Aksi Demonstrasi RUU Cipta Kerja Kembali Digelar di Yogyakarta
Aksi demonstrasi penolakan RUU Cipta Kerja atau ”omnibus law” tidak akan berhenti. RUU tersebut dinilai merugikan rakyat.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Aksi demonstrasi untuk menolak pengesahan rancangan Undang-Undang Cipta Kerja atau omnibus law kembali digelar di Yogyakarta, Kamis (16/7/2020). Aksi serupa akan terus digelar hingga rancangan undang-undang itu dibatalkan pengesahannya karena dinilai merugikan rakyat.
Aksi demonstrasi digelar sejumlah kelompok mahasiswa, buruh, dan elemen masyarakat lainnya yang bersatu dalam Aliansi Rakyat Bergerak. Aksi tersebut bertajuk ”Gejayan Memanggil”. Nama itu dipilih mengingat lokasi aksi yang diadakan di Simpang Tiga Jalan Affandi Gejayan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Simpang jalan tersebut merupakan saksi sejarah berlangsungnya serangkaian aksi demonstrasi yang membuahkan reformasi pada tahun 1998.
”Kami akan melakukan apa yang (selalu) kami angkat sejak dulu, yakni gagalkan omnibus law. Kami akan turun ke jalan dengan massa yang lebih banyak. Karena, kami yakin, omnibus law sangat merugikan masyarakat,” ujar juru bicara Aliansi Rakyat Bergerak, Lusi, di lokasi aksi.
Aksi tersebut sudah diadakan sebanyak empat kali sejak dimulai pertama kalinya pada akhir tahun 2019. Tuntutannya selalu sama, yakni menggagalkan RUU Cipta Kerja. Terselip pula tuntutan lainya yang dinilai cukup penting dalam setiap aksi, seperti pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan penguatan lembaga KPK.
Dalam kajian yang dilakukan aliansi tersebut, keberadaan RUU Cipta Kerja justru dinilai kian melemahkan posisi buruh. Pelemahan itu ditunjukkan adanya potensi penetapan upah minimum yang kian rendah, pelanggaran hak buruh berserikat, hingga pemangkasan kewenangan serikat pekerja. Tak hanya itu, hak-hak pekerja perempuan, seperti cuti haid, hamil, dan keguguran, juga berpotensi dihilangkan.
Lusi menyatakan, aliansi tersebut akan terus bergerak hingga tuntutannya terpenuhi. Apabila nantinya RUU Cipta Kerja tetap disahkan, perlawanan tidak akan berhenti. Perlawanan dilakukan dengan berbagai cara.
”Kami akan memilih sebagai oposisi dari kebijakan ini. Misalnya, kami bisa melakukan gerakan kerakyatan melalui instrumen hukum ataupun instrumen kerakyatan. Instrumen hukum bisa ditempuh dengan judicial review. Instrumen masyarakat berupa aksi-aksi yang tak akan berhenti,” kata Lusi.
Lebih dari itu, Aliansi Rakyat Bergerak juga menjalin komunikasi dengan berbagai gerakan masyarakat lainnya dari luar Yogyakarta. Nantinya bakal ada jaringan komunikasi nasional yang membuat gerakan penolakan secara serentak di sejumlah daerah.
Dihubungi terpisah, Wawan Mas’udi, pengajar Ilmu Politik dari Universitas Gadjah Mada, mengungkapkan, aksi turun ke jalan muncul akibat berhentinya fungsi representasi anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Pembahasan RUU dilakukan kurang transparan. Kondisi itu mengakibatkan munculnya berbagai penolakan dan perdebatan atas kebijakan tersebut.
”Pembahasan ini seolah-olah memanfaatkan situasi ketika publik sedang terdistraksi (pandemi Covid-19) justru digunakan membahas sesuatu yang jauh dari harapan publik. Ini proses yang tidak transparan, tertutup, dan hanya memanfaatkan momentum. Ini yang memicu munculnya kekecewaan masyarakat,” kata Wawan.
Pembahasan ini seolah-olah memanfaatkan situasi ketika publik sedang terdistraksi justru digunakan membahas sesuatu yang jauh dari harapan publik.
Wawan menyampaikan, perlu adanya keterwakilan kelompok yang menjadi subyek kebijakan dari pembahasan RUU Cipta Kerja. Pembahasan hendaknya tidak hanya dilakukan DPR dan pemerintah. Kepentingan semua pihak harus saling bertemu sehingga kebijakan tersebut benar-benar menguntungkan rakyat.
”Tampaknya ada dua kepentingan yang belum bertemu. Satu, kepentingan buruh dan masyarakat sipil yang menganggap keberadaan UU harus bisa memproteksi masyarakat. Yang satu lagi, pemerintah dan DPR yang kelihatannya maunya cepat-cepat saja. Benturan ini harus dicari jalan keluarnya,” kata Wawan.