Pembalakan liar di kawasan hutan di Nusa Tenggara Barat masih terus terjadi. Dua terduga pencurian kayu di kawasan hutan So Sumpit Kelompok Hutan Ampang Kampaja, Sumbawa, ditangkap. Pemodal aksi itu kini dikejar.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·3 menit baca
SUMBAWA, KOMPAS — Penyidik Balai Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara dan penyidik Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nusa Tenggara Barat menetapkan dua orang sebagai tersangka kasus dugaan pembalakan liar di kawasan hutan So Sumpit Kelompok Hutan Ampang Kampaja, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Pemodal kedua tersangka kini diburu.
Kepala Balai Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup Wilayah Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara Muhammad Nur saat dihubungi dari Mataram, Senin (13/7/2020), mengatakan, dua orang yang ditetapkan sebagai tersangka, yakni A (43) dan S (38).
Menurut Nur, pengungkapan kasus itu bermula dari kegiatan patroli Polisi Kehutanan Balai Kesatuan Pengelola Hutan Ampang Riwo, Rabu (8/7/2020). Patroli itu dilakukan setelah mereka mendapat informasi dari masyarakat jika ada pembalakan liar di kawasan hutan Ampang Kampaja.
Ampang Kampaja adalah kawasan kelompok hutan yang berada di tiga desa, yakni Desa Mata, Desa Pidang, dan Desa Tolo Oi, Kecamatan Tarano, Kabupaten Sumbawa, NTB.
”Saat tiba di lokasi, polisi kehutanan menemukan lima orang yang sedang membuat pondok dan memperbaiki chainsaw (gergaji mesin).Ada dua chainsaw dan delapan batang kayu olahan sepanjang 12 meter,” kata Nur.
Ia menambahkan, dari pendalaman terhadap lima orang yang ditemukan, tiga orang sebagai saksi karena hanya berperan sebagai tukang masak dan membawa peralatan masak. Sementara dua orang lainnya, yakni A dan S, diduga memotong kayu.
Polisi kehutanan menemukan lima orang yang sedang membuat pondok dan memperbaiki chainsaw (gergaji mesin).
”Keduanya sudah dititipkan di rumah tahanan Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Sumbawa,” kata Nur.
Akibat perbuatan mereka, kedua tersangka dijerat dengan Pasal 82 Ayat 1 Huruf c juncto Pasal 12 Huruf c Undang-Undang No 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dan Pasal 55 Ayat 1 Ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan ancaman hukuman penjara maksimal lima tahun.
Nur mengatakan, petugas terus mengembangkan kasus itu, termasuk memburu seorang warga berinisial T yang diduga berperan sebagai pemodal. ”Kami akan terus melacak pemodal maupun pemain lainnya. Kami tidak akam berhenti menegakkan hukum terhadap para perusak hutan,” kata Nur.
Melalui siaran resmi, Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani menegaskan bahwa pemerintah tidak akan kompromi dalam menghadapi perusak hutan dan jaringannya, termasuk para pemodalnya.
Petugas terus mengembangkan kasus itu, termasuk memburu seorang warga berinisial T yang diduga berperan sebagai pemodal.
”Perbuatan merusak hutan itu sangat berdampak pada kualitas lingkungan dan sudah dirasakan masyarakat. Saya memohon agar pelaku dihukum seberat-beratnya agar jera, apalagi pemodalnya,” kata Rasio.
Penangkapan A dan S menambah panjang daftar pengungkapan tindak pidana kehutanan di NTB. Berdasarkan data Provinsi NTB, sepanjang 2016-2018, tercatat 58 kasus diungkap dengan total tersangka 69 orang.
Begitu juga untuk pengungkapan di tingkat Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Sebelumnya, kata Nur, mereka juga mengungkap, antara lain, kontainer kayu ilegal dari Papua dan Maluku di Surabaya pada 2019, mafia dan pemodal kayu ilegal di Banyuwangi pada 2020, dan pelaku pembalakan liar di Taman Nasional Meru Betiri Jember.
Nur menambahkan, pembalakan liar di kawasan hutan di NTB masih marak. Oleh karena itu, penegakan hukum terhadap para perusak hutan terus dilakukan karena dampaknya sudah sangat dirasakan. Salah satu contohnya, kekeringan di musim kemarau dan banjir di musim hujan. Termasuk keterdesakan biota karena terganggu ekosistem hutan.
Sejalan dengan itu, pemerintah juga terus mencanangkan program perhutanan sosial. Program tersebut memungkinkan pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan warga setempat untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan, dan dinamika sosial budaya.