Hotel dan Losmen di Manado Bertahan di Tengah ”Lesu Darah” akibat Pandemi
Hotel dan losmen di Manado, Sulawesi Utara, berupaya bertahan di tengah rendahnya tingkat keterisian kamar. Sebagian mendapat untung dari warga dalam ataupun luar Manado dengan menurunkan harga.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·5 menit baca
KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI
Kolam renang di Hotel Sahid Manado, Wanea, Manado, Sulawesi Utara, digenangi air keruh, Senin (13/7/2020). Sejak pandemi Covid-19 merebak, hotel bintang tiga yang diresmikan tahun 1986 itu masih sepi.
MANADO, KOMPAS — Hotel dan losmen di Manado, Sulawesi Utara, berupaya bertahan di tengah rendahnya tingkat keterisian kamar akibat badai wabah Covid-19 yang menghantam sektor pariwisata. Sebagian hotel mendapat untung dari warga dalam ataupun luar Manado dengan menurunkan harga dan memaksimalkan kerja sama dengan platform dalam jaringan.
Putaran roda pariwisata di Manado telah terhenti selama tiga bulan sejak Bandara Sam Ratulangi ditutup, April 2020. Penerbangan langsung internasional antara Manado dengan China, Singapura, dan Malaysia telah ditutup lebih dulu pada Februari-Maret 2020. Aliran kedatangan wisatawan pun tersendat.
Hotel Sahid Manado yang sudah lesu sejak sebelum pandemi pun kini di ambang hidup dan mati. Sejak 1 April 2020, hotel yang diresmikan tahun 1986 sebagai hotel bintang tiga, sekaligus salah satu hotel pertama di Manado itu, tak lagi menerima tamu.
Hanya ada seorang pekerja harian yang menjaga hotel, sedangkan 15 pegawai hotel lainnya dirumahkan sejak 1 April lalu. Kasir Umum Hotel Sahid Manado, Badri Subakir, mengatakan, sebelum pandemi keterisian hotel hanya 15 persen dari total 40 kamar.
”Dulu, artis-artis sampai menteri pasti menginap di sini. Namun, sejak ada hotel-hotel baru, kami semakin tenggelam. Sejak Covid-19 ini, kami betul-betul habis,” kata Badri yang sudah bekerja 27 tahun di hotel itu.
KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI
Hotel Sahid Manado, Wanea, Manado, Sulawesi Utara, tak lagi menerima tamu sejak 1 April 2020 lalu hingga Senin (13/7/2020).
Keadaan hotel tak terawat sejak setidaknya setahun terakhir. Hotel gelap dan pengap. Atap mulai rontok dan bocor, sedangkan tiang-tiang pintu kayu tampak rusak. Rumput tumbuh semakin liar, sedangkan kolam renang digenangi air keruh. Kendati begitu, pengelola Sahid Group di Jakarta masih terus membayar biaya listrik hotel yang mencapai Rp 12 juta per bulan.
”Tiga pekerja harian ini cuma buat merawat aset saja karena tidak ada yang bisa diharapkan lagi dari hotel ini. Tetpi tidak ada kepastian, apa hotel ini mau ditutup atau tidak. Lebih baik kami diberhentikan saja dan diberikan hak-hak kami seperti iuran jaminan sosial,” kata Badri.
Sejauh ini, tidak ada program khusus dari pemerintah. Pemerintah kota dan provinsi hanya membagikan bantuan sosial berupa bahan pangan.
Sebaliknya, Hotel Yuta di Kelurahan Kleak, Malalayang, tidak pernah tutup selama pandemi sekalipun pariwisata lesu. Untuk tetap menggaet tamu, mereka menurunkan harga sewa kamar, seperti kamar tipe standar yang kini Rp 250.000 semalam dari sebelumnya Rp 280.000 dengan menghilangkan fasilitas sarapan.
”Mau tidak mau, pandemi memang bikin okupansi (keterisian) hotel kami menurun. Dari 32 kamar, sekarang tidak sampai 50 persen. Sepuluh saja terisi sudah bagus, paling banyak tamu warga Manado saja,” kata Yuvly Senduk (41), petugas resepsionis hotel melati itu.
KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI
Hotel Sahid Manado, Wanea, Manado, Sulawesi Utara, tak lagi menerima tamu sejak 1 April 2020 lalu hingga Senin (13/7/2020).
Akibatnya, dua dari 15 karyawan hotel dirumahkan. Kewajiban masuk kerja pun dikurangi dari enam menjadi empat kali sepekan.
Seiring dengan wacana adaptasi kebiasaan baru yang digaungkan pemerintah, masyarakat kembali beraktivitas di luar rumah. Hotel Yuta pun mulai menerima tamu asal Tomohon, Minahasa, hingga Gorontalo. ”Ada yang tidak bisa pulang ke daerah asalnya karena harus melengkapi persyaratan lintas batas sehingga mereka menginap di sini,” kata Yuvly.
Manajemen hotel pun menyediakan cairan pembersih tangan di resepsionis, sementara semua karyawan wajib mengenakan masker. Kamar-kamar pun disemprot disinfektan sebelum dan setelah dibersihkan.
Keterisian kamar di losmen sekaligus indekos My Place di bilangan Sario juga berangsur membaik. Sempat terjun bebas di awal pandemi, kini tujuh hingga delapan dari total 11 kamar di losmen itu mulai terisi. Kemitraan dengan platform pemesanan kamar hotel Reddoorz dinilai cukup membantu menjaring tamu.
”Untuk sementara, kebanyakan tamu harian dari Manado. Ada juga yang dari luar kota, misal dari Bitung, biasanya karena ada dinas luar kota. Mereka kami mintai fotokopi KTP, lalu kami serahkan berkas kepada kepala lingkungan setempat untuk monitoring seandainya tamu sakit,” kata Rivaldi (25), penanggung jawab losmen.
KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI
Wisatawan dari China mengantre di konter lapor diri di Bandara Sam Ratulangi, Manado, Jumat (31/1/2020), untuk kembali ke Guangzhou, China. Per 1 Februari 2020, Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara menutup penerbangan langsung dari China ke Manado, disusul penutupan penerbangan serupa secara nasional per 5 Februari 2020.
Ia mengatakan, para tamu juga harus mengenakan masker, mencuci tangan di halaman, dan mengukurkan suhu tubuh sebelum masuk ke ruang resepsionis. ”Yang di atas 37,5 derajat celsius tidak boleh masuk,” kata Rivaldi.
Untuk sementara, dua dari tujuh karyawan losmen dirumahkan. Yang masih bekerja harus dipotong gajinya hingga 30 persen.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Sulut, tingkat hunian 6.000-an kamar hotel di Sulut pun turun dari 33,13 persen pada Maret menjadi 13,98 persen per April. Namun, keterisian kamar hotel membaik menjadi 19,14 persen selama Mei. Rata-rata lama menginap tamu domestik ataupun asing menurun sedikit dari 2,29 hari pada April menjadi 2,05 hari sepanjang Mei.
Sepanjang Mei, sebanyak 146 pesawat mendarat di Manado, semuanya penerbangan domestik. Jumlah ini menurun dari 297 pada April lalu. Jumlah warga yang datang 680, menurun dari 10.807 orang pada April. Tingginya jumlah kedatangan pada April lalu menggambarkan warga Sulawesi Utara yang pulang kampung setelah pandemi menyerang.
Terkait hal ini, Pemkot Manado belum memiliki rencana besar memulihkan pariwisata di Manado selain membagikan bantuan kepada para pekerja di sektor pariwisata yang dirumahkan. Kepala Dinas Pariwisata Manado Lenda Pelealu mengatakan, pihaknya pun masih berupaya berfokus pada penyelenggaraan festival virtual Manado Fiesta.
KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI
Pengunjung acara pembukaan Manado Fiesta berfoto di depan salah satu kendaraan hias selepas acara selesai pada Sabtu (27/7/2019) malam di kawasan bisnis Megamas, Manado, Sulawesi Utara.
”Kami sendiri belum menemukan bentuk baku dari festival virtual ini, masih meraba-raba. Kami coba menampilkan obyek-obyek wisata Manado secara online. Hotel-hotel pun punya kesempatan mempromosikan bisnisnya,” kata Lenda.
Untuk sementara, sebagian obyek wisata di Manado masih ditutup, seperti Taman Nasional Bunaken. Sebelum penerbangan kembali pulih total, pariwisata pun belum akan pulih.