Banjir Lamandau dan Kotawaringin Barat Terparah dalam Puluhan Tahun Terakhir
Banjir di Kalimantan Tengah kian meluas. Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah baru akan membuat kajian singkat dan strategis untuk mengetahui penyebabnya.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Banjir di Kabupaten Lamandau dan Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, menjadi yang terparah dalam puluhan tahun terakhir. Bukan hanya soal curah hujan yang tinggi, melainkan juga daya dukung alam yang terus merosot. Pemerintah baru akan membuat kajian ilmiah terkait bencana alam tersebut.
Di Kotawaringin Barat, banjir sebenarnya sudah mulai melanda sejak Juni lalu. Meskipun sempat surut, banjir kembali melanda sampai saat ini dan tinggi muka air terus meningkat.
Data BPBD Kotawaringin Barat, setidaknya terdapat 1.564 keluarga terdampak dan 1.523 rumah terendam. ”Memang ini banjir tahunan, tetapi tahun ini paling parah dari tahun-tahun sebelumnya. Tidak pernah sampai selama dan setinggi ini,” kata Reneli saat dihubungi Kompas, Selasa (14/7/2020).
Kepala Bidang Pencegahan dan Kedaruratan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kotawaringin Barat Reneli menjelaskan, tinggi muka air terus meningkat hingga ketinggian maksimal mencapai 5 meter di beberapa titik.
Reneli menjelaskan, banjir melanda tiga kecamatan, yakni Kecamatan Arut Utara, Arut Selatan, dan Kotawaringin Laman. Di tiga wilayah itu, banjir disebabkan luapan beberapa sungai, seperti Sungai Lamandau dan Sungai Arut.
Biasanya, lanjut Reneli, banjir paling lama hanya satu hingga dua hari lalu surut. Kali ini banjir terus melanda dalam kurun satu bulan meski sempat surut. Ia menyebutkan, tahun 1997 dan 2007 banjir juga melanda dengan intensitas hujan yang tinggi, tetapi tak separah saat ini.
Saat ini, pihaknya terus mendata lakukan pendataan dan evakuasi masyarakat terdampak paling parah. ”Sebagian besar warga tidak mau dievakuasi ke posko yang sudah dibuat. Mereka lebih memilih tinggal di rumah koleganya di wilayah yang relatif lebih aman dari banjir,” katanya.
Di Kabupaten Lamandau, banjir belum juga surut, justru meluas dari lima kecamatan hingga tujuh kecamatan. Hanya Nanga Bulik, ibu kota Kabupaten Lamandau, yang tidak diterjang banjir.
Banjir terparah berada di Kecamatan Delang dan Batang Kawa yang berjarak sekitar 500 kilometer dari Kota Palangkaraya. Namun, wilayah ini hanya berjarak 100 kilometer dari Ketapang, Kalimantan Barat, yang saat ini juga direndam banjir selama sepekan lebih.
Kepala Pelaksana BPBD Lamandau Edison Dewel menjelaskan, banjir tahun ini merupakan yang paling parah karena merendam 21 titik ruas Jalan Trans-Kalimantan dan merendam 32 desa. Itu pun masih data sementara karena banyak wilayah yang belum bisa dipantau petugas karena akses yang tertutup.
”Ada wilayah blankspot karena kami tidak masuk. Aksesnya benar tertutup banjir, kami masih berupaya agar bisa sampai ke sana untuk mengevakuasi warga,” ungkap Edison.
Edison menjelaskan, meluapnya Sungai Lamandau disebabkan curah hujan tinggi yang tidak berhenti. Hujan bisa mengguyur dua sampai tiga hari tanpa berhenti.
Di wilayah Lamandau, khususnya Kecamatan Batang Kawa, dalam lima tahun terakhir sedang terjadi alih fungsi hutan menjadi perkebunan sawit. Di Desa Laman Kinipan, meskipun ditolak warga setempat, pembukaan hutan masih terus terjadi sampai saat ini.
Di Kinipan, dari total 16.000 hektar hutan, sekitar 4.000 hektar sudah dibuka dan diganti perkebunan sawit. Masyarakat setempat sampai sekarang masih terus melakukan penolakan (Kompas, 24 Juli 2018).
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteg Dimas Novian Hartono menjelaskan, banjir saat ini di wilayah yang sebelumnya belum pernah terjadi merupakan konsekuensi yang tidak dapat dihindari. Hal itu karena ulah manusia dan kebijakan negara yang tidak memperhatikan lingkungan.
”Buruknya tata kelola sumber daya alam di Kalteng membuat lokasi yang hutannya harus dijaga malah dibuka demi keran investasi dengan skala besar. Sehingga pembukaan hutan yang menjadi benteng alam dan penyerapan air tak terhindar, fungsinya pun hilang,” kata Dimas.
Menurut Dimas, pemerintah perlu melakukan evaluasi perizinan dan merehabilitasi lokasi-lokasi yang rusak akibat alihi fungsi lahan. ”Dan itu harus dilakukan bersama massyarakat setempat sehingga pengelolaannya bisa lebih arif ke masyarakat setempat,” katanya.
Menanggapi hal itu, Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana dan Pemadam Kebakaran (BPBPK) Darliansjah menjelaskan, pihaknya diminta Gubernur Kalteng melakukan kajian singkat dan strategis terkait banjir yang terjadi. Ia juga sudah berkoordinasi dengan pemerintah kabupaten untuk membuat hal itu.
”Kajian itu bukan hanya dari sisi lingkungan, melainkan juga dari kehutanan dan aspek lainnya. Dengan begitu ke depannya akan dilakukan tindakan-tindakan yang bisa diambil pemerintah,” ungkap Darliansjah.
Darliansjah menjelaskan, dirinya tidak bisa mengambil kesimpulan bahwa banjir itu terjadi karena faktor lingkungan semata. Namun, kajian soal bencana yang terjadi tiap tahun itu memang baru akan dibuat.
”Harus ada kajian siingkatnya. Tetapi, kami (pemerintah provinsi) terus memonitor tindakan di lapangan dan hingga kini semua masih bisa ditangani pemerintah daerah,” katanya.