Pandemi Memukul 98 Persen Sektor Usaha di Banyuwangi
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) melakukan survei untuk mengetahui seberapa parah dampak pandemi Covid-19 terhadap usaha di Banyuwangi.
Oleh
ANGGER PUTRANTO
·3 menit baca
BANYUWANGI, KOMPAS — Pandemi Covid-19 memukul sektor usaha di Banyuwangi, Jawa Timur. Sebanyak 98 persen terdampak. Sebagian besar dari usaha itu belum bisa pulih hingga kini.
Hasil survei yang dilakukan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Banyuwangi menunjukkan besarnya dampak pandemi pada sektor usaha di kabupaten itu. Survei ini dilakukan untuk mengetahui seberapa kuat Covid-19 mengguncang dunia usaha di Banyuwangi.
Survei dilakukan dengan metode random sampling. Sedikitnya ada 250 pelaku usaha dipilih menjadi responden untuk mendapat gambaran dampak pandemi Covid 19 terhadap para pelaku usaha.
”Selama masa pembatasan sosial sejak Maret hingga akhir Mei, sebagian besar pelaku usaha terdampak. Dari 250 responden, sebanyak 98 persen mengaku terdampak, sedangkan 1,5 persen mengaku biasa saja dan 0,5 persen mengaku tidak terdampak,” ujar Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Banyuwangi Suyanto Waspotondo di Banyuwangi, Selasa (14/7/2020).
Dari 250 responden, sebanyak 98 persen mengaku terdampak, sedangkan 1,5 persen mengaku biasa saja dan 0,5 persen mengaku tidak terdampak.
Suyanto mengatakan, dampak yang paling dirasakan para pelaku usaha adalah terhentinya pemasaran dan penurunan jumlah konsumen. Sebanyak 31,7 persen responden mengaku sulit memasarkan produk usahanya selama masa pembatasan sosial. Selain itu, sebanyak 18,3 persen pelaku usaha juga mengaku mengalami penurunan jumlah konsumen.
Pandemi juga memaksa sejumlah pelaku usaha menutup usahanya. Sedikitnya ada 17,3 persen pelaku usaha di Banyuwangi menutup usahanya. Sementara pelaku usaha yang lain masih membuka usahanya, tetapi mengalami berbagai kendala.
”Sebanyak 74,1 persen responden mengaku mengalami penurunan omzet. Bahkan proses produksi juga terganggu karena ketersediaan bahan baku. Sedikitnya 54,1 persen responden mengalami permasalahan ketersediaan bahan baku,” tutur Yayan.
Yayan mengatakan, survei tersebut dilakukan terhadap sejumlah pelaku usaha dari berbagai sektor. Beberapa responden merupakan pelaku usaha di sektor hotel, restoran, dan usaha mikro, kecil, dan menengah.
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia Banyuwangi Zaenal Muttaqin mengaku, selama pandemi, sejumlah hotel di Banyuwangi tidak beroperasi. Sementara hotel-hotel yang masih tetap buka melakukan sejumlah upaya perampingan.
”Ada delapan hotel yang tutup sementara dan akhirnya baru kembali buka 1 Juni lalu. Pandemi juga berdampak bagi 4.000 karyawan hotel dan restoran. Hotel-hotel yang buka sempat menerapkan unpaid leave (meliburkan karyawan) untuk mengurangi beban pengeluaran,” tuturnya.
Heri Sampurno, salah satu pemilik rumah makan di Banyuwangi, juga mengalami hal serupa. Heri merupakan pemilik Warung Lya di Jalur Pantura ruas Banyuwangi-Situbondo, Kecamatan Wongsorejo.
”Warung kami biasa menghabiskan 100 ekor ayam per hari. Kini maksimal hanya 30 ekor per hari. Konsumen kami kebanyakan sopir-sopir logistik yang mengantar barang lintas pulau dari Jawa ke Bali hingga Lombok. Karena penyeberangan semakin diperketat, sopir-sopir juga semakin sedikit yang mampir,” tuturnya.
Akibatnya, Heri harus merumahkan beberapa karyawannya. Semula, Heri mempekerjakan lima orang. Namun, karena sepi pengunjung, memaksa Heri mengurangi karyawannya hingga tersisa dua orang.
Meski demikian, ia mengakui, dalam satu minggu terakhir, jumlah pengunjung di warungnya kembali naik kendati jumlahnya belum bisa menyamai saat sebelum pandemi.
Zulfantriadji, pemilik usaha jasa foto Great Photography, mengatakan, pembatasan sosial juga mengganggu usaha miliknya. Ia bahkan harus melakukan penyesuaian agar tetap mendapat keuntungan.
”Jasa foto pernikahan yang biasa mendapat tiga klien hingga lima klien, kini sama sekali tidak ada. Kalaupun ada, hanya untuk akad nikah tanpa resepsi. Saya biasanya memotret bersama satu atau dua orang lain. Kalau hal itu tetap saya lakukan, keuntungan yang didapat akan semakin kecil,” tutur Zulfan.
Biasanya, dalam satu kali pernikahan akad dan resepsi, Zulfan mengaku mendapat untung hingga Rp 2,5 juta. Kini, saat hanya memotret akad nikah, ia hanya mendapat untung tidak lebih dari Rp 1 juta.