Anggota Komisi III DPR, Nasir Djamil, mengusulkan pembentukan satuan tugas penanganan pengungsi agar perlindungan dan pemenuhan hak dasarnya maksimal. Saat ini terdapat 13.534 pengungsi dari sejumlah negara.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Kehadiran pengungsi atau pencari suaka ke Indonesia berpotensi menjadi beban bagi daerah jika tidak disikapi dengan baik. Oleh sebab itu, pembentukan satuan tugas penanganan pengungsi dianggap perlu agar upaya perlindungan dan pemenuhan hak dasar pengungsi berjalan maksimal.
Hal itu disampaikan anggota Komisi III DPR, Nasir Djamil, dalam diskusi daring ”Membangun Kesadaran akan Pentingnya Misi Kemanusiaan terhadap Pengungsi Etnis Rohingya”, Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Selasa (7/7/2020). Dengan adanya satgas, para pihak memiliki pandangan yang sama terhadap pengungsi. ”Ada aparatur negara tidak paham soal instrumen hak asasi manusia. Justru warga lebih paham,” kata Nasir.
Nasir menuturkan, ketidaksamaan pandangan itu terjadi saat penanganan pengungsi etnis Rohingya yang terdampar di pantai Aceh Utara pada 25 Juli 2020. Awalnya ada pihak yang tidak mengizinkan 94 pengungsi Rohingya itu mendarat. Namun, warga mendesak mengevakuasi pengungsi itu ke darat.
Para pengungsi etnis Rohingya itu melarikan diri dari tempat penampungan di Bangladesh. Tujuan mereka adalah negara kawasan Asia Tenggara untuk mencari pekerjaan dan kehidupan yang lebih baik. Setelah sempat ditolak di beberapa negara, mereka terdampar ke Aceh Utara.
Nasir menuturkan, rasa kemanusiaan warga Aceh Utara adalah spirit kebersamaan yang seharusnya dimiliki semua lembaga pemerintah di Indonesia dan warga dunia. Meski Indonesia belum meratifikasi Konvensi 1951 terkait dengan penanganan pengungsi, secara kemanusiaan semua bertanggung jawab menangani pengungsi.
Nasir menyarankan pemerintah untuk membentuk satgas penanganan pengungsi. Satgas melibatkan berbagai instansi pemerintah dan lembaga nonpemerintah. Dengan demikian, pemenuhan hak dasar pengungsi seperti kesehatan, pangan, dan perlindungan dapat dilakukan maksimal.
Sekretaris Daerah Kabupaten Aceh Utara Risawan Bentara menuturkan, dalam keadaan terbatas, Pemkab Aceh Utara telah memberikan perhatian maksimal untuk pengungsi Rohingya. Meski tidak punya fasilitas yang layak dan tidak punya anggaran, pihaknya memperlakuan pengungsi Rohingya dengan baik.
Dalam masa darurat, kebutuhan logistik untuk pengungsi Rohingya banyak dari donasi lembaga kemusiaan dan komunitas warga. Namun, untuk jangka panjang, perlu dicari solusi yang tepat.
Untuk jangka panjang, perlu dicari solusi yang tepat.
Staf Komisi Tinggi Urusan Pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCHR) Perwakilan Indonesia, Dwita Aryani, berterima kasih kepada warga Aceh Utara dan pemerintah karena mau menolong para pengungsi yang malang itu. Dwita mengatakan, banyak pihak yang terlibat dalam penanganan pengungsi Rohingya di Aceh.
Dwita mengatakan, masih ada kekeliruan mengartikan pengungsi dan imigran sehingga ada kekeliruan dalam merespons kehadiran mereka. Etnis Rohingya adalah pengungsi, bukan imigran ilegal. Sebab, mereka adalah korban persekusi di negara asal. Mereka keluar dari negaranya untuk mencari perlindungan.
Di Indonesia saat ini terdapat 13.534 pengungsi dari sejumlah negara. Mereka menanti ditempatkan ke negara ketiga agar bisa melanjutkan kehidupan dengan layak. ”Selama 2020, sebanyak sekitar 100 pengungsi Rohingya meninggal di laut. Saat ini masih ada pengungsi Rohingya yang sedang berada di laut,” kata Dwita.
Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Adwani menuturkan, penanganan Rohingya di Aceh saat ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah daerah dan lembaga PBB urusan pengungsi. Adwani mengajak komunitas nasional dan internasional untuk melakukan penggalangan donasi kemanusiaan bagi pengungsi Rohingya.