Rindu Air Sungai Kembali Jernih
Mendapatkan keasrian alam sungai yang masih sehat kondisinya merupakan pengalaman berharga sekaligus langka di Kabupaten Bungo, Jambi. Lubuk Beringin menjadi oase bagi warga yang rindu air sungai jernih.
Menikmati sungai bersih kini semakin dirindukan. Banyak orang rela menempuh jarak jauh demi mencapai pedalaman Lubuk Beringin, desa terakhir di hulu Batang Bungo, Kabupaten Bungo, Jambi, sekadar untuk merasakan jernihnya air sungai serta kondisi hutan nan asri.
Sejak pukul 11.00 WIB, iring-iringan kendaraan tampak memadat dari arah kota menuju desa yang berjarak 60 kilometer di hulu Batang Bungo. Jarak yang cukup jauh itu tak menjadi penghalang.
”Yang penting bisa mandi di sungai ini. Airnya jernih dan banyak ikannya,” ujar Dandy, pengunjung dari Kota Muara Bungo, Minggu (5/7/2020). Ia datang bersama keluarga besar berjumlah 12 orang. Mereka tampak gembira melepas penat.
Sesekali Dandy bermain di balik air untuk menangkap ikan-ikan semah yang berseliweran di sekitar kakinya. Ikan-ikan itu gesit melewati kejaran tangannya.
Setelah puas berendam dan berenang, ia pun mengajak sepupunya mendaki bukit di atasnya. Ada pula pengunjung lain menyusuri hutan lindung di dusun itu, didahului dengan menyeberang sungai dengan rakit.
Setelah masa relaksasi atau new normal berlaku dalam mengahadapi pandemi Covid-19, Lubuk Beringin pun kembali membuka diri. Sejak itulah pengunjung ramai berdatangan. Dalam dua pekan terakhir, sudah lebih dari 1.000 tamu.
Penjualan karcis retribusi yang dikelola oleh kelompok Pengelola Hutan Desa Lubuk Beringin mendatangkan lebih dari Rp 4 juta. Itu belum termasuk hasil penjualan produk pertanian dan hasil hutan setempat.
Baca juga: Gairah Wisata di Embung Muntialo
Menurut Assad, Sekretaris Kelompok Pengelola Hutan Desa Lubuk Beringin, pengunjung dapat menikmati durian, duku, avokad, dan beragam jenis buah endemik setempat di musim buah. Dapat pula membeli beras hasil produksi setempat sebagai oleh-oleh.
Wisata sungai bersih merupakan hasil perjuangan masyarakat adat setempat. Selama turun temurun Lubuk Beringin teguh menjaga wilayahnya dari kepungan tambang liar. Setiap kali ada aktivitas tambang liar mencoba masuk, warga langsung mengusir.
Keteguhan itu diperkuat pula oleh peraturan dusun, Sejumlah larangan yang berpotensi merusak ekosistem sungai diberlakukan. Misalnya saja menambang dengan mesin ataupun alat berat.
Setiap kali ada aktivitas tambang liar mencoba masuk, warga langsung mengusir.
Begitu pula meracuni ikan atau mengambil ikan di lubuk larangan secara diam-diam. Hukumannya adalah denda satu ekor kambing. ”Sampai sekarang, wilayah kami tetap aman dari gempuran tambang dan perusakan alam,” kata Bakian, Ketua Lembaga Adat Melayu Lubuk Beringin.
Kian langka
Mendapatkan keasrian alam sungai yang masih sehat kondisinya merupakan pengalaman berharga sekaligus langka di Bungo. Daerah itu sebenarnya memiliki ratusan sungai dan anak sungai, tetapi sebagian besar telah rusak karena dikepung pertambangan liar emas.
Baca juga: Tambang Emas Liar di Penjuru Bungo
Masyarakat kebanyakan telah menyadari potensi emas yang besar di wilayah itu. Sebagaimana disematkan nama pulau emas atau swarnadwipa, sejak di masa lalu, praktik mendulang emas adalah lazim. Bahkan, orientalis asal Inggris, William Marsden, dalam pengamatannya di abad ke-18, turut membawa serta hasil emas tersebut. Kualitas terbaik bernilai 23 karat telah diujinya di Menara London, sebagaimana ia ceritakan dalam buku The History of Sumatra (1811). Kekayaan emas pulalah yang menarik Pemerintah Belanda mendirikan pos perdagangan di Sumatera bagian tengah.
Mendulang emas dilakukan sambil berendam di tepi sungai. Lumpur pasir ditampung ke atas wadah bundar berbentuk seperti caping. Lalu diputar-putar dengan gerakan sentrifugal. Jika dilakukan penuh kehati-hatian, gerakan itu otomatis memisahkan emas dan pasir kuarsa. Pasir akan terdorong ke sisi luar, sedangkan emas tetap berada di sisi dalam wadah.
Teknik dulang merupakan cara mendapatkan emas yang aman bagi lingkungan.
Teknik dulang merupakan cara mendapatkan emas yang aman bagi lingkungan. Namun belakangan banyak yang tak puas lagi dengan hasil emasnya. Apalagi menyaksikan pemodal besar mendatangkan mesin dompeng hingga alat berat. Mengaduk-aduk tebing-tebing sungai. Akibatnya sungai-sungai keruh kerena longsoran sedimen. Kondisi itu didapati mulai dari kaki pegunungan Bukit Barisan hingga kawasan Bandara Muara Bungo, dan bahkan di pusat ibu kota Bungo.
Belum lagi logam berat merkuri digunakan untuk memurnikan emas berakibat meracuni ikan-ikan di sepanjang perairan sungai. Kondisi itu terjadi baik di hulu maupun hilir.
Sejak lima tahun terakhir, nyaris tak adalagi sungai yang bening airnya. Hasil uji laboratorium Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bungo tahun 2019 menunjukkan kadar kekeruhan air melampaui ambang batas pada seluruh sungai primer di Bungo. Kondisi itu terpantau di Batang Bungo, Batang Tebo, Batang Jujuhan, Batang Senamat, dan Pelepat. Dari sampel yang diambil pada 15 titik, kadar kekeruhan di atas batas 25 Nephelometric Turbidity Unit. Sejumlah sampel bahkan menunjukkan kadar kekeruhan di atas 100 NTU.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bungo Yuddi mengatakan, maraknya aktivitas tambang emas itu telah merusak ekosistem sungai dan berbagai sendi kehidupan masyarakat setempat. ”Airnya sudah sangat tercemar,” katanya. Bahkan, banyak ikan tak mampu bertahan.
Hasil penelitian terdahulu menunjukkan kandungan merkuri (Hg) pada ikan di Batang Bungo melampaui ambang batas alias tak layak konsumsi. Empat sampel ikan dari sungai di Desa Tanjung Agung dan Sungai Pinang pada Februari 2011 menunjukkan kadar merkuri 0,03 hingga 0,9 ppm. Tahun sebelumnya kadar merkuri pada sampel ikan mencapai 0,2 hingga 0,7 ppm. Kadar Hg dalam ikan dan hasil olahannya berdasarkan Surat Keputusan Dirjen POM Tahun 1989 adalah maksimal 0,5 ppm. Standar Kanada untuk merkuri dalam sedimen sungai 0,13 ppm sedangkan standar Amerika 0,41 ppm. Mengonsumsi ikan bermerkuri dalam jangka waktu tertentu dapat mengakibatkan dampak kesehatan mulai dari gangguan penglihatan hingga kerusakan otot, saraf, hingga paru-paru.
Baca juga: Simalakama Tambang Emas Ilegal
”Hasil penelitian menunjukkan, sungai ini telah masuk kategori tercemar berat,” kata Budiyono, peneliti dari Universitas Bung Hatta, dalam tesisnya berjudul ”Analisis Pengaruh Penambangan Emas dan Pasir terhadap Kualitas Air dan Keanekaragaman Jenis Ikan di Sungai Batang Bungo”.
Masifnya tambang liar memukul sektor perikanan. Sepuluh tahun terakhir, usaha budidaya keramba di sungai tak dapat lagi berlanjut. ”Ikan tidak bisa bertahan hidup dan akhirnya petani mengalami kerugian,” jelasnya.
Tidak hanya keramba apung. Lubuk-lubuk larangan yang merupakan reservoir bagi ikan-ikan endemik tak lagi berfungsi dengan baik. Ketua Forum Peduli Hijau Bungo, Hasan Ibrahim menyebut dari sekitar 150 lubuk larangan di Bungo, setengahnya telah rusak.
Baca juga: Bencana Senyal dari Tambang
Menyikapi parahnya kondisi tersebut, Bupati Bungo Mashuri mengatakan telah dibangun kesepakatan para pihak untuk bekomitmen menyetop tambang liar emas. Pihaknya pun mengingatkan adanya penegakkan hukum yang terpadu.
Jika tambang liar benar-benar berakhir, selanjutnya perlu menghidupkan kembali perekonomian masyarakat. Sumber ekonomi dari pariwisata alam hingga budidaya berbasis hasil ikan cukup potensial. Karena itu, ia mendorong agar lubuk-lubuk larangan dihidupkan lagi. Masyarakat diberi bantuan benih ikan secara gratis. ”Ini sebagai bentuk insentif bagi masyarakat yang peduli,” katanya.
Menghentikan tambang liar butuh komitmen kuat dari aparat penegak hukum. Masyarakat menanti keseriusan itu. Sebagaimana merindukan sungai-sungai kembali jernih.