Sudah Lima Hari Banjir Lumpur Terjang Wilayah Tambang di Konawe Utara
Desa Tambakua di Langgikima, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, kembali diterjang banjir sarat lumpur. Penyelesaian penyebab banjir penting dilakukan seiring masifnya penambangan nikel, baik legal maupun ilegal.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Banjir sarat lumpur yang menerjang daerah Langgikima, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, sudah berlangsung selama lima hari. Wilayah dengan daerah pertambangan masif ini menjadi langganan banjir lumpur dua tahun terakhir. Penyelesaian penyebab banjir penting dilakukan, khususnya pembukaan kawasan hutan, baik legal maupun ilegal.
Hingga Sabtu (11/7/2020), banjir setinggi 50 sentimeter bercampur lumpur masih terjadi di Desa Tambakua, Langgikima. Ketinggian air yang mencapai 3 meter perlahan turun. Namun, lumpur dan potongan kayu menjadi masalah bagi warga.
”Sekarang sudah lumayan surut, sampai sekitar setengah meter. Tetapi air lumayan masih deras, dengan membawa potongan kayu dan lumpur. Warna air sangat cokelat,” kata Sekretaris Desa Tambakua Mustaman yang dihubungi dari Kendari, Sabtu siang.
Menurut Mustaman, banjir kali ini tidak hanya membuat warga kesulitan, tetapi juga kehilangan mata pencaharian utama. Air bercampur lumpur tersebut juga merendam lahan pertanian warga sehingga dipastikan tanaman jagung dan kacang-kacangan rusak.
Banjir di Konawe Utara menerjang 19 desa di enam kecamatan, yakni Kecamatan Andowia, Asera, Wiwirano, Landawe, Langgikima, dan Oheomasih. Enam kecamatan ini merupakan daerah yang rentan terdampak banjir setiap tahun. Sebanyak 3.714 jiwa terdampak dan mengungsi di hunian sementara yang dibangun pada banjir yang terjadi sebelumnya. Banjir juga memutus akses utama Trans-Sulawesi yang menghubungkan Sulawesi Tenggara dengan Sulawesi Tengah.
Seperti tahun sebelumnya, tambah Mustaman, banjir bercampur lumpur di wilayahnya tidak terhindarkan. Saat banjir surut, lumpur menggenangi wilayah desa dan menambah beban warga. Saat banjir tahun lalu, lumpur setinggi lebih dari satu meter membuat kesulitan warga berlipat.
”Kali ini banjirnya belum begitu tinggi, tetapi lumpurnya sudah banyak. Di atas (puncak bukit) pertambangan jalan terus. Bahkan, yang sudah disegel sama aparat dulu sekarang jalan lagi tidak ada hentinya,” tuturnya.
Warga desa, tutur Mustaman, berharap saat banjir surut perusahaan turun membantu warga membersihkan desa dari lumpur. Selain itu, ia juga berharap pemerintah mencari solusi terbaik agar banjir lumpur tidak terjadi lagi di kemudian hari. Sebab, banjir lumpur baru dialami tiga tahun terakhir.
Ia berharap pemerintah mencari solusi terbaik agar banjir lumpur tidak terjadi lagi di kemudian hari.
Sebelumnya, Sungai Laondolia yang melintas di wilayah desa terkenal jernih dan tidak membawa lumpur. Namun, air sungai tidak bisa lagi dimanfaatkan warga setelah pertambangan masif dan perkebunan sawit.
Pada 2019, banjir bercampur lumpur tebal menutupi kawasan desa. Warga juga terisolasi selama beberapa waktu karena ketinggian air yang terus bertambah. Penambangan di kawasan bukit tepat di atas desa diduga kuat menjadi penyebab.
Penelusuran Kompas di wilayah Konawe Utara, mulai dari daerah hulu sungai sejumlah sungai di Langgikima, hingga muara Sungai Lasolo di Molawe, awal Agustus lalu, menemukan masifnya pembukaan kawasan hutan. Aktivitas penambangan terus mengupas bukit yang curam, perkebunan sawit yang masif di bukit dan sempadan sungai, juga terus terjadinya penebangan pohon untuk membuka areal hutan.
Di Desa Tambakua, Kecamatan Langgikima, di ketinggian lebih dari 400 meter di atas permukaan laut, sebuah lubang penggalian raksasa terlihat di lokasi penambangan. Lubang ini berdiameter sekitar 100 meter, sekitar seluas lapangan bola, dengan kedalaman hingga permukaan air lebih dari 30 meter. Di bagian dasar, air keruh tergenang. Tidak diketahui kedalaman airnya. Di salah satu sudut kolam, sebuah kanal air tampak jelas dibuat. Alirannya mengalir langsung ke Sungai Laundolia.
Aktivitas penambangan juga terus berlangsung. Tumpukan tanah menggunung di berbagai lokasi. Alat berat terus bekerja menggaruk gunung dan bukit. Timbunan tanah menutup aliran sungai kecil di area tambang.
Pembukaan kawasan hutan lindung dan hutan produksi tidak terbendung dan terkesan dibiarkan.
Aparat pernah menyegel salah satu perusahaan, tetapi tidak berapa lama perusahaan tersebut beroperasi kembali. Bahkan, pembukaan kawasan hutan lindung dan hutan produksi tidak terbendung dan terkesan dibiarkan.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sultra Saharuddin menyampaikan, banjir di Konawe Utara terus berulang karena rusaknya lingkungan di wilayah tersebut. Daya dukung lingkungan terus turun akibat pertambangan nikel, juga perkebunan skala besar.
Terlebih lagi, tambah Saharuddin, pertambangan ilegal di kawasan hutan lindung dan hutan produksi terus terjadi. Akibatnya, kawasan hutan yang tersisa 30 persen dari luas wilayah semakin menipis dan fungsi menjaga kawasan pun hilang.
”Terakhir kami mendatangi kawasan Blok Matarape, Langgikima, akhir Juni lalu, ada penambangan kawasan hutan seluas 100 hektar. Namun, pelaku dibiarkan saja. Hal ini tentu menambah kerusakan lingkungan di kawasan tersebut. Banjir lumpur, juga banjir bandang seperti pada 2019 potensial terus terjadi,” ucapnya.
Oleh sebab itu, Saharuddin menambahkan, pihaknya berharap penegak hukum benar-benar menjalankan tugas dan menangkap pelaku penambangan ilegal dan tidak sesuai prosedur di wilayah ini. Sebab, bukti lapangan terbuka lebar dan dampak kerusakan ini membahayakan warga.
Kepala Bidang Kedarutaran BPBD Konut Jasmidi menyampaikan, ribuan jiwa yang terdampak sebagian besar telah berada di huntara untuk mengantisipasi banjir bertambah besar. Bantuan logistik juga telah disalurkan ke sejumlah lokasi.
”Banjir selama empat hari terakhir dan bantuan dari berbagai pihak telah disalurkan. Hari ini juga rencananya pemerintah kabupaten kembali menyalurkan bantuan. Sementara itu, hujan dengan intensitas sedang hingga tinggi turun di wilayah ini,” kata Jasmidi.