Desa Doudo Mengalahkan Ketertinggalan dengan Air Bersih
Keberadaan air bersih di Desa Doudo, Kecamatan Panceng, Kabupaten Gresik, Jawa Timur, berubah 180 derajat. Air mengalirkan sumber-sumber ekonomi dan kesehatan yang membuat kehidupan warga lebih sejahtera.
Oleh
AGNES SWETTA PANDIA/IQBAL BASYARI
·5 menit baca
Semilir angin sepoi berembus di pepohonan rindang yang mengelilingi waduk Desa Doudo, Kecamatan Panceng, Gresik, Jawa Timur. Waduk yang kini menjadi salah satu obyek wisata itu semakin ramai jelang sore. Sebelum memasuki area, pengunjung yang rata-rata warga setempat wajib mencuci tangan di tempat yang sudah disediakan pengelola.
”Ada kewajiban sebelum masuk ke tempat wisata harus cuci tangan, bahkan sebelum ada pandemi Covid-19,” kata Kepala Desa Doudo Sutomo saat mengajak Kompas berkeliling desa pada akhir Juni 2020 lalu.
Cuci tangan sudah menjadi kebiasaan warga Doudo sejak belasan tahun lalu. Kebiasaan itu terutama dilakukan ketika masuk rumah sehingga hampir semua rumah di desa ini dilengkapi sarana cuci tangan. Bagi warga setempat, berperilaku hidup bersih dan sehat dengan mencuci tangan menjadi bentuk syukur atas kehadiran air bersih di desa yang bertahun-tahun selalu kekeringan.
Ada kewajiban sebelum masuk ke tempat wisata harus cuci tangan, bahkan sebelum ada pandemi Covid-19.
Sutomo mengatakan, dahulu Desa Doudo selalu kesulitan mendapatkan air bersih. Warga pun sering kali terjangkit penyakit akibat tidak bisa berperilaku hidup bersih. Bahkan masih banyak warga yang buang air besar sembarangan karena sulitnya air bersih.
Desa dengan luas 1,8 hektar itu hanya menggantungkan air bersih dari satu telaga, yang ketika musim kemarau, juga ikut kering. Padahal, telaga tersebut menjadi satu-satunya sumber air untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya, mulai dari masak, mandi, hingga cuci. Bahkan waduk itu berfungi sebagai WC umum karena seluruh rumah tak dilengkapi WC, alasannya buat apa WC di rumah tapi tak ada air untuk membersihkan.
Setiap tahun sejak Agustus hingga Desember, Desa Doudo mengalami kekeringan yang cukup ekstrem. Kondisi telaga yang kering kerontang memaksa mereka mencari air ke desa tetangga. Tak jarang, penduduk harus membeli air dengan harga Rp 170.000 per tangki.
Berinisiatif
Pemerintah desa akhirnya berinisiatif membuat sumur bor pada 2008. Hingga saat ini, ada lima sumur bor berkedalaman sekitar 100 meter yang mengalirkan air bersih untuk lebih dari 400 rumah di desa ini. Untuk memperluas penyaluran air, juga memberi bantuan pompa untuk pengelola, kini air itu juga bisa dialirkan untuk desa sekitar.
Sejak kemudahan mendapatkan air bersih, perilaku hidup sehat warga terus ditingkatkan dengan gerakan cuci tangan pakai sabun. Perilaku itu pun menjadi gaya hidup warga, termasuk dalam pengelolaan lingkungan. ”Sejak 2014 Desa Doudo menyandang gelar bebas buang air besar sembarangan,” kata Sutomo.
Doudo yang dulunya gersang, kini tampak hijau karena warga menanam tanaman, bahkan memiliki banyak pencapaian. Pada periode 2014-2018 Desa Doudo memperoleh 34 penghargaan, termasuk penghargaan Indonesia Green Award (IGA) kategori air bersih dan kategori pengeloaan sampah, selain Upakarti Utama tahun 2018.
Warga Doudo, Armisda, mengatakan, keberadaan air bersih membangkitkan semangat untuk berwirausaha. Sebagian warga, seperti Armisda, kini membuat produk olahan makanan berbahan mede atau biji jambu monyet dan lidah buaya.
Desa dengan moto ”Rasane Sundul Langit” itu membuat berbagai produk yang diolah para ibu setempat. Seperti buah mede yang diolah menjadi minuman, makanan, dan manisan. Serta lidah buaya diolah menjadi minuman, makanan ringan, dan es.
Armisda mengatakan, dalam satu musim dihasilkan 30 ton mede yang hasilnya biasanya dikirim ke Jombang dan sebagian diolah sendiri. Sari buah mede dijual Rp 1.500 per gelas. Sedangkan olahan es krim berbahan sayur, dalam sehari bisa diproduksi 200 gelas yang dijual Rp 2.500 per gelas. Produk olahan itu dipasarkan ke sekolah-sekolah untuk mendorong anak-anak mengonsumsi sayuran dengan berbagai variasi olahan.
Desa Doudo beberapa tahun lalu identik dengan desa yang tertinggal karena kondisinya gersang, kumuh, dan sulit air bersih. Predikat itu sejak 1980-an hingga 1990-an. Kini begitu masuk ke desa mulai dari gapura suasana tampak asri dengan hiasan tanaman di depan rumah warga. Setiap rumah sedikitnya punya tiga dari lima jenis tanaman (tanaman peneduh, tanaman produktif, tanaman obat keluarga, tanaman hias atau sayuran).
Banyak kampung
Setiap kampung pun membentuk kampung sesuai keunikan dan keunggulan. Ada ”Kampung Aloevera” yang warganya menanam dan mengolah lidah buaya. Selain ditanam sebagai tanaman hias, lidah buaya diolah menjadi kerupuk, stik, permen, rempeyek, dan dawet.
Ada pula ”Kampung Si Cantik Cerdas” (siap cari jentik cegah demam berdarah). Di setiap rumah ada tanaman lavender dan serai pengusir nyamuk dan kader juru pemantau jentik (jumantik). Perkembangan nyamuk bisa dicegah agar warga tidak terjangkit penyakit demam berdarah.
Kemudian ”Kampung 3R” (reduce, reuse, recycle) yang memiliki keunggulan dalam mengurangi dan mendaur ulang sampah. Ada ”Kampung Sayur” dengan keunggulan memanfaatkan lahan terbatas untuk tanam sayur, seperti tomat, kangkung, sawi, brokoli, dan kacang panjang yang hasilnya dikonsumsi sendiri dan dijual.
Adapun di ”Kampung e-Link” (edukasi lingkungan inovatif kreatif), warga memiliki instalasi pengolahan limbah (IPAL) komunal. Limbah domestik dari 58 keluarga dipusatkan di satu titik berukuran 12x3x3 meter untuk mencegah pencemaran tanah dan air. Warga juga mengembangkan 600 titik biopori yang hasilnya dimanfaatkan untuk pupuk.
Di setiap rumah juga terpasang tulisan ”Tempat Parkir Rokok” disertai wadah menaruh rokok dari tempurung kelapa atau kaleng bekas. Kreasi itu mengandung pesan agar perokok tidak merokok di dalam rumah demi melindungi kesehatan perempuan dan anak-anak. Kalau masuk rumah, rokok harus dimatikan ditaruh di tempat itu.
Kehadiran air bersih membuat kehidupan warga Desa Doudo berubah 180 derajat. Air mengalirkan sumber-sumber ekonomi dan kesehatan yang membuat kehidupan warga lebih sejahtera.
”Saya ingin warga bangga dengan desanya sendiri, maka saya harus bisa mengangkat derajat warga. Hal pertama yang harus dilakukan ternyata penyediaan air bersih,” kata Sutomo.