Korupsi Infrastruktur, Ancaman Pemerataan Pembangunan di Daerah
Jika tidak diawasi serius, korupsi di sektor infrastruktur bisa menghambat pembangunan di daerah. Mahalnya "jatah preman" untuk pejabat berisiko menurunkan kualitas infrastruktur yang dibangun.
Oleh
SUCIPTO
·5 menit baca
ANTARA/INDRIANTO EKO SUWARSO
Bupati Kutai Timur Ismunandar (kiri) bersama istri, Ketua DPRD Kutai Timur Encek Unguria, dibawa menuju mobil tahanan seusai ditetapkan sebagai tersangka setelah terjaring operasi tangkap tangan KPK, di Gedung KPK, Jakarta, Sabtu (4/7/2020) dini hari.
Setidaknya dalam dua tahun terakhir, Komisi Pemberantasan Korupsi sudah dua kali melakukan operasi tangkap tangan dugaan suap terkait pembangunan infrastruktur di Kalimantan Timur. Jika tidak diawasi serius, korupsi di sektor infrastruktur bisa menghambat pembangunan di daerah. Mahalnya ”jatah preman” untuk pejabat berisiko menurunkan kualitas infrastruktur yang dibangun.
Pada Jumat (3/7/2020), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan tujuh tersangka dalam kasus dugaan suap terkait proyek infrastruktur di lingkungan Pemerintah Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Lima orang disangkakan sebagai penerima suap, yakni Bupati Kutai Timur Ismunandar dan Ketua DPRD Kutai Timur Encek.
Adapun tiga kepala dinas di Pemkab Kutai Timur yang juga menjadi tersangka adalah Musyaffa (Kepala Badan Pendapatan Daerah), Suriansyah (Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah), serta Aswandini (Kepala Dinas Pekerjaan Umum).
Penyidik KPK menyita uang Rp 170 juta, beberapa buku tabungan dengan saldo total Rp 4,8 miliar, dan sertifikat deposito Rp 1,2 miliar. Sebelum penangkapan, diduga sudah terjadi sejumlah penerimaan suap.
Dalam siaran pers, Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango mengatakan, Ismunandar selaku bupati berperan menjamin anggaran rekanan tidak dipotong, sedangkan Encek sebagai Ketua DPRD mengintervensi penunjukan pemenang proyek. Sementara tiga kepala dinas berperan mengintervensi pemenang proyek, mengatur penerimaan uang dari rekanan, dan mengatur pembagian jatah proyek bagi rekanan (Kompas, 8/3/2020).
Komisi Pemberantasan Korupsi yang dipimpin oleh Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango (tengah) menggelar konferensi pers kegiatan operasi tangkap tangan terhadap Bupati Kutai Timur, Kalimantan Timur, Ismunandar di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (3/7/2020). OTT tersebut terkait dugaan tindak pidana korupsi berupa penerimaan hadiah atau janji terkait pekerjaan infrastruktur di lingkungan pemerintah Kabupaten Kutai Timur tahun 2019-2020.
Sebelumnya, pada 16 Oktober 2019, KPK mengamankan enam orang dari Kalimantan Timur untuk diperiksa di Jakarta. Mereka terdiri dari mantan Kepala Balai Penataan Jalan Nasional (BPJN) XII Balikpapan Refly Ruddy Tangkere, pejabat pembuat komitmen, anggota staf BPJN XII, dan pihak swasta.
Saat itu, KPK menduga ada transaksi suap Rp 1,5 miliar dalam proyek pembangunan beberapa jalan nasional di Kalimantan Timur. Proyek infrastruktur itu, antara lain, pekerjaan preservasi, rekonstruksi Sp3 Lempake-Sp3 Sambera-Santan-Bontang-Dalam Kota Bontang-Sangatta dengan anggaran nilai konrak Rp 155,5 miliar.
Peneliti Pusat Studi Antikorupsi (Saksi) Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, mengatakan, sektor infrastruktur memang salah satu yang menjadi peluang untuk korupsi. Sebab, uang yang digelontorkan untuk proyek ini sangat besar dan melibatkan banyak pihak.
Adanya korupsi dalam proyek infrastruktur menandakan masih kuatnya politik transaksional dalam proses pengadaan barang dan jasa. Jika diibaratkan, ini semacam ”jatah preman” atau upeti yang diberikan sebagai tiket untuk memenangi tender barang dan jasa.
Hal ini berpotensi melanggengkan tindakan korupsi dalam pengadaan barang dan jasa, terutama di daerah-daerah yang masih butuh banyak pembangunan. Dalam kasus Kutai Timur, kepala daerah cenderung menggunakan pengaruhnya untuk mengatur lalu lintas pemenang tender barang dan jasa, demi mendapatkan keuntungan pribadi dan kelompok.
Komisi Pemberantasan Korupsi menunjukkan barang bukti uang terkait operasi tangkap tangan terhadap Bupati Kutai Timur, Kalimantan Timur, Ismunandar di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (3/7/2020).
Menurut Herdiansyah, korupsi infrastruktur bukan hanya merugikan negara, tetapi juga merugikan masyarakat yang menggunakan langsung berbagai infrastruktur yang dibangun. ”Dampaknya, bisa kita lihat. Kualitas infrastruktur jadi buruk dan cepat rusak. Belum lagi kerap kali pengerjaannya lama dan bahkan terancam mangkrak,” kata Herdiansyah ketika dihubungi dari Balikpapan, Senin (6/7/2020).
Dampaknya, bisa kita lihat. Kualitas infrastruktur jadi buruk dan cepat rusak. Belum lagi kerap kali pengerjaannya lama dan bahkan terancam mangkrak.
Menurut data Badan Pusat Statistik tahun 2019, jalan provinsi di Kalimantan Timur yang mengalami rusak hingga rusak berat sepanjang 435,2 kilometer dari total 800,13 kilometer. Artinya, jalan yang masih dalam kategori rusak lebih dari setengah dari total panjang jalan provinsi.
Adapun kondisi jalan provinsi yang masuk kategori baik menurun menjadi 111,3 kilometer pada 2019 dari 677,53 kilometer pada 2018. Begitu pula jalan provinsi yang masuk dalam kategori sedang menurun menjadi 253,51 kilometer pada 2019 dari 450,9 kilometer pada 2018.
Melihat kondisi jalan provinsi itu, praktik suap di bidang infrastruktur bisa melanggengkan kondisi jalan yang tidak laik. Herdiansyah mengatakan, dengan adanya berbagai praktik suap dalam pengerjaan proyek infrastruktur, hal itu membuat kontraktor harus mengurangi spesifikasi bahan dan bangunan. Sebab, sisa anggaran kerap digunakan untuk pembayaran banyak hal yang sering kali tidak resmi, termasuk suap.
Ilustrasi: Kondisi jalan transkalimantan di Kecamatan Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur, Senin (10/10/2011), yang rusak parah. Jalan nasional ini terutama di ruas yang menghubungkan Kabupaten Kutai Timur dan Berau penuh dengan lumpur dan lubang berdiameter 1 meter.
Selama ini, pemerintah sudah mengandalkan kejaksaan untuk pendampingan dan konsultasi hukum proyek strategis nasional di daerah. Itu dilakukan melalui program Kejaksaan RI, yakni Tim Pengawalan, Pengamanan Pemerintah, dan Pembangunan Daerah (TP4D). Namun, TP4D hanya efektif untuk pengawasan ketaatan dalam aspek hukum, bukan pengawasan kualitas infrastruktur yang dibangun.
Melihat hal-hal itu, Herdiansyah mengatakan, perlu adanya pengawasan dari lembaga independen untuk mengawasi pengerjaan infrastruktur dalam hal kualitas, spesifikasi bahan, dan ketahanan. Pemerintah perlu memperketat pengawasan, khususnya di Kalimantan Timur. Sebab, jika ibu kota negara resmi pindah, akan banyak pengerjaan proyek infrastruktur di Kalimantan Timur dengan pembiayaan APBD atau APBN.
Untuk itu, Herdiansyah berpendapat, pemerintah perlu membuat daftar hitam kontraktor yang bermasalah. Dengan begitu, pengawasan pengerjaan proyek infrastruktur bisa dikawal sejak dari hulu sampai hilir. Perusahaan nakal bisa diseleksi sejak awal.
Keterlibatan ASN
Selain itu, adanya keterlibatan organisasi perangkat daerah (OPD) juga mengindikasikan bahwa praktik korupsi menjalar hingga ke aparatur sipil negara. Selain menjadi rekanan, mereka juga dijadikan alat bagi kepala daerah untuk mengumpulkan modal politiknya menjelang Pilkada.
”Tentu saja ada proses tawar-menawar atau transaksi yang saling menguntungkan, termasuk janji jabaran dalam proses seleksi kepala OPD tersebut. Hal ini tentu saja merusak desain kebijakan manajemen lembaga pemerintahan kita. Dampaknya, menurunnya kualitas layanan publik,” ujar Herdiansyah.
Sebelumnya, Wakil Gubernur Kalimantan Timur, Hadi Mulyadi, mengatakan, semua kepala daerah di Kaltim hendaknya tertib dalam mengelola keuangan daerah. Ia berharap Kaltim dibangun dengan baik dan bersih.
”Kepada semua pejabat level terendah sampai tertinggi harus taat terhadap keuangan negara,” kata Hadi kepada wartawan, Jumat (6/7/2020).