Banjir di Konawe Utara Meluas, 3.741 Jiwa Terdampak
Bencana banjir yang terjadi di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, membuat 3.741 jiwa di enam kecamatan terdampak. Kerusakan lingkungan menjadi faktor penyebab banjir berulang.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Bencana banjir yang terjadi di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, terus meluas seiring hujan yang terus terjadi. Sebanyak 3.741 jiwa terdampak di enam kecamatan di wilayah tersebut. Kerusakan lingkungan menjadi faktor penyebab banjir berulang.
Hingga Jumat (10/7/2020) sore, sebanyak 19 desa di enam kecamatan, yakni Kecamatan Andowia, Asera, Wiwirano, Landawe, Langgikima, dan Oheomasih, terendam banjir. Enam kecamatan ini merupakan daerah yang rentan terdampak banjir setiap tahun. Di Desa Sambandete, Oheo, banjir masih memutus akses Jalan Trans-Sulawesi.
Camat Andowia Hasrat Hasan menyampaikan, ketinggian air terus bertambah membuat ratusan keluarga di enam desa terdampak. Ketinggian air bervariasi, dari 30 sentimeter hingga 1,5 meter. Sebagian besar warga telah mengungsi ke hunian sementara (huntara) yang telah dibangun selepas banjir besar pada 2019.
”Ketinggian air pelan-pelan terus naik sampai siang ini. Rumah di sejumlah dusun di enam desa tersebut telah terendam air. Di Desa Puuwonua, ketinggian air lebih dari 1 meter sehingga tidak bisa dilalui kendaraan,” kata Hasrat, dihubungi dari Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra), Jumat siang.
Sebanyak 110 keluarga di Desa Puuwonua telah mengungsi ke huntara. Di desa lainnya, ratusan keluarga juga telah diimbau untuk mengungsi seiring ketinggian air yang terus bertambah.
Sejumlah bantuan juga telah disalurkan kepada masyarakat terdampak, utamanya sembilan bahan pokok. Bantuan lainnya segera menyusul untuk disalurkan kepada warga. ”Apalagi hujan masih terus turun. Hujan reda cuma beberapa menit, terus hujan lagi. Di daerah sini, sungai utama juga melintas, yaitu pertemuan antara Sungai Lasolo dan Sungai Lalindu,” tuturnya.
Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Konawe Utara menunjukkan, hingga Jumat siang, banjir yang merendam 19 desa di enam kecamatan membuat 3.741 jiwa terdampak. Sebagian warga telah berada di huntara dan sebagian lain masih bertahan di kediaman.
Kepala Bidang Kedarutaran BPBD Konawe Utara Jasmidi menyampaikan, ribuan warga yang terdampak sebagian besar telah berada di huntara, untuk mengantisipasi banjir bertambah besar. Bantuan logistik juga telah disalurkan ke sejumlah lokasi.
”Selama banjir empat hari terakhir, telah disalurkan bantuan dari sejumlah pihak. Hari ini juga direncanakan dari kabupaten kembali menyalurkan bantuan. Sementara itu, hujan dengan intensitas sedang hingga tinggi turun di wilayah ini,” kata Jasmidi.
Akses jalan utama yang menghubungkan Konawe Utara, Sultra, dengan Morowali, Sulawesi Tengah, di Desa Sambandete, Oheo, juga masih terputus sejak beberapa hari terakhir seiring banjir yang kembali menerjang. Ketinggian air mencapai 2 meter menutupi jalan sepanjang lebih dari 1 kilometer.
Sementara itu, Di Desa Tambakua, Langgikima, wilayah setelah Desa Sambandete, ketinggian air juga menutup jalan menuju desa. Air bercampur lumpur menerjang wilayah dan menutup akses jalan dengan ketinggian air lebih dari 3 meter.
Sekretaris Desa Tambakua Mustaman menyampaikan, air terus naik empat hari terakhir. Air bercampur lumpur mulai mendekati pemukiman warga yang berada di daerah cukup tinggi.
Air bercampur lumpur mulai mendekati permukiman warga yang berada di daerah cukup tinggi.
Banjir bercampur lumpur, tutur Mustaman, berasal dari daerah hulu yang memang penuh lokasi pertambangan. Sejumlah perusahaan tambang terus beraktivitas di daerah bukit yang dekat dengan hulu Sungai Langgikima.
Sejauh ini. lanjut Mustaman, bantuan pemerintah sudah diterima. ”Kami hanya minta, kalau banjir surut, perusahaan membantu mengeruk lumpur. Lalu pemerintah mencari solusi agar banjir tidak terulang keembali. Tahun lalu, kami banjir lumpur sampai ke rumah-rumah,” tuturnya.
Kerusakan lingkungan
Wilayah Desa Tambakua memang dilintasi sungai. Banjir besar pada 2019 membawa lumpur hingga ketinggian 2 meter ke desa.
Berjarak sekitar beberapa kilometer dari desa ini, tepatnya di daerah perbukitan, sejumlah perusahaan pertambangan nikel terus mengeruk tanah. Saat dikunjungi pada tahun lalu, sebuah lubang raksasa terbuka di daerah perbukitan yang berbatasan langsung dengan aliran sungai.
Bencana banjir di Konawe Utara terus berulang setiap tahun. Banjir bandang pada 2019 membuat ratusan rumah warga hilang, ribuan orang terdampak, dan kerugian ratusan miliar rupiah. Banjir membuat warga harus hidup di huntara hingga saat ini.
Banjir membuat warga harus hidup di huntara hingga saat ini.
Wilayah Konawe Utara adalah daerah dengan luas izin tambang terbanyak di wilayah Sultra. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mencatat, luas izin usaha pertambangan (IUP) mencapai 200.000 hektar. Sementara luas wilayah ini adalah 500.000 hektar. Hampir setengah wilayah Konawe Utara masuk dalam IUP. Itu belum termasuk empat perusahaan sawit yang beroperasi di sejumlah wilayah.
Pembukaan hutan untuk industri perkebunan skala besar, yaitu sawit dan kini tebu, terus terjadi. Pertambangan dan perkebunan membuat hutan di area hulu hingga hilir terbuka. Dua sungai besar, yaitu Lasolo dan Lalindu, juga mengalami pendangkalan.
Direktur Walhi Sultra Saharuddin menuturkan, banjir di wilayah Konawe Utara yang terus berulang menunjukkan terus rusaknya lingkungan di wilayah tersebut. Pembukaan hutan skala besar baik untuk pertambangan maupun perkebunan membuat daya dukung lingkungan semakin berkurang.
”Daya dukung hutan di Konawe Utara sudah sangat terbatas, mencapai ambang batas 30 persen akibat pertambangan dan perkebunan. Sekarang, ditambah lagi penambangan ilegal di kawasan hutan, baik hutan produksi maupun hutan lindung,” kata Saharuddin.
Pemerintah, juga kepolisian, tutur Saharuddin, harus mengambil langkah tegas memperbaiki lingkungan di wilayah ini. Bukan sekadar membagikan bantuan, melainkan betul-betul menyelesaikan persoalan lingkungan yang terjadi.