Sejak 2017 peneliti sudah melakukan penelitian dan tahun lalu mengingatkan potensi bencana banjir dengan risiko tinggi di Luwu Utara, Sulsel. Kerusakan hulu memicu banjir yang menyebabkan puluhan ribu warga mengungsi.
Oleh
RENY SRI AYU
·3 menit baca
MAKASSAR, KOMPAS — Kerusakan parah yang terjadi di hulu-hulu sungai di Luwu Utara, Sulawesi Selatan, adalah pemicu terjadinya banjir bandang yang menerjang enam kecamatan pada Senin (13/7/2020) malam. Sejauh ini banjir menyebabkan 19 warga meninggal dan puluhan ribu lainnya mengungsi.
Kondisi lingkungan dan potensi bencana telah diteliti peneliti dari Pusat Kebencanaan Universitas Hasanuddin sejak 2017. Pada 2019, peneliti mengeluarkan hasil penelitian yang salah satunya menyebut Luwu Utara adalah salah satu daerah dengan potensi bencana berupa banjir dengan risiko tinggi.
”Di daerah hulu proses pelapukan sangat intens terjadi di antaranya disebabkan alih fungsi lahan. Salah satunya untuk permukiman dan perkebunan. Kondisi tanah di hulu yang sangat lapuk itulah yang menghasilkan material sedimen berupa pasir dan lumpur bercampur batu,” kata Ketua Pusat Studi Kebencanaan Unhas Prof Adi Maulana, Rabu (15/7/2020).
Dalam hasil penelitian Pusat Studi Kebencanaan Unhas, Masamba dan sekitarnya disebut sebagai dataran luas yang terbentuk oleh erosi dan sedimentasi ribuan bahkan jutaan tahun lalu. Luasnya sekitar 1.500 kilometer persegi. Dataran ini disusun oleh material aluvial dengan sumber dari bebatuan yang berasal dari pegunungan di bagian utara, timur, dan baratnya.
Di bagian utara dan barat ada pengunungan yang disusun oleh formasi kambuno dengan komposisi granitik sampai dioritik. Sementara di timur disusun oleh pegunungan dengan batuan metamorfik dan kompleks pompangeo.
Di daerah hulu proses pelapukan sangat intens terjadi di antaranya disebabkan alihfungsi lahan. Salah satunya untuk permukiman dan perkebunan. Kondisi tanah di hulu yang sangat lapuk itulah yang menghasilkan material sedimen berupa pasir dan lumpur bercampur batu.
Kondisi morfologi daerah ini bagaikan cekungan kecil yang diapit oleh pegunungan di bagian utara, timur, dan barat serta Teluk Bone di bagian selatan.
”Terdapat setidaknya tiga sungai besar dan beberapa sungai kecil yang mengalir memotong daerah dataran luas ini dari utara ke selatan. Sungai-sungai besar ini terbentuk oleh patahan atau sesar sekitar dua juta tahun lalu. Patahan-patahan ini terbentuk oleh proses tektonik pembentukan Pulau Sulawesi. Seiring waktu, patahan-patahan ini membentuk aliran sungai,” kata Adi.
Data BPBD Sulsel menyebut banjir bandang yang menerjang enam kecamatan di Luwu Utara disebabkan meluapnya tiga sungai, yakni Sungai Masamba, Radda, dan Rongkong, serta beberapa sungai kecil. Luapan terjadi hampir bersamaan setelah sebelumnya terjadi hujan dengan intensitas lebat selama lebih dari dua hari.
Enam kecamatan yang diterjang banjir adalah Kecamatan Masamba, Sabbang, Baebunta, Baebunta Selatan, Malangke, dan Malangke Barat. Di wilayah ini, tinggi timbunan material berkisar 1-4 meter. Material berupa bebatuan, pasir, tanah, hingga kayu gelondongan.
Suhu muka laut
Prakirawan BMKG Makassar, Esti Kristanti, mengatakan, kejadian hujan lebat di wilayah Luwu Utara dipengaruhi oleh suhu muka laut yang hangat di Teluk Bone. Selain itu, juga terdapat daerah belokan angin (konvergensi) di wilayah Sulawesi bagian tengah yang memicu pertumbuhan awan konvektif atau kumulonimbus yang mengakibatkan terjadinya hujan lebat.
”Berdasarkan analisis citra satelit BMKG, pertumbuhan awan konvektif terjadi di wilayah Sulawesi Tengah dan bergerak ke Luwu Timur dan Luwu Utara. Curah hujan yang cukup tinggi terkonsentrasi di wilayah hulu Luwu Timur,” kata Esti.
Trkait bencana banjir bandang ini, hingga Rabu tim SAR gabungan telah mengevakuasi 21 korban meninggal. Pencarian terus dilakukan untuk mencari warga yang dilaporkan hilang oleh keluarganya.
Data sementara yang dilansir BPBD Luwu Utara juga menyebut puluhan ribu warga kini mengungsi. Lebih dari 200 rumah tertimbun material sisa banjir bandang dan sebagian lain tersapu banjir.