Risiko banjir besar di Luwu Utara telah tercatat dalam penelitian Universitas Hasanuddin. Bencana itu dipicu kerusakan lingkungan, kondisi tanah, morfologi wilayah, dan hujan lebat.
Oleh
RENY SRI AYU/AHMAD ARIF/Emanuel Edi Saputra
·4 menit baca
MAKASSAR, KOMPAS —Sebanyak 19 orang, hingga Rabu (15/7/2020), ditemukan tewas akibat banjir bandang di Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Pencarian korban masih dilakukan seiring dengan evakuasi warga yang terjebak di permukiman penuh material sisa banjir.
Kemarin, ditemukan lagi tiga korban jiwa. Semuanya di Desa Radda. ”Pencarian masih terus dilakukan,” kata Mustari, Kepala Kantor Pencarian dan Pertolongan Makassar, kemarin.
Banjir bandang menerjang Luwu Utara, Senin (13/7/2020) malam. Banjir dipicu luapan Sungai Masamba, Radda, Rongkong, dan Meli. Setelah banjir pertama, ada banjir bandang susulan yang muncul bersamaan dengan warga yang bergerak mengungsi.
Menurut data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Luwu Utara, ada enam kecamatan terdampak banjir besar tersebut. Kecamatan itu adalah Masamba, Sabbang, Baebunta, Baebunta Selatan, Malangke, dan Malangke Barat.
Di Masamba, banjir bandang menimbulkan timbunan material setinggi 1-2 meter. Sementara di Baebunta dan Sabbang memunculkan timbunan material setinggi 3-4 meter. Setidaknya 200 rumah tertimbun dan 36.000 warga terdampak banjir bandang ini.
Kemarin, pencarian korban dilakukan dengan menyisir lokasi terparah di enam kecamatan terdampak banjir. Tim menyisir rumah warga yang tertimbun bebatuan, pasir, tanah, dan kayu gelondongan.
Prakirawan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Makassar, Esti Kristanti, mengatakan, hujan lebat di Luwu Utara yang terjadi sebelum banjir dipengaruhi oleh suhu muka laut di Teluk Bone yang hangat. Selain itu, juga ada belokan dan pertemuan angin di wilayah Sulawesi bagian tengah. Kondisi itu memicu pertumbuhan awan konvektif atau kumulonimbus yang memicu hujan lebat.
”Berdasarkan analisis citra satelit BMKG, pertumbuhan awan konvektif terjadi di Sulawesi Tengah dan bergerak ke Luwu Timur dan Luwu Utara. Curah hujan cukup tinggi terkonsentrasi di hulu Luwu Timur,” ujar Esti.
Hingga tiga hari ke depan, hujan diperkirakan masih akan mengguyur sejumlah wilayah, termasuk di Sulawesi. ”Kabupaten Luwu Utara tidak masuk dalam zona musim. Perbedaan hujan dan kemarau tidak jelas, bisa sepanjang tahun ada hujan,” kata Kepala Pusat Meteorologi Publik BMKG Fachri Radjab di Jakarta.
Kerusakan hulu
Hujan lebat di kawasan hulu sungai yang kondisinya rusak parah menjadi penyebab banjir bandang ini. Kondisi lingkungan dan risiko bencana itu telah diteliti Pusat Kebencanaan Universitas Hasanuddin (Unhas) sejak 2017. Pada 2019, hasil penelitian menyebut Luwu Utara salah satu daerah dengan risiko tinggi banjir.
”Di daerah hulu, proses pelapukan sangat intens, antara lain disebabkan alih fungsi lahan, salah satunya untuk permukiman dan perkebunan. Tanah sangat lapuk itu menghasilkan material sedimen berupa pasir dan lumpur bercampur batu,” kata Ketua Pusat Studi Kebencanaan yang juga Guru Besar Unhas Adi Maulana.
Dalam laporan itu, Masamba dan sekitarnya disebut sebagai dataran luas yang terbentuk oleh erosi dan sedimentasi ribuan bahkan jutaan tahun lalu. Luasnya sekitar 50 km x 30 km. Dataran ini disusun oleh material aluvial dengan sumber dari bebatuan yang berasal dari pegunungan di bagian utara, timur, dan barat.
Kondisi morfologi daerah ini bagaikan cekungan kecil yang diapit pegunungan di bagian utara, timur, dan barat serta Teluk Bone di bagian selatan.
”Setidaknya ada tiga sungai besar dan beberapa sungai kecil yang memotong dataran luas ini dari utara ke selatan. Sungai-sungai besar ini terbentuk oleh patahan atau sesar sekitar dua juta tahun lalu. Patahan-patahan ini terbentuk oleh proses tektonik pembentukan Pulau Sulawesi. Seiring waktu, terbentuk aliran sungai,” katanya.
Data sementara yang dilansir BPBD Luwu Utara, puluhan ribu warga masih mengungsi. Lokasi Luwu Utara sekitar 400 kilometer di utara Makassar.
Banjir Kalimantan
Banjir juga masih menggenangi sejumlah kecamatan di beberapa kabupaten di Kalimantan. Ribuan rumah terendam dan memicu pengungsian.
Di Kecamatan Kayan Hilir, Kabupaten Sintang, dan Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat, banjir perlahan surut. Namun, aktivitas warga belum berjalan normal.
Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik BPBD Kabupaten Sintang Sugianto menuturkan, ketinggian banjir di Kecamatan Kayan Hilir, Rabu pagi, sekitar 1 meter. ”Ada 25 desa dan 2.806 keluarga terdampak,” ujarnya. Banjir di Kalimantan juga dipicu oleh kerusakan lingkungan di hulu.