Virus ASF Ditemukan pada Sampel Daging Babi di Pasar Palembang
Satu dari tujuh sampel daging babi yang dijual di sejumlah pasar di Palembang terdeteksi mengandung virus demam babi afrika. Lalu lintas perdagangan babi ke Palembang akan diperketat.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Penelitian Balai Veteriner Lampung menunjukkan, satu dari tujuh sampel daging babi yang dijual di sejumlah pasar di Palembang, Sumatera Selatan, terdeteksi mengandung virus demam babi afrika. Oleh karena itu, Pemerintah Kota Palembang akan memperketat lalu lintas perdagangan babi masuk ke Palembang.
Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Palembang Sayuti, Selasa (14/7/2020), mengatakan, dari tujuh sampel yang diambil di sejumlah pasar di Palembang, satu sampel daging babi positif mengandung virus demam babi afrika (african swine fever/ASF). Adapun enam sampel lainnya dalam kondisi aman. Sampel diambil pada hari Kamis (2/7/2020).
Selain ke pasar, petugas dari Balai Veteriner Lampung juga datang ke sejumlah kandang babi di Palembang untuk mengambil sampel darah, kotoran, dan kerak di kandang. Adapun sampel yang diambil di kandang belum diketahui hasilnya.
Pengambilan sampel dilakukan karena adanya kematian ratusan babi di Palembang pada Maret 2020. Kematian itu menggemparkan para peternak karena belum pernah terjadi sebelumnya.
Walau belum diketahui apa penyebabnya, lanjut Sayuti, kuat dugaan penyebab kematian babi pada Maret lalu karena virus ASF. ”Walau tidak menular di manusia, kita tetap harus waspada,” ucapnya.
Total ada 878 ekor babi di Kota Palembang yang mati di kandang. Kematian ini membuat peternak mengalami kerugian besar. Kematian babi terbanyak terjadi di Kawasan Talang Buruk, Kecamatan Alang-alang Lebar, Palembang.
Saat mati, ada beberapa gejala yang terlihat, seperti demam tinggi, pendarahan, dan menurunnya nafsu makan babi itu. Gejala itu mirip dengan ASF.
Gejala itu mirip dengan ASF.
Berdasarkan hasil penelitian itu, ungkap Sayuti, pihaknya sedang merancang surat edaran yang nantinya akan diajukan kepada Wali Kota Palembang Harnojoyo agar lalu lintas penyaluran daging babi ke Palembang lebih diperketat. Caranya dengan memastikan semua daging yang masuk ke Palembang memiliki surat keterangan kesehatan hewan (SKKH).
Dengan adanya surat edaran itu, para peternak diharapkan bisa lebih terbuka sehingga risiko masuknya segala jenis penyakit hewan atau potensi zoonosis (penyakit hewan yang bisa menular ke manusia) dapat dimininalkan.
Selain itu, dalam surat edaran juga ada saran untuk dibangunnya rumah potong hewan (RPH) khusus untuk babi. Dengan adanya RPH, kondisi kesehatan hewan dapat terpantau.
Selama ini, pasokan daging babi di Palembang sebagian besar berasal dari Sumatera Utara dan Lampung. Transaksi perdagangan babi di Palembang juga cenderung tertutup sehingga pihaknya sulit untuk mengawasi. Padahal hal ini sangat berbahaya karena akan merugikan peternak.
Sayuti mencontohkan, kasus penyakit Jembrana pada sapi bisa ditekan karena para peternak terbuka dan pemerintah melakukan vaksinasi. ”Memang, untuk ASF, belum ditemukan vaksinnya. Namun, setidaknya babi yang didatangkan dapat dipastikan dalam kondisi sehat,” ucap Sayuti.
Ketua Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PHDI) Cabang Sumsel Jafrizal mengatakan, ASF memang tidak menular ke manusia. Namun, jika banyak hewan yang terjangkit, risiko kematian hewan akan semakin tinggi. ”Langkah disinfeksi harus terus dilakukan agar virus ini tidak menular,” ucapnya.
Jumlah babi yang ada di Palembang sekitar 1.000 ekor. Ternak itu tersebar di beberapa kawasan.
Pengetatan peredaran babi, kata Jafrizal, memang diperlukan karena risiko penyakit pada hewan kian gencar. Ada flu babi yang perlu diwaspadai karena dapat menular ke hewan lain, bahkan ke manusia. Apalagi di sejumlah kawasan peternakan babi sangat dekat dengan kandang ayam.
Namun, untuk kasus ini, ungkap Jafrizal, tidak diperlukan adanya karantina wilayah karena keberadaan babi terlokalisasi di sejumlah tempat saja. ”Peternakan babi di Palembang hanya ada di komunitas tertentu,” ucap Jafrizal.