.
Baca juga: Siak Sambut Gerhana Matahari Cincin
Perjalanan Kompas pada Sabtu (11/7/2020) siang itu adalah ekspedisi menyusuri hutan Sungai Rawa yang dimulai dari Kampung Rawa Mekar Jaya, Kecamatan Sungai Apit, Siak, yang berada di hilir, menuju Danau Zamrud, di Taman Nasional (TN) Zamrud (Kecamatan Dayun, Siak). Ekspedisi itu digagas oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau bersama Pemerintah Kabupaten Siak. Sudah sangat lama keinginan untuk melihat dari dekat TN Zamrud yang diresmikan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar pada tahun 2016 itu. Ketika ada ajakan dari BBKSDA, tawaran ekspedisi itu langsung disambut dengan cepat.
Sekitar pukul 10 pagi, sekitar 40 anggota ekspedisi, antara lain Kepala BBKSDA Riau Suharyono, Bupati Siak Alfredi, Kepala Kejaksaan Negeri Siak Aliansyah, dan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Siak Irving Kahar, sudah bersiap di atas perahu. Ada delapan perahu disiapkan panitia. Semuanya berukuran kecil berkapasitas empat sampai delapan penumpang. Sebagian perahu kayu, dan sisanya terbuat dari serat fiber. Kompas menaiki perahu serat fiber bersama empat wartawan nasional yang seluruhnya berasal dari Pekanbaru.
Air Sungai Rawa berwarna coklat kehitaman. Ketika diciduk dan dimasukkan ke dalam botol, warnanya lebih mirip air seduhan teh yang kental. Terlihat butek dan terkesan jorok, tetapi sebenarnya air itu cukup jernih.
Ketika mulai berjalan, terlihat belasan penduduk desa dan pendatang sedang memancing di beberapa area sungai. Udang galah (Macrobrachium rosenbergii) adalah objek pancingan utama disana. Masih ada beberapa ikan lain yang berkeliaran di sungai itu sampai ke muara Selat Merbau. Udang dan ikan hidup dan berkembang di habitat bakau yang tumbuh subur di tepian sungai.
Beberapa tahun lalu, satwa air bernilai ekonomis tinggi itu sempat menghilang di Sungai Rawa. Bahkan, air pasang pun naik ke halaman penduduk. Tidak ada yang dapat tumbuh apabila air laut sudah mengintrusi daratan.
Baca juga: Setiono, Tiga Misi untuk Melestarikan Hutan
Untungnya, Setiono (40), warga Desa Rawa Mekar Jaya, memelopori penghijauan kembali kampungnya dengan menanam bakau di lokasi hutan Sungai Rawa sejak beberapa tahun lalu. Kini, hasilnya sudah terlihat. Bakau kembali tumbuh dan ikan serta udang pun sudah kembali bersarang.
Setelah satu jam berjalan menyusuri sungai, terlihat pemandangan tidak mengenakkan. Di beberapa lokasi, tergeletak ratusan batang kayu alam bekas tebangan dari hutan di sepanjang aliran sungai. Yang paling banyak adalah mahang (Macaranga hypoleuca) dengan diameter rata-rata 30 sentimeter.
Di dekat tumpukan kayu itu terdapat beberapa gubuk kayu milik perambah yang masih terlihat tanda-tanda kehidupan. Misalnya terdapat pakaian yang dijemur dan peralatan masak di atas tangkahan kayu di tepi sungai.
Kegiatan perambahan ilegal cukup marak. Dampaknya, lingkungan sekitar hutan, tidak memiliki pohon besar lagi. Yang tinggal hanya pepohonan berdiameter kecil.
Baca juga: Nirwana di Semenanjung Kampar
Hutan di sepanjang aliran Sungai Rawa adalah bagian dari ekosistem besar TN Zamrud. Sebagian besar areal penyangga TN Zamrud itu, berada dalam wilayah konsesi hutan produksi dan hutan produksi terbatas, yang antara lain dimiliki oleh Grup Sinar Mas dan Riau Andalan Pulp and Paper.
Pada pengujung abad ke 20 sampai awal abad ke-21, hutan Sungai Rawa sudah porak poranda akibat penebangan liar. Menurut Setiono, yang ikut dalam ekspedisi, dulunya terdapat puluhan pabrik pengolahan kayu di kampungnya. Seluruh pabrik mengolah kayu curian yang berasal dari hutan alam di tepi sungai. Itulah jawaban, mengapa tidak terlihat lagi kayu-kayu besar di hutan pinggiran sungai lagi. Kayu-kayu yang tumbuh sekarang, dengan diameter 30 cm, adalah sisa-sisa pohon lama, atau yang baru tumbuh selama belasan tahun belakangan ini.
Untungnya, Kepolisian Resor Siak cepat tanggap terhadap penemuan kayu ilegal tersebut. Pada hari Minggu (12/7/2020), atau sehari setelah ekspedisi Sungai Rawa-TN Zamrud, polisi sudah menyita kayu-kayu curian itu.
Baca juga: Pembalakan Liar Dilakukan Terbuka
Lewat dari lokasi penebangan liar, aliran sungai semakin menyempit. Lebar sungai yang semula 30-an meter menciut menjadi belasan meter karena ditutupi tumbuhan bakung air (Hanguana malayana). Semakin ke hulu, aliran sungai semakin kecil dan tinggal sekitar 30 cm saja.
Rambatan akar dan batang bakung air memenuhi permukaan sungai sehingga mempersulit laju perahu berjalan di air. Belasan kali pengemudi perahu kami terpaksa berhenti untuk membersihkan potongan akar dan tumbuhan merambat yang menyangkut di kipas mesin. Akibatnya, perjalanan menjadi sangat lambat.
Perahu harus menyibak bakung air baru dapat berjalan. Daun bakung yang menjuntai pun mengenai badan penumpang di perahu, termasuk Kompas. Puluhan serangga kecil, yang semula berada di daun bakung, ikut menempel di baju. Untungnya tidak ada jenis serangga beracun.
Sayangnya, tumbuhan bakung air liar itu tidak memiliki bunga sehingga yang terlihat hanya hamparan rerumputan hijau saja, tanpa warna cerah.
Setelah hampir lima jam menyusuri Sungai Rawa, akhirnya perahu tiba di muara Danau Bawah. Danau Bawah adalah bagian dari Taman Nasional Zamrud yang memiliki dua danau, yaitu Danau Bawah dan Danau Pulau Besar (biasa juga disebut Danau Atas). Luas Danau Bawah berkisar 3.200 hektar, sementara Danau Pulau Besar mencapai 28.200 hektar (28 kilometer persegi).
Baca juga: Pendekar Terakhir Taman Nasional Tesso Nilo
Dua danau itu terlihat terpisah oleh daratan. Namun sebenarnya, terdapat sebuah aliran sungai kecil (Sungai Rasau) yang menghubungkan dua danau tersebut.
Perasaan takjub begitu saja muncul. Betapa luar biasa karunia alam ini. Itulah danau air gambut terbesar di Sumatera atau nomor dua di nusantara setelah Danau Sentarum di Kalimantan Barat. Luas Danau Pulau Besar mencapai seperempat luas Danau Singkarak (107 kilometer persegi) di Sumatera Barat, atau lebih dari setengah luas Danau Kerinci (46 kilometer persegi) di Jambi. Namun, sangat jarang orang mengetahui bahwa di Riau terdapat sebuah danau istimewa yang airnya bukan bening, melainkan coklat kehitaman.
Untuk mengelilingi Danau Pulau Besar, dibutuhkan waktu lebih dari satu jam menggunakan perahu bermesin 40 tenaga kuda. Pada sore hari, danau itu berombak sehingga membuat perahu kecil terempas-empas berjalan di atasnya.
Terdapat empat buah pulau di Danau Pulau Besar. Tiga di antaranya berukuran kecil berkisar satu sampai dua hektar saja. Namun satu lainnya mencapai 10 hektar, dan dinamakan Pulau Besar. Di Pulau itu terdapat koloni ribuan kalong raksasa (Pteropus edulis).
Uniknya, pulau-pulau di TN Zamrud dapat berpindah tempat. Dapat dimaklumi, pulau-pulau itu sebenarnya terbentuk dari endapan lumpur. Lama-kelamaan vegetasi tumbuh di atas endapan dan memperkuat bentuk daratan. Pulau itu sebenarnya mengambang di bagian atas tanpa menjejak ke dasar danau.
Keberadaan Taman Nasional Zamrud saat ini tidak terlepas dari peran mantan Ketua Dewan Komisaris PT Caltex Pacific Indonesia (PT CPI) Julius Tahija (1977). Julius, seperti tertulis dalam buku Taman Nasional Zamrud, Bersama Selamatkan Warisan Leluhur di Bumi Siak, karangan Budyadi dan Wiratno, mengagumi dua danau air gambut yang berada dalam wilayah operasi PT CPI di Blok Coastal Plains Pekanbaru (Blok CPP).
Julius mengetahui bahwa di bawah danau itu terdapat sumber minyak bumi dengan volume puluhan juta barel yang dapat menyumbang devisa besar bagi negara. Dengan pengeboran biasa, minyak dapat diangkat dari bawah danau, tetapi efeknya akan mencemari lingkungan sekitarnya. Bisa-bisa ekosistem kehidupan di danau akan mati dan punah.
Julius bersikukuh menyelamatkan danau.
Julius bersikukuh menyelamatkan danau. Ia mengusulkan pengeboran miring dengan memindahkan lokasi awal pengeboran cukup jauh dari danau. Pada tahun 1982, pengeboran di wilayah Zamrud dilakukan dengan meminimalisasi kerusakan lingkungan seperti usulan Julius. Namun, biaya pengeboran menjadi membengkak sekitar 8 juta dolar AS. Hasilnya, Danau Zamrud masih bertahan sampai saat ini.
Baca juga: Sumur Minyak PT BSP di Siak Nyaris Terbakar
Lapangan Zamrud yang menjadi bagian Blok CPP PT CPI sudah berpindah tangan ke Badan Operasi Bersama PT Bumi Siak Pusako (BUMD)-PT Pertamina Hulu. Namun pengoperasiannya tetap sama, mengindahkan pedoman konservasi.
Bupati Siak Alfredi memimpikan Danau Zamrud dapat dimanfaatkan untuk tujuan pariwisata andalan Siak, selain ikon Istana Siak yang sudah tersohor. Alfredi sudah menjalin kerja sama dengan Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Riau Suharyono untuk pemanfaatan alam danau.
BBKSDA Riau pun sudah setuju dengan langkah Pemerintah Kabupaten Siak untuk memanfaatkan areal TN Zamrud seluas sekitar 1.000 hektar (zona pemanfaatan). Namun, menurut Suharyono, Pemerintah Kabupaten Siak harus dapat menyesuaikan konsep wisata dengan kondisi alam atau bukan dengan cara memaksa kondisi alam sesuai konsep.
”Wisata ke Danau Zamrud nantinya terbatas. Tidak semua orang dapat datang. Ini adalah wilayah konservasi sehingga aspek kelestarian lingkungan harus dijaga,” kata Suharyono.
Alfredi setuju dengan konsep konservasi dengan tema pariwisata minat khusus. ”Kami berencana membenahi Danau Zamrud untuk pengembangan wisata air, restoran dan hotel terapung. Jalur masuk nantinya ada dua. Pertama melewati posko BOB PT BSP-Pertamina Hulu di (Kecamatan) Dayun. Untuk masuk ke danau, karena melewati lapangan minyak, mesti menggunakan bus khusus dan pemandu,” kata Alfredi.
Wisata ke Danau Zamrud nantinya terbatas. Tidak semua orang dapat datang.
Jalur kedua adalah melewati Sungai Rawa dari Kampung Rawa Mekar Jaya, seperti ekspedisi BBKSDA - Pemkab Siak pada Sabtu (11/7/2020). Namun, pembuatan jalur ini memerlukan biaya besar, karena harus membersihkan sungai dari potongan kayu, akar dan tumbuhan bakung air yang menutupi saluran sungai.
Jalur melewati Lapangan Minyak Zamrud adalah rute tercepat menuju Danau Zamrud. Jarak dari Kota Siak sekitar 50 kilometer dan dari Kota Pekanbaru sejauh 120 kilometer lewat jalur darat. Adapun rute dari Kampung Rawa Mekar Jaya mencapai 180 kilometer dari Pekanbaru dan kemudian menyusuri Sungai Rawa selama tiga sampai lima jam.
Pengembangan Danau Zamrud untuk tujuan wisata memang sangat tepat untuk lebih mengenalkan potensi alam Riau yang berbeda dari obyek wisata kebanyakan. Paling tidak, dengan perhatian yang lebih baik, kerusakan alam akibat penebangan liar di jejaring ekosistemnya dapat lebih dikendalikan. Tanpa perhatian memadai, kerusakan alam akibat keserakahan manusia, bakal menembus zona inti danau air gambut terbesar di Pulau Andalas itu. Meski demikian, pengembangan alam Danau Zamrud masih membutuhkan waktu yang tidak singkat.