Kebakaran Hutan dan Lahan Rawan Terjadi di Rinjani
Kebakaran hutan dan lahan menjadi salah satu ancaman di kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR). Balai TNGR menyiapkan sejumlah langkah antisipasi, mulai dari pembentukan tim sampai penjagaan hingga akhir tahun.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·4 menit baca
MATARAM, KOMPAS — Kebakaran hutan dan lahan rawan terjadi saat musim kemarau di Taman Nasional Gunung Rinjani, Nusa Tenggara Barat. Masyarakat setempat bakal dilibatkan guna meminimalkan dampak kebakaran itu.
Berdasarkan catatan Kompas, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) hampir terjadi setiap tahun di kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR). Tahun 2019 lalu, total luas kebakaran hutan di Rinjani mencapai 6.055 hektar. Total luas kebakaran di Rinjani pada 2019 lebih besar dari tahun-tahun sebelumnya. Pada 2017, Kompas mencatat kebakaran sekitar 9,7 hektar. Sementara pada 2018, sekitar 20 hektar.
Kebakaran membuat Balai TNGR menutup sementara pendakian pada empat pintu masuk, yakni Jalur Senaru di Lombok Utara, Jalur Sembalun dan Timbanuh (Lombok Timur), serta Jalur Aik Berik (Lombok Tengah). Penutupan berlangsung sekitar dua minggu.
Dari pantauan satelit, titik panas (hotspot) mencapai puluhan dan tersebar di berbagai wilayah Rinjani. Kondisi topografi titik kebakaran yang cenderung terjal dan curam membuat pemadaman sulit dilakukan. Ditambah lagi, banyak vegetasi di Rinjani yang mudah terbakar, seperti rumput di savana, alang-alang, dan daun kering.
Kepala Balai TNGR Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Dedy Asriady, di Mataram, Selasa (7/7/2020), mengatakan, tahun ini puncak musim kemarau di NTB diperkirakan terjadi pada Agustus. Oleh karena itu, Balai TNGR telah mengambil langkah-langkah untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan.
Dedy mengatakan telah mengeluarkan surat keputusan pembentukan tim pengendalian kebakaran hutan dan lahan Balai TNGR. Petugas-petugas yang bertanggung jawab pada bidang masing-masing juga telah ditentukan.
”Langkah lain yang kami lakukan adalah membina masyarakat peduli api. Kegiatan ini dilaksanakan untuk memperkuat kesiapan dalam mengantisipasi dan mengendalikan karhutla di kawasan TNGR,” kata Dedy.
Patroli pencegahan karhutla juga dilakukan. Menurut Dedy, kegiatan yang dilakukan bersama masyarakat peduli api itu diprioritaskan pada lokasi-lokasi yang rawan karhutla. ”Kami juga memonitor titik panas. Sudah ada petugas yang secara rutin memantau titik panas melalui satelit pada waktu-waktu yang telah ditentukan,” kata Dedy.
Sebaran area karhutla yang luas membuat pihak Balai TNGR tidak bisa bekerja sendiri. Oleh karena itu, dalam mengantisipasi terjadinya karhutla, koordinasi dan kerja sama dengan pihak TNI dan polisi terus dilakukan. Tidak hanya untuk penjagaan terpadu pada titik-titik rawan, juga terkait kampanye dan sosialisasi tentang karhutla.
”Kegiatan sosialisasi dan kampanye yang akan dilakukan dalam waktu dekat itu guna meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap bahaya karhutla,” kata Dedy.
Penjagaan pada jalur pendakian dan non-pendakian baik di pintu masuk resmi maupun tidak resmi juga dilakukan hingga akhir tahun 2020. Tujuannya, memonitor keluar masuknya para pendaki dan mencegah pemburu liar.
Kegiatan sosialisasi dan kampanye yang akan dilakukan dalam waktu dekat itu guna meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap bahaya karhutla.
Kepala Bidang Perlindungan Hutan Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi NTB Mursal mengatakan, hampir setiap tahun terjadi kebakaran di TNGR. Ia membenarkan ribuan hektar kawasan hutan di TNGR terbakar tahun lalu.
Pemicunya, menurut Mursal, juga tindakan-tindakan baik yang disengaja maupun tidak sengaja terutama dari kegiatan wisata di Rinjani. Hal itu seperti memasak, membuang puntung rokok, termasuk kegiatan berburu binatang liar dilindungi.
”Kalau saja semua pihak bisa peduli, tentu tidak akan terjadi kebakaran. Itu menimbulkan kerugian bagi banyak pihak, terutama masyarakat luas,” kata Mursal.
Terkait itu, kata Mursal, secara internal, mereka telah membentuk brigade pengendalian hutan dan lahan. Karena tidak ada alokasi anggaran khusus untuk brigade itu, keanggotaannya berasal dari seluruh elemen kesatuan pengelolaan hutan (KPH) di kawasan Rinjani.
Nantinya, brigade itu akan berkoordinasi dengan satuan tugas pengendalian karhutla di Kepolisian Daerah NTB. Selain itu, satgas juga diisi perwakilan TNI, badan intelijen daerah, bhabinkamtibmas, dan babinsa.
”Selain dengan KPH, koordinasi satgas juga dengan masyarakat di kawasan tapak, seperti masyarakat mitra polisi hutan, masyarakat peduli api, badan penanggulangan bencana daerah, hingga jasa perjalanan wisata di Rinjani,” kata Mursal.
Mursal mengingatkan, masyarakat tidak lagi membuka lahan dengan cara membakar. Ia menegaskan, jika ada masyarakat perorangan ataupun korporasi sengaja membakar hutan dan lahan kemudian eskalasinya luas, ia akan berhadapan dengan hukum, baik perdata maupun pidana.
Gugatan perdata dengan menghitung kerusakan, termasuk pencemaran, biaya tegakan, hingga pemulihan. Sementara pidana dilakukan dengan menerapkan sanksi berupa penjara dan denda.