Pilkades 174 Desa di Kabupaten Sidoarjo Tunggu Kemendagri
Pemilihan kepala desa di 174 desa di Sidoarjo sulit dipastikan karena masih tingginya sebaran Covid-19. Pemda tunggu rekomendasi dari Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Provinsi Jatim.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·3 menit baca
SIDOARJO, KOMPAS — Pemilihan kepala desa di 174 desa di Sidoarjo sulit dipastikan karena masih tingginya sebaran Covid-19 di wilayah ini. Pemerintah Kabupaten Sidoarjo menunggu rekomendasi dari Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk menggelar pesta demokrasi tersebut.
Berdasarkan hasil rapat Pemkab Sidoarjo dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sidoarjo awal Juli lalu, pilkades menurut rencana akan digelar 6 September setelah batal digelar pada 19 April lalu karena pandemi Covid-19. Namun, di sisa waktu yang tinggal sebulan ini, Pemkab Sidoarjo belum berani memutuskan.
Komunikasi dan koordinasi terus dilakukan, terutama terkait perkembangan situasi terkini penahapan pilkades dan pandemi Covid-19. (Fredik Suharto)
”Masih menunggu persetujuan dari Kemendagri untuk kepastiannya. Selama menunggu, persiapan pelaksanaan pilkades tetap dilakukan sesuai tahapan,” ujar Pelaksana Tugas Bupati Sidoarjo Nur Achmad Syaifuddin, Kamis (16/7/2020).
Alasan pemda menunggu persetujuan Kemendagri karena sebelumnya ada surat yang menyarankan agar Pemkab Sidoarjo menunda pelaksanaan pilkades serentak 2020. Meski surat dari Kemendagri itu sifatnya saran, pihaknya tetap menaruh perhatian besar. Apalagi sebaran Covid-19 di Sidoarjo belum melandai.
Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Dan Desa Sidoarjo Fredik Suharto menambahkan, selain menunggu persetujuan Kemendagri, pihaknya juga berkoordinasi dengan Pemprov Jatim terkait pelaksanaan pilkades serentak. Sampai saat ini, pemprov juga belum memberikan persetujuan.
”Komunikasi dan koordinasi terus dilakukan, terutama terkait perkembangan situasi terkini penahapan pilkades dan pandemi Covid-19,” kata Fredik.
Seleksi bakal calon kepala desa telah selesai dilakukan pada Febuari lalu. Semua bakal calon mengikuti tes berbasis komputer dengan materi, antara lain, bahasa Indonesia, pengetahuan umum, dan pemerintahan. Setiap desa jumlah calon kepala desanya dibatasi maksimal lima orang.
Terkait pelaksanaan pilkades, keputusan sebenarnya diserahkan kepada kepala daerah dalam hal ini Gubernur Jatim dan Bupati Sidoarjo. Namun, karena situasi sebaran Covid-19 di Sidoarjo yang masih mengkhawatirkan, diperlukan pertimbangan yang matang dalam pengambilan keputusan.
Untuk mendapatkan pertimbangan yang matang itu, salah satunya ditempuh dengan menggandeng ahli epidemiologi dari perguruan tinggi. Jumlah kasus terkonfirmasi positif di Sidoarjo merupakan tertinggi kedua di Jatim. Angka konfirmasi positif sampai dengan Selasa (14/7/2020) sebanyak 2.539 orang dengan penambahan kasus baru rata-rata 50-100 orang per hari.
Penambahan kasus konfirmasi positif di masa transisi menuju normal baru itu bahkan lebih tinggi dari penambahan kasus baru selama masa pembatasan sosial berskala besar yang rata-rata 30-35 kasus per hari. Tingginya penambahan kasus itu menunjukkan sebaran Covid-19 sangat menghawatirkan. Kegiatan yang memicu kerumunan seperti pilkades rentan memperparah penyebaran virus korona galur baru.
Meski demikian, lanjut Fredik, pihaknya sudah melakukan beberapa upaya antisipasi potensi kerawanan. Misalnya, menginventarisasi desa-desa yang jumlah pemilihnya lebih dari 5.000 jiwa. Desa dengan jumlah pemilih tinggi itu akan disediakan bilik pencoblosan yang lebih banyak.
Selain itu, waktu pelaksanaan pencoblosannya diperlonggar untuk memudahkan pengaturan kedatangan pemilih ke tempat pemungutan suara (TPS). Skenarionya, pencoblosan berlangsung dari pagi hingga sore. Pada kondisi jumlah pemilih di bawah 3.000 orang, pencoblosan biasanya selesai pukul 13.00 dan setelah istirahat dilanjutkan dengan penghitungan hasil perolehan suara calon.
”Namun, pada desa-desa dengan jumlah pemilih lebih dari 5.000 orang, bahkan ada yang 10.000 orang, pencoblosan dituntaskan sehari penuh dan penghitungan hasil perolehan suara calon baru dilakukan pada hari berikutnya,” ucap Fredik.
Persoalannya, pilkades memiliki potensi konflik sosial yang tinggi karena kedekatan emosional yang cukup erat antara calon dan masyarakat. Hal itu rawan memicu kerumunan massa saat pelaksanaan pemilihan dan penghitungan suara, bahkan hingga masa pengumuman pemenang.