Budidaya pembesaran sidat (”Anguilliformes”) memiliki potensi besar untuk dikembangkan di Indonesia. Saat ini Indonesia menduduki peringat 10 eksportir sidat di pasar dunia.
Oleh
ANGGER PUTRANTO
·3 menit baca
BANYUWANGI, KOMPAS — Budidaya pembesaran sidat (Anguilliformes) memiliki potensi besar untuk dikembangkan di Indonesia. Saat ini Indonesia menduduki peringat 10 eksportir sidat di pasar dunia.
Dalam dua tahun terakhir ekspor sidat di Indonesia menunjukkan peningkatan. Guna meningkatkan ekspor sidat perusahaan budidaya pembesaran sidat diharap bisa menggandeng petambak sebagai mitra.
Hal tersebut disampaikan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dalam kunjungannya ke Banyuwangi, Jumat (20/7/2020). ”Indonesia termasuk eksportir besar dunia. Indonesia menduduki peringkat 10 dunia,” ujar Edhi.
Data Kementerian Kelautan dan Perikanan menunjukkan bahwa pada tahun 2018 nilai ekspor sidat dari Indonesia mencapai 14.042.000 dollar AS. Jumlah itu meningkat menjadi 17.456.000 dollar AS.
Adapun total volume ekspor sidat dari Indonesia pada tahun 2018 mencapai 7.316 ton. Jumlah tersebut meningkat pada tahun 2019 menjadi 10.257 ton. Hingga Mei 2020, volume ekspor sidat Indonesia menyentuh 5.014 ton.
”Saat ini kita masih kalah dari China sebagai eksportir sidat nomor 1 dunia. Tetapi kualitas dan harga olahan sidat dari Indonesia masih yang terbaik dan termahal,” ujar Edhy.
Edhy mengatakan, potensi ekspor sidat ini harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Pasalnya, benih atau anakan hewan asal Zaragoza tersebut banyak ditemukan di perairan Indonesia terutama di muara-muara.
ApaBila dibiarkan di alam, sidat dewasa akan kembali ke daerah asalnya untuk berkembang biak. Potensi ini dimanfaatkan dengan melakukan budidaya pembesaran dan pengolahan sidat.
”Benih yang ada di perairan Indonesia kita manfaatkan dengan kita besarkan. Selanjutnya sidat diolah untuk menjadi unagi yang banyak diminati oleh pasar konsumen Jepang dan Tiongkok,” kata Edhy.
Saat ini pasar Tiongkok menjadi tujuan utama ekspor sidat dari Indonesia. Tahun lalu, dari total 10.257 ton volume ekspor, 9.141 ton dikirim ke China.
Adapun pasar Jepang, kendati volumenya tidak banyak, nilai ekspornya menjadi yang paling tinggi. Ekspor sidat ke Jepang pada tahun 2019 hanya 66 ton dengan harga jualnya 27,71 dollar AS per kg. Angka tersebut jauh di atas harga jual untuk pasar China yang hanya, 1,43 dollar AS per kg.
Benih yang ada di perairan Indonesia kita manfaatkan dengan kita besarkan. Selanjutnya sidat diolah untuk menjadi unagi yang banyak diminati oleh pasar konsumen Jepang dan Tiongkok.
Salah satu perusahaan budidaya pembesaran dan eksportir sidat adalah PT Iroha Sidat Indonesia. Perusahaan yang berdiri sejak 2012 tersebut memiliki luas area operasional 45,01 ha dengan kapasitas produksi 100 ton per tahun.
Selain proses produksi terintegrasi, PT Iroha Sidat Indonesia juga menerapkan budidaya sidat yang berkelanjutan melalui sistem restocking. Hal ini dilakukan untuk menjaga kelestarian sidat di habitat aslinya.
”Kami selalu memastikan bahwa sidat yang kami budidayakan akan kami kembalikan ke alam. Sejak tahun 2015, kami telah mengembalikan lebih dari 250.000 sidat ke habitatnya,” ujar Head of Aquaculture Division JAPFA Ardi Budiono.
Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Banyuwangi Hari Cahyo mengatakan, selain PT Iroha Sidat Indonesia, masih ada dua perusahaan budidaya pembesaran sidat di Banyuwangi. Selain itu masih ada pula dua pembudidaya rakyat skala besar.
”Setiap bulan 3 perusahaan dan 2 pembudidaya rakyat tersebut bisa memproduksi kurang lebih 65.000 kg. Jumlah tersebut belum termasuk produksi pembudidaya rakyat skala kecil,” tutur Hari.