Ketimpangan Ekonomi DIY Kembali Jadi Tertinggi di Indonesia
Ketimpangan ekonomi di Daerah Istimewa Yogyakarta pada Maret 2020 kembali menjadi yang tertinggi di Indonesia. Pandemi Covid-19 turut mendorong kenaikan ketimpangan ekonomi tersebut.
YOGYAKARTA, KOMPAS — Di tengah pandemi Covid-19, ketimpangan ekonomi di Daerah Istimewa Yogyakarta kembali mengalami kenaikan. Berdasarkan data rasio gini pada Maret 2020, ketimpangan ekonomi DIY bahkan kembali menjadi yang tertinggi di Indonesia. Ke depan, ketimpangan ekonomi itu berpotensi makin meningkat karena dampak pandemi Covid-19.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik yang dirilis pada Rabu (15/7/2020), angka rasio gini DIY pada Maret 2020 sebesar 0,434. Angka itu naik 0,006 poin dibandingkan rasio gini DIY pada September 2019 sebesar 0,428. Angka rasio gini DIY pada Maret 2020 itu lebih tinggi daripada rasio gini nasional, yakni 0,381.
Selain itu, rasio gini di DIY pada Maret 2020 kembali menjadi yang tertinggi di Indonesia. Angka rasio gini DIY yang menjadi tertinggi se-Indonesia itu bukan kali ini saja terjadi. Data BPS menunjukkan, sejak Maret 2017, rasio gini DIY selalu menjadi yang tertinggi dibandingkan provinsi lain di Indonesia.
Rasio gini merupakan indikator ketimpangan berdasarkan tingkat pengeluaran penduduk. Nilai 0 menunjukkan pemerataan sempurna, sedangkan 1 menunjukkan ketimpangan paling parah. Artinya, makin tinggi angka rasio gini, ketimpangan ekonomi juga makin tinggi.
Baca juga: Kemiskinan dan Jurang Ketimpangan Kian Dalam
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Yogyakarta, Ardito Bhinadi, berpendapat, kenaikan rasio gini di DIY itu, antara lain, terjadi karena dampak pandemi Covid-19. ”Kalau kita lihat, kenaikan rasio gini ini cukup lumayan karena efek adanya Covid-19,” katanya, Kamis (16/7/2020), di Yogyakarta.
Ardito menuturkan, selama ini, perekonomian DIY sangat bergantung pada sektor pariwisata dan pendidikan. Kedua sektor itu juga dinilai bisa memberi dampak berganda atau multiplier effect kepada banyak pihak. Salah satu contohnya, kedatangan wisatawan tak hanya menguntungkan pengelola obyek wisata, tetapi juga pemilik rumah makan, hotel, toko oleh-oleh, dan sebagainya.
”Di sektor pendidikan, ketika ada kampus di DIY, maka di sekitarnya akan ada kos-kosan, warung makan, dan tempat usaha lain yang memenuhi kebutuhan mahasiswa,” tutur Ardito.
Namun, akibat pandemi Covid-19, sektor pariwisata dan pendidikan di DIY menjadi terpukul. Hal ini karena jumlah wisatawan yang datang ke DIY menurun drastis, sementara sebagian mahasiswa yang kuliah di DIY juga memilih pulang ke kampung halamannya.
Baca juga: Ketimpangan Berpotensi Melebar pada Akhir Tahun
Kondisi ini membuat penghasilan warga yang berkait dengan sektor pariwisata dan pendidikan menjadi menurun drastis. ”Dampak pandemi Covid-19 terhadap pendapatan masyarakat itu cukup terasa. Ini, antara lain, karena para mahasiswa pulang kampung dan wisatawan tidak datang ke Yogyakarta,” ujar Ardito.
Dia menambahkan, turunnya pendapatan itu kemudian berdampak pada turunnya daya beli masyarakat. Penurunan daya beli itu terutama terjadi pada mereka yang berasal dari kelompok menengah ke bawah. ”Untuk mereka yang menengah ke atas memang ikut terpengaruh tetapi tidak sebesar mereka yang menengah ke bawah,” tuturnya.
Dengan kondisi tersebut, Ardito memaparkan, ketimpangan pengeluaran antara kelompok menengah ke bawah dan kelompok menengah ke atas menjadi makin lebar. Hal inilah yang kemudian berdampak pada kenaikan rasio gini di DIY.
Ardito menambahkan, selain meningkatkan ketimpangan ekonomi, pandemi Covid-19 juga meningkatkan jumlah penduduk miskin di DIY. Berdasarkan data BPS DIY, jumlah penduduk miskin di DIY pada Maret 2020 sebesar 475.720 orang atau bertambah 34.830 orang dibandingkan kondisi September 2019 yang 440.890 orang.
Baca juga: Jurang Ketimpangan Pascapandemi Covid-19
Sementara itu, persentase penduduk miskin di DIY pada Maret 2020 sebesar 12,28 persen. Persentase itu juga meningkat 0,84 poin jika dibandingkan persentase penduduk miskin di DIY pada September 2019 yang sebesar 11,44 persen.
”Ketika pendapatannya menurun, penduduk yang awalnya berada di atas garis kemiskinan kemudian menjadi berada di bawah garis kemiskinan. Ini yang menyebabkan kemudian banyak penambahan jumlah penduduk miskin di DIY,” ungkap Ardito.
Sebelum pandemi
Meski begitu, Ardito mengatakan, sebelum pandemi Covid-19, rasio gini di DIY memang relatif tinggi. Dia berpendapat, kondisi itu, antara lain, terjadi karena banyaknya warga pendatang dari kelas menengah atas yang kemudian tinggal dan bekerja di DIY. Kebanyakan warga pendatang itu memiliki penghasilan yang relatif tinggi sehingga pengeluaran mereka juga tinggi.
Kenaikan pengeluaran dari kelompok menengah atas itu juga didorong oleh keberadaan hotel, kafe, restoran, mal, dan bioskop di DIY. Hal ini karena kelompok menengah ke atas di DIY cenderung memiliki pengeluaran yang tinggi untuk kebutuhan gaya hidup, misalnya menginap di hotel berbintang, makan di resto mahal, berbelanja di mal, dan menonton film di bioskop.
Baca juga: Tekan Laju Angka Kemiskinan dari Imbas Covid-19
Sementara itu, kelompok menengah ke bawah cenderung membatasi pengeluaran untuk gaya hidup. Oleh karena itu, tingkat pengeluaran dari kelompok ini cenderung stagnan dari waktu ke waktu.
”Kenaikan pengeluaran kelompok menengah ke bawah tidak sebanding dengan kenaikan pengeluaran kelas menengah ke atas. Inilah yang kemudian menyebabkan ketimpangan,” tutur Ardito.
Kenaikan pengeluaran kelompok menengah ke bawah tidak sebanding dengan kenaikan pengeluaran kelas menengah ke atas. Inilah yang kemudian menyebabkan ketimpangan.
Direktur Perkumpulan Ide dan Analitika Indonesia (IDEA) Yogyakarta Tenti Novari Kurniawati berpandangan, tingginya ketimpangan ekonomi di DIY juga terjadi karena adanya ketimpangan di antara kabupaten/kota di provinsi itu. Selama ini, di antara lima kabupaten di DIY, aktivitas ekonomi cenderung memusat di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman.
”Perkembangan ekonomi di antara kabupaten/kota di DIY itu cukup timpang. Disparitas di antara kabupaten/kota ini ikut menyebabkan ketimpangan ekonomi,” ujar Tenti.
Dorong pertumbuhan
Sekretaris Daerah DIY Kadarmanta Baskara Aji mengakui, angka rasio gini di DIY selama ini memang cukup tinggi. Dia menambahkan, dengan adanya pandemi Covid-19, rasio gini di DIY juga berpotensi makin meningkat karena ketimpangan antara orang kaya dan orang miskin bakal kian melebar.
”Rasio gini di DIY itu kan selama ini angkanya cukup tinggi dan sangat mungkin dengan adanya Covid-19 akan makin banyak kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin,” ujar Kadarmanta.
Baca juga: Waspadai Lonjakan Kemiskinan, Program Perlindungan Mesti Diperluas
Kadarmanta menuturkan, saat ini yang terpenting adalah mendorong kembali pertumbuhan ekonomi di DIY. Dengan mendorong pertumbuhan ekonomi itu, diharapkan penghasilan warga di kalangan menengah ke bawah juga bisa bertambah. ”Saat ini yang penting untuk kita kejar adalah tumbuh kembali,” katanya.
Upaya mendorong pertumbuhan ekonomi itu penting karena perekonomian DIY memang menurun drastis setelah adanya pandemi Covid-19. Berdasarkan data BPS, pada triwulan pertama tahun 2020, pertumbuhan ekonomi DIY minus 0,17 persen.
Menurut Kadarmanta, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi itu, ada sejumlah cara yang bisa ditempuh. Salah satunya menyalurkan bantuan sosial kepada warga terdampak Covid-19. Pemberian bantuan berupa uang tunai itu diharapkan bisa ikut menggerakkan aktivitas perekonomian di DIY.
”Para penerima bantuan sosial itu silakan memanfaatkan bantuan untuk konsumsi karena itu juga akan membuat perputaran ekonomi makin baik,” kata Kadarmanta.
Baca juga: Jumlah Penerima Bansos Pemda DIY Bertambah 3.987 Keluarga
Selain itu, Pemda DIY juga mempersilakan usaha kecil dan menengah (UKM) serta perusahaan besar untuk menjalankan aktivitas ekonomi. Namun, aktivitas ekonomi itu mesti memperhatikan protokol kesehatan untuk mencegah penularan Covid-19.
”Kalau kita mengejar pertumbuhan ekonomi, mudah-mudahan rasio gini juga menyesuaikan,” tutur Kadarmanta.
Kalau kita mengejar pertumbuhan ekonomi, mudah-mudahan rasio gini juga menyesuaikan.
Sementara itu, Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X menyatakan, ketimpangan ekonomi merupakan masalah yang sulit untuk diatasi. Hal ini karena tingkat perekonomian di antara setiap orang memang selalu berbeda.
”Kesenjangan semacam ini, kan, tidak mudah untuk kita atasi. Selama ini, kan, selalu ada orang yang sangat kaya, ada orang yang berkecukupan, dan ada orang yang miskin,” katanya.
Baca juga: Okupansi Hotel di Yogyakarta Mulai Naik, Pengunjung Lokal Mendominasi
Sultan menuturkan, untuk mengatasi ketimpangan ekonomi di DIY, ada beberapa strategi yang dijalankan. Untuk kelompok warga yang memiliki potensi berkembang, mereka akan didampingi dan diberi bantuan modal agar bisa meningkatkan taraf perekonomiannya.
Sementara itu, untuk warga miskin yang sudah tidak produktif dan tak mempunyai keterampilan, mereka harus diberi bantuan sosial secara rutin. ”Langkah-langkah ini yang kita harapkan bisa mengurangi kesenjangan,” kata Sultan.