Jalur Trans-Sulawesi di Konut Belum Bisa Dilalui, Warga Terisolasi
Bencana banjir yang menerjang Konawe Utara membuat akses jalan Trans-Sulawesi belum bisa dilalui. Kendaraan harus memakai rakit untuk melintasi bidang jalan yang tergenang air. Warga di Desa Tambakua juga terisolasi.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Bencana banjir yang menerjang di Konawe Utara membuat akses jalan Trans-Sulawesi belum bisa dilalui. Kendaraan harus memakai rakit untuk melintasi bidang jalan yang tergenang air. Warga di Desa Tambakua juga terisolasi karena ketinggian air yang terus naik.
Akses jalan utama yang menghubungkan Konawe Utara, Sulawesi Tenggara (Sultra), dengan Morowali, Sulawesi Tengah (Sulteng), di Desa Sambandete, Oheo, terputus sejak beberapa hari terakhir seiring banjir yang kembali menerjang. Ketinggian air mencapai 2 meter menutupi jalan sepanjang lebih dari 1 kilometer.
Kepala Desa Sambandete Idrus menyampaikan, banjir yang belum juga surut membuat permukiman warga dan jalan utama yang juga Trans-Sulawesi terputus. Ketinggian air lebih dari 1 meter sehingga tidak bisa dilalui kendaraan.
”Ketinggian air 1 hingga 2 meter sehingga jalan utama yang menghubungkan Sulawesi Tenggara dengan Sulawesi Tengah tidak bisa dilalui kendaraan. Mobil dan motor harus memakai rakit untuk bisa melintas karena ini jalan satu-satunya yang menghubungkan wilayah,” ucap Idrus, dihubungi dari Kendari.
Mobil dan motor harus memakai rakit untuk bisa melintas karena ini jalan satu-satunya yang menghubungkan wilayah.
Banjir yang terjadi, tambah Idrus, membuat ratusan warga di desanya juga terdampak. Sebagian warga telah mengungsi, dan sebagian masih bertahan untuk menjaga barang. Banjir membuat warga mengalami kerugian karena lahan pertanian dan tambak tergenang air.
Para pengendara yang melintas di jalan ini pun harus berusaha lebih. Satu kali menyeberang dengan rakit harus membayar Rp 300.000 hingga Rp 500.000 untuk mobil, sementara untuk motor sebesar Rp 50.000.
Di Desa Tambakua, Langgikima, wilayah setelah Desa Sambandete, ketinggian air juga menutup jalan menuju desa. Air bercampur lumpur menerjang wilayah dan menutup akses jalan dengan ketinggian air lebih dari 3 meter.
Sekretaris Desa Tambakua Mustaman menyampaikan, air terus naik tiga hari terakhir. Ketinggian air bahkan menutupi jembatan menuju ke desa sehingga tidak bisa dilalui. Air bercampur lumpur mulai mendekati permukiman warga yang berada di daerah cukup tinggi.
”Kemarin sempat surut sedikit, jadi kami pakai traktor sampai dekat jembatan baru berenang melintas. Ibu-ibu juga berenang untuk pergi ke pasar. Tapi, sekarang sudah tidak bisa dilalui. Jadi terisolasi di sini,” kata Mustaman.
Banjir bercampur lumpur, tutur Mustaman, berasal dari daerah hulu yang memang penuh lokasi pertambangan. Sejumlah perusahaan terus melakukan aktivitas di daerah bukit yang dekat dengan hulu Sungai Langgikima.
Sejauh ini, tuturnya, bantuan pemerintah sudah diterima. Kebutuhan hidup untuk beberapa hari ke depan masih terpenuhi. ”Kami hanya minta, kalau banjir surut, perusahaan bantu untuk mengeruk lumpur. Terus pemerintah cari solusi agar banjir tidak terulang lagi. Tahun lalu, kami banjir lumpur sampai ke rumah-rumah,” tuturnya.
Wilayah Desa Tambakua sebelumnya hampir tidak pernah dilanda banjir bercampur lumpur. Akan tetapi, banjir besar pada 2019 membawa lumpur hingga ketinggian 2 meter. Berjarak sekitar beberapa kilometer dari desa ini, tepatnya di daerah perbukitan, sejumlah perusahaan pertambangan nikel terus mengeruk tanah. Saat dikunjungi tahun lalu, sebuah lubang raksasa terbuka di daerah perbukitan yang berbatasan langsung dengan aliran sungai.
Kepala Bidang Kedaruratan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Konut Jasmidi mengatakan, akses jalan utama di Desa Sambandete tersebut kembali terputus selama tiga hari terakhir. Debit air dari Sungai Lalindu, salah satu sungai utama di daerah ini, meluap dan menggenangi jalan dan permukiman warga.
”Akses jalan kembali putus tiga hari terakhir. Pada banjir tiga pekan lalu, akses ini juga putus. Tapi, sempat surut seiring banjir yang juga turun,” kata Jasmidi.
Sejauh ini, ia menambahkan, ratusan warga telah mengungsi di sejumlah desa akibat banjir yang kembali terjadi. Penanganan banjir terus dilakukan meski tengah dalam pandemi Covid-19. Personel dari berbagai instansi terus turun untuk mengevakuasi masyarakat, dan menyalurkan bantuan bagi mereka yang terdampak.
Dalam sebulan terakhir, banjir telah terjadi dua kali di wilayah Konawe Utara. Baniir pada akhir Juni lalu membuat ribuan warga terdampak. Jalan Trans-Sulawesi yang menghubungkan Sultra dan Sulteng tidak bisa dilalui untuk beberapa waktu.
Tanggap darurat bencana telah dilanjutkan oleh Pemerintah Kabupaten Konut selama dua pekan ke depan. Pemerintah dan instansi terkait diharapkan waspada dan bersiaga untuk bencana lanjutan.
”Kami sudah perpanjang masa tanggap darurat bencana karena melihat potensi bencana lanjutan masih besar. Upaya penanganan dan persiapan terus kami lakukan. Warga di enam kecamatan diharapkan waspada akan bencana,” kata Bupati Konut Ruksamin, awal pekan ini.
Bencana banjir di Konut terus berulang setiap tahun. Banjir bandang pada 2019 membuat ratusan rumah warga hilang, ribuan orang terdampak, dan kerugian ratusan miliar rupiah. Banjir membuat warga harus hidup di Huntara hingga saat ini.
Wilayah Konawe Utara adalah daerah dengan luas izin tambang terbanyak di wilayah Sultra. Wahana Lingkungan Hidup mencatat, luas izin usaha pertambangan (IUP) mencapai 200.000 hektar. Sementara luas wilayah ini adalah 500.000 hektar. Hampir setengah wilayah Konut masuk dalam IUP. Belum lagi termasuk empat perusahaan sawit yang beroperasi di sejumlah wilayah.
Pembukaan hutan untuk industri perkebunan skala besar, yaitu sawit dan kini tebu, terus terjadi. Pertambangan dan perkebunan membuat hutan di area hulu hingga hilir terbuka. Dua sungai besar, yaitu Lasolo dan Lalindu, juga mengalami pendangkalan.