Perdagangan Bayi dengan Modus Adopsi Digagalkan di Yogyakarta
Kepolisian Resor Kota Yogyakarta menggagalkan percobaan perdagangan bayi. Pelaku menawarkan pengadopsian bayi melalui media sosial. Pihak pengadopsi diminta membayar sebesar Rp 20 juta untuk bisa mengadopsi bayi itu.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Kepolisian Resor Kota Yogyakarta menggagalkan percobaan perdagangan bayi dengan modus adopsi via media sosial. Pihak pengadopsi diminta membayar Rp 20 juta untuk bisa mengadopsi bayi tersebut.
Kasus ini terkuak dari percekcokan antara SBF (25) dan RA (30) yang berlangsung di Rumah Sakit Pratama, Kota Yogyakarta, sekitar pukul 20.30, pada 12 Mei 2020. Saat itu, keduanya sedang memperebutkan seorang bayi laki-laki berusia dua bulan. Petugas keamanan rumah sakit itu mengarahkan mereka untuk menyelesaikan persoalan tersebut di kantor polisi.
”Setelah kami melakukan interogasi awal, di sini ada penyalahgunaan cara dalam proses adopsi,” kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Kota Yogyakarta Ajun Komisaris Riko Sanjaya di Markas Polres Kota Yogyakarta, Selasa (7/7/2020).
Dalam kasus ini, SBF berperan sebagai makelar penjual bayi. Ia menemukan bayi tersebut dari unggahan EP (24), warga Cilacap, Jawa Tengah, yang bertuliskan ”seorang bayi laki-laki mencari adopter”, dalam grup media sosial Facebook berjudul ”Adopsi Bayi Jogja-Solo”. EP merupakan ibu kandung bayi tersebut. Alasan EP menawarkan bayinya untuk diadopsi karena ia tak mampu membiayai pertumbuhan bayi tersebut. EP telah ditinggalkan suaminya saat menjual anaknya itu.
SBF kemudian menghubungi EP setelah melihat unggahan tentang adopsi bayi tersebut. SBF membayar biaya adopsi Rp 6 juta kepada EP. Bayi itu dijemput langsung SBF di Cilacap. Uang untuk membayar biaya adopsi diperoleh dari JEL (39), yang bekerja sebagai bidan di Kota Yogyakarta. Kemudian, bayi itu dititipkan di tempat praktik milik JEL hingga memperoleh pengadopsinya.
Namun, JEL kesulitan mengasuh dan mencari pengadopsi bayi tersebut. SBF kembali mengambil bayi tersebut dan menawarkannya melalui laman Facebook. Adapun unggahannya bertuliskan ”baby boy mencari adopter lokasi Jogja”. Unggahan itu terpantau RA. SBF dan RA menyepakati biaya adopsi Rp 20 juta.
Keduanya pun bertemu untuk melakukan transaksi di RS Pratama, Kota Yogyakarta, Mei lalu. Pertemuan itu berujung cekcok yang akhirnya mengakibatkan SBF, JEL, dan EP menjadi tersangka. RA tidak turut menjadi tersangka karena transaksi jual beli belum sempat terjadi.
”Motif para pelaku ini adalah ekonomi. Mereka melakukan hal ini untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,” kata Riko.
Perdagangan anak dengan modus adopsi ini berlangsung terselubung. Ia tak memungkiri bahwa kasus serupa masih bisa terjadi di kemudian hari.
Pasal yang diterapkan terhadap ketiga tersangka ialah Pasal 76 F juncto Pasal 83 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Ancaman pidana penjara dari hukuman itu paling singkat tiga tahun dan paling lama 15 tahun. Sementara denda minimal Rp 60 juta dan maksimal Rp 300 juta.
Dihubungi terpisah, Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Anak DIY Sari Murti W menyampaikan, perdagangan anak dengan modus adopsi ini berlangsung terselubung. Ia tak memungkiri bahwa kasus serupa masih bisa terjadi di kemudian hari. Hal ini dilihat dari masih terjadinya kasus kekerasan seksual terhadap perempuan. Sebagian dari kekerasan seksual itu berujung pada kehamilan yang tak diinginkan.
”Jika dibilang ada (kasus penjualan bayi), itu memang ada, tetapi sangat terselubung dan susah dibongkar,” kata Sari.
Sari mengungkapkan, bidan memiliki peranan penting untuk mencegah terjadinya perdagangan anak berkedok adopsi. Bidan kerap menjadi perantara dalam proses adopsi yang dianggap ilegal itu. Padahal, ada prosedur hukum tertentu yang harus dilalui sebelum mengadopsi seorang anak.
”Ini harus didorong agar tenaga kesehatan diberikan pemahaman. Kalau dia melakukan (membantu proses adopsi ilegal), bisa terkena ancaman perdagangan orang. Masih adanya kasus seperti ini, bisa jadi bidan memang belum paham,” ujar Sari.
Meski demikian, Sari menyatakan, hal yang jauh lebih penting adalah mencegah terjadinya kekerasan seksual terhadap perempuan yang tidak jarang berujung pada kehamilan. Selain itu, pasangan suami istri juga harus benar-benar siap sebelum memiliki anak. Tidak hanya siap melahirkan, tetapi juga membesarkan anak tersebut.