Dua dokter Program Pendidikan Dokter Spesialis di RSUD dr Soetomo, Surabaya, meninggal akibat Covid-19. Tenaga kesehatan perlu mendapatkan perlindungan maksimal saat bertugas.
Oleh
AGNES SWETTA PANDIA/IQBAL BASYARI
·4 menit baca
Dunia medis Jawa Timur kembali berduka. Putri Wulan Sukmawati (33), salah seorang dokter yang sedang menempuh Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga di RSUD dr Soetomo, Surabaya, meninggal pada Minggu (5/7/2020) malam.
Dokter kelahiran Malang, 1 Juni 1987 tersebut, mengembuskan napas terakhir setelah dirawat selama 18 hari akibat tertular Covid-19 saat bertugas di Instalasi Gawat Darurat (IGD). Putri pun memiliki penyakit penyerta, obesitas, sehingga kondisinya memburuk dan memerlukan intubasi selama dirawat.
”Kami sedang berduka, terima kasih banyak,” kata Direktur RSUD dr Soetomo Joni Wahyuhadi di Surabaya, Senin (6/7/2020).
Putri merupakan residen kedua di RSUD dr Soetomo yang meninggal akibat Covid-19 selama satu bulan terakhir. Pada 10 Juni 2020, Miftah Fawzy Sarengat (34), chief residen ilmu penyakit dalam juga meninggal akibat Covid-19. Miftah, yang memiliki obesitas, itu meninggal ketika sudah memasuki tahap akhir untuk lulus menjadi dokter spesialis.
Selain dua residen meninggal, masih ada puluhan residen yang masih menjalani perawatan. Data yang dihimpun Kompas menyebutkan, setidaknya puluhan PPDS dari 16 program studi di RSUD dr Soetomo yang tertular Covid-19. Sebagian besar menjalani isolasi mandiri, sedangkan pasien dengan gejala berat dirawat di rumah sakit.
Kami telah mengatur agar PPDS yang memiliki penyakit penyerta, seperti obesitas dan diabetes agar tidak menangani pasien Covid-19. (Soetojo)
Meninggalnya dua PPDS tersebut menjadi sebuah kehilangan bagi dunia medis. Selain berdampak pada jumlah tenaga kesehatan yang berkurang, dunia medis juga kehilangan calon-calon dokter spesialis yang andal.
Untuk mencetak seorang dokter spesialis setidaknya dibutuhkan waktu paling cepat 11 tahun. Saat menempuh pendidikan dokter, seorang mahasiswa perlu waktu empat tahun, dilanjutkan dengan koas selama dua tahun dan internship satu tahun.
Kemudian jika ingin melanjutkan pendidikan dokter spesialis, waktu yang harus ditempuh paling cepat empat tahun, meskipun rata-rata dokter memerlukan waktu lima hingga enam tahun untuk lulus PPDS.
Ditarik
Dekan Fakultas Kedokteran Unair Prof Soetojo mengatakan, sejak Covid-19, semuua residen yang bertugas di rumah sakit jejaring di Jatim hingga Bali ditarik ke RSUD dr Soetomo. Para residen tersebut diminta membantu penanganan di rumah sakit yang dikelola oleh Pemprov Jatim.
Kematian tenaga kesehatan di Jatim cukup tinggi, perlu ada pembenahan agar tidak ada lagi yang tertular, bahkan sampai meninggal. (Sutrisno)
”Semua PPDS di luar daerah ditarik ke RSUD dr Soetomo agar tidak terpapar Covid-19,” katanya. Meskipun dalam perkembangannya, dokter PPDS tersebut justru banyak terpapar di rumah sakit rujukan utama di Jatim yang berlokasi di depan kampus Fakultas Kedokteran itu.
Bukan APD
Dari kasus penularan terhadap PPDS, menurut Soetojo, penularan bukan disebabkan kurangnya alat pelindung diri (APD). Kampus selalu mengingatkan agar tidak menangani pasien jika tidak dibekali APD lengkap.
”Kami telah mengatur agar PPDS yang memiliki penyakit penyerta, seperti obesitas dan diabetes agar tidak menangani pasien Covid-19,” ucapnya.
Berdasarkan pantauan Kompas, sejak awal merebaknya virus korona, terkait ketersediaan APD di rumah sakit yang dikelola Pemprov Jatim menjadi keluhan tenaga kesehatan dan medis. Minimnya APD pun menjadi alasan bagi Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia (Perdatin) Jawa Timur, serta perwakilan dari Perhimpunan Dokter Intensive Care Indonesia (PERDICI) bertemu Wali Kota Surabaya pada Senin (23/3/2020).
Pada pertemuan itu Perdatin Jatim juga mengajukan bantuan kebutuhan APD kepada Risma. APD itu seperti, face shield atau alat pelindung wajah yang terbuat dari mika, hazmat atau baju coverall dokter, masker hingga alat bantu pernapasan atau ventilator.
Memenuhi permintaan tersebut, Pemkot Surabaya yang setiap hari memasok APD ke semua rumah sakit yang ada di kota ini, termasuk RSUD dr Soetomo. Namun, bantuan itu justru ditolak, dengan alasan APD banyak di gudang. Joni menyebutkan alasan menolak bantuan APD dari Pemkot Surabaya karena persediaan di gudang RSUD dr Soetomo masih melimpah.
”Persediaan APD masih banyak di gudang, jadi lebih baik diberikan untuk rumah sakit rujukan yang kekurangan APD, kan masih banyak rumah sakit rujukan kekurangan APD,” kata Joni.
Padahal, realitanya ketersediaan APD masih saja dikeluhkan tenaga kesehatan dan medis di rumah sakit tersebut. Untuk mendapatkan APD dengan level berjenjang, yakni level 1, level 2 dan level 3 saat bertugas betapa panjang birokrasi sehingga butuh kesabaran dalam penantian.
Ketika kesabaran sekaligus kegundahan hilang, sementara rekan yang terpapar virus korona terus bertambah, tenaga medis pun memilih membeli sendiri APD. Mereka pun merogoh kocek sendiri untuk melindungi dirinya, sekaligus orang lain agar tak tertular penyakit Covid-19. Meski pasien yang dilayani silih berganti dengan beragam keluhan penyakit bukan Covid-19 sehingga kemungkinan tertular virus korona sangat besar.
Ketua Ikatan Dokter Indonesia Provinsi Jawa Timur, Sutrisno, mengatakan, ada 94 dokter di Jatim terkonfirmasi positif Covid-19, 14 di antaranya meninggal. Selain itu, ada 146 perawat yang tertular dan 11 di antaranya meninggal. Dokter yang tertular sebagian besar merupakan PPDS yang bertugas di IGD.
”Kematian tenaga kesehatan di Jatim cukup tinggi, perlu ada pembenahan agar tidak ada lagi yang tertular, bahkan sampai meninggal,” katanya.
Sutrisno berharap, tenaga kesehatan mendapatkan perlindungan maksimal, seperti penyediaan APD dan tes secara rutin. Rumah sakit juga harus selalu berbenah untuk memperbaiki sistem palayanan agar bisa mengurangi risiko penularan dari pasien maupun sesama tenaga kesehatan.