Demi Tolak RUU Cipta Kerja, Mahasiswa Palangkaraya Beraksi di Tengah Pandemi
Puluhan mahasiswa dari Universitas Palangka Raya turun ke jalan melakukan aksi penolakan RUU CIpta Kerja, Kamis (16/7/2020). Tak hanya mereka, penolakan juga dilakukan berbagai lembaga di Kalteng dalam ruang virtual.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Di tengah pandemi Covid-19, puluhan mahasiswa Universitas Palangka Raya beraksi di depan Gedung DPRD Provinsi Kalimantan Tengah menolak Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja atau Omnibus Law. Bukan hanya mahasiswa, aktivis dari berbagai lembaga di Kalteng juga berorasi lewat virtual.
Puluhan mahasiswa itu mulai beraksi dari kantor Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Palangka Raya (UPR) dengan berjalan kaki menuju kantor DPRD Provinsi Kalteng, Kamis (16/7/2020). Mereka berjalan berbaris dengan menjaga jarak lebih dari 1 meter.
Sebelum masuk kawasan Jalan Ahmad Yani di depan kantor DPRD Provinsi Kalteng, Tim Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Kota Palangkaraya memeriksa suhu tubuh peserta aksi. Mereka juga dikawal aparat Kepolisian Resor Kota Palangkaraya bersama sukarelawan Covid-19 dari Muhammadiyah Palangkaraya.
Puluhan mahasiswa itu dipimpin oleh koordinator lapangan Endriko. Ia mengungkapkan, RUU Cipta Kerja tidak berpihak kepada rakyat dan merugikan pekerja. Pihaknya meminta DPRD Provinsi Kalteng mengambil sikap menolak kebijakan tersebut.
Sebelumnya, mereka sudah melakukan aksi yang sama pada 12 Maret 2020. Dalam tuntutan itu, pimpinan DPRD Provinsi Kalteng berjanji akan meneruskan tuntutan mahasiswa dan memberikan jawaban saat mereka kembali dari Jakarta saat itu. Namun, hingga kini jawaban atas sikap mahasiswa belum diberikan.
”Keberpihakan kebijakan itu dipertanyakan. Bukan untuk rakyat, apalagi para buruh,” ungkap Endriko dalam orasinya menggunakan pengeras suara.
Endriko bersama orator lainnya beberapa kali meneriakkan bahwa mereka tetap beraksi demi menolak RUU Cipta Kerja meski Palangkaraya sedang dilanda pandemi. Mereka berusaha untuk tetap menjaga jarak, menggunakan cairan pembersih tangan, dan mengenakan masker.
Aksi mereka saat itu tidak dijawab oleh anggota ataupun pimpinan DPRD Provinsi Kalimantan Tengah karena semuanya sedang tidak berada di lokasi. Para peserta aksi diterima oleh Kepala Bagian Umum DPRD Provinsi Kalteng Joko Siswandi.
”Silakan datang kembali esok karena memang hari ini semua anggota dan pimpinan tidak berada di kantor karena situasi pandemi,” kata Joko.
Peserta aksi pun menuntut anggota DPRD Provinsi Kalteng harus hadir dan menerima aspirasi mereka dengan alasan aksi dilakukan di jam kerja. Hingga pukul 16.00 WIB, peserta aksi masih bertahan. Namun, sekitar pukul 16.30 WIB, sebagian besar peserta aksi kembali ke kantor BEM UPR, sebagiannya lagi memilih bertahan di depan Gedung DPRD Provinsi Kalteng.
Jika ini disahkan, maka akan menjadi langkah mundur Pemerintah Indonesia karena sama dengan melegitimasi perusakan lingkungan ke depan. (Dimas Novian Hartono)
Di waktu yang sama beberapa lembaga di Kalimantan Tengah seperti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palangkaraya, Lembaga Perempuan Berpendidikan Teologi (Perwati) Kalteng, Solidaritas Perempuan, dan beberapa lembaga lain melakukan orasi virtual melalui aplikasi pertemuan daring.
Dalam orasinya, Direktur Walhi Kalteng Dimas Novian Hartono menilai, RUU Cipta Kerja hanya menutupi kegagalan pemerintah dalam mengurus kesejahteraan masyarakat, khususnya kaum buruh. Kebijakan itu juga akan berdampak pada kerusakan lingkungan yang sangat masif.
”Jika ini disahkan, maka akan menjadi langkah mundur Pemerintah Indonesia karena sama dengan melegitimasi perusakan lingkungan ke depan,” ungkap Dimas.
Dimas menambahkan, RUU Cipta Kerja yang masih terus dibahas dan terus mendapatkan penolakan merampas hak masyarakat atas tanah atau lingkungannya. Ia merujuk pada penghapusan izin lingkungan di dalam draf RUU Cipta Kerja atau Omnibus Law.
Penghapusan izin lingkungan itu dilakukan untuk memudahkan pelaku usaha memperoleh persetujuan lingkungan. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sudah diatur soal izin lingkungan dalam Pasal 40 Ayat 1.
”Masyarakat Indonesia hanya akan menjadi kuli atau buruh perkebunan atau pertambangan. Regulasi ini adalah pesanan yang mengancam kelestarian lingkungan,” kata Dimas.
Ia juga meminta pemerintah lebih terbuka dalam pembahasan RUU Cipta Kerja. Selama ini, ia menilai pemerintah tertutup dalam pembahasannya. ”Pemerintah hanya berpikir ekonomi dengan merampas hak hidup masyarakat,” katanya.