Si Raja Hutan Terusir dari Rimba, Mati Diracun Serangga
Selama Juni, ada dua kasus harimau sumatera mati diracun, satu ekor direlokasi, dan dua ekor direhabilitasi. Si raja hutan itu kini makin terusir dari rimbanyanya, bahkan mati diracun serangga.
Selama Juni, dua kasus kematian harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) karena diracun ditemukan di Mandailing Natal, Sumatera Utara dan Aceh Selatan, Aceh. Sementara tiga ekor harimau direlokasi dan direhabilitasi. Harimau yang mendapat julukan si raja hutan itu justru terusir dari rimbanya dan mati karena racun serangga.
Rosa Rika Sriwahyuni, dokter hewan di Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, menahan haru saat melakukan nekropsi pada seekor bangkai harimau sumatera, Minggu (28/6/2020), di sebuah perkebunan warga di Trumon, Aceh Selatan, berbatasan dengan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), rumah besar satwa lindung.
Harimau itu berjenis kelamin betina berusia sekitar dua tahun itu masih gadis. Harimau betina maksimal bisa melahirkan tiga anak. Pada usia empat tahun, harimau sudah bisa hamil. ”Sangat sehat, gemuk, tetapi sayang dia mati karena makan racun,” kata Rosa kepada Kompas, Kamis (2/7/2020).
Selain Rosa, nekropsi juga melibatkan sejumlah dokter hewan, seperti Anzar Lubis dan Zulius Zulkifli dari Forum Konservasi Leuser, Arman Sayuti dan Riyan Ferdian dari Pusat Kajian Satwa Liar Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala, serta aparat dari Kepolisian Resor Aceh Selatan.
Hasil pemeriksaan tim dokter menunjukkan pada organ bagian dalam harimau ditemukan zat insektisida, yang biasa dipakai petani untuk memusnahkan hama serangga. Zat racun itu juga ditemukan dalam daging kambing sisa makanan harimau yang berserakan beberapa meter dari lokasi penemuan bangkai.
Baca juga : Harimau Sumatera di Aceh Selatan Mati Diracun Insektisida
Dugaan satwa lindung itu mati karena racun semakin kuat karena terjadi kerusakan pada organ seperti dinding lambung, lidah, dan jaringan bawah kulit. Namun, sampel itu harus diperiksa kembali di tiga laboratorium, yakni Pusat Studi Satwa Primata Bogor, laboratorium Patologi Universitas Syiah Kuala, dan Puslabfor Mabes Polri. Hasil laboratorium menjadi alat bukti penting bagi polisi mengungkap siapa pelaku yang membubui racun.
”Sedih dan kecewa, padahal kami baru berhasil merelokasi dua harimau di kawasan itu ke Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Satwa juga makhluk hidup, mereka butuh keadilan,” ujar Rosa.
Satwa juga makhluk hidup, mereka butuh keadilan.
Tiga minggu sebelumnya, temuan harimau diracun juga terjadi di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara, tepatnya di desa penyangga Taman Nasional Batang Gadis (TNBG), yakni Desa Rantau Panjang, Kecamatan Batang Gadis, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara. Seekor harimau sumatera jantan mati diduga diracun warga karena kambingnya dimangsa.
Konflik itu berawal dari masuknya harimau sumatera ke desa dan memangsa satu ekor kambing dari kandangnya yang berada di samping rumah warga, Selasa (9/6/2020) sekitar pukul 19.00. Menurut pengakuan Kepala Desa Rantau Panjang Khairal Panjaitan, warga melihat sisa bangkai kambing telah diseret sekitar 100 meter dari rumah itu. Warga pun mencampur racun ke bangkai kambing itu.
Baca juga: Mati Diracun, Kuburan Harimau Sumatera Dibongkar di Mandailing Natal
”Besok harinya, warga melihat harimau sumatera itu telah mati. Mereka pun menyeretnya ke depan rumah kepala desa dan menguburnya dengan ritual sesuai kearifan lokal di desa itu,” kata Kepala Subbagian Tata Usaha Balai TNBG Bobby Nopandry.
Tim gabungan dari Balai TNBG, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumut, dan Dinas Kehutanan Sumut baru tiba di desa itu pada Senin (22/6/2020) setelah mendapatkan laporan warga beberapa hari sebelumnya. Tim sempat kesulitan masuk ke desa yang terisolasi hutan dan tidak ada sinyal telepon seluler itu. Mereka menempuh 180 kilometer perjalanan darat dan menelusuri sungai selama 5 jam.
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik, kulit kening harimau sumatera itu hilang.
Sesampainya di desa, petugas membongkar kuburan harimau sumatera itu. Petugas menemukan bangkai harimau jantan sepanjang 150 sentimeter dengan berat 75 kilogram. Petugas lalu melakukan nekropsi, pemeriksaan fisik, dan memusnahkan bangkai dengan dibakar. Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik, kulit kening harimau sumatera itu hilang.
Terusir dari rimba
Selain kasus peracunan, pada Juni, konflik harimau juga membuat harimau harus direlokasi dan direhabilitasi. Awal Juni, seekor harimau direlokasi dari Trumon ke TNGL setelah sebelumnya pada Februari dilakukan hal yang sama. Relokasi dilakukan untuk menyelamatkan hidup satwa langka itu.
Sementara di Solok, Sumatera Barat, dua harimau muda ditangkap dan dirawat di Pusat Rehabilitasi Harimau Sumatera di Dharmasrasa setelah sebelumnya bersama induknya masuk ke ladang warga Nagari Gantuang Ciri, Kecamatan Kubung, serta Nagari Koto Gaek dan Nagari Jawi-Jawi, Kecamatan Gunung Talang, sejak 7 Mei 2020. Harimau muda betina diberi nama Putri Singgulung dan harimau muda jantan diberi nama Putra Singgulung karena keduanya ditangkap di dekat Bukit Singgulung.
Putri Singgulung, dengan panjang 1 meter, ditangkap di perladangan Nagari Gantuang Ciri, Sabtu (13/6/2020). Sementara saudaranya, Putra Singgulung, ditangkap pada Minggu (28/6) pagi tak jauh dari lokasi penangkapan pertama. Keduanya masuk perangkap yang dipasang di area penggunaan lain (APL) tidak jauh dari Hutan Lindung Bukit Barisan dan Suaka Margasatwa Barisan.
Upaya penangkapan dilakukan karena pengusiran dengan bebunyian meriam karbit tidak berhasil. Warga melaporkan, di salah satu kaki si induk terlilit besi sebesar korek api. Diduga itu kawat seling yang banyak digunakan warga untuk pagar ladang sebagai antisipasi masuk babi.
Kepala Resor Konservasi Wilayah Solok BKSDA Sumbar Afrilius mengatakan, dari penelaahan di lapangan, kemunculan harimau di areal perladangan warga kemungkinan karena kesulitan mencari mangsa atau habitatnya terganggu akibat aktivitas manusia di sekitar lokasi.
Selain itu, faktor harimau yang sedang membesarkan anak juga bisa memengaruhi. Biasanya induk harimau ketika sedang membesarkan anak akan keluar dari koridornya karena khawatir anaknya dimangsa kompetitor ataupun ayah harimau.
Baca juga: Sepasang Harimau yang Tertangkap di Solok Belum Siap Berburu Sendiri
Namun, ternyata di luar koridor yang ada, harimau yang tak peduli dengan wilayah administratif itu berada di perladangan warga. Alih fungsi lahan dari hutan menjadi kawasan budidaya membuat satwa pemilik hutan yang sebenarnya itu terusir dari istana rimbanya.
Laporan Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh pada tahun 2019 Aceh mengalami penyusutan tutupan hutan 15.140 hektar. Di Aceh Selatan, hutan yang rusak 438 hektar dengan 428 hektar di antaranya berada dalam KEL, habitat satwa.
Kepala Bidang Konservasi Sumber Daya Alam Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh Muhammad Daud menuturkan, degradasi hutan memicu konflik satwa. Tutupan hutan berkurang karena ada aktivitas pembalakan liar dan perambahan dalam kawasan.
Daud mengatakan, saat ini sebagian besar satwa lindung berada di luar kawasan hutan. Dampaknya, intensitas konflik dengan manusia semakin tinggi. Untuk mengurangi konflik, pemerintah sedang menggodok kawasan ekosistem esensial (KEE) yang diperuntukkan bagi habitat satwa.
Untuk mengurangi konflik, pemerintah sedang menggodok kawasan ekosistem esensial (KEE) yang diperuntukkan bagi habitat satwa.
Adapun di Mandailing Natal, konflik satwa di desa yang terisolasi hutan itu sudah berulang kali terjadi. Di Desa Rantau Panjang, konflik harimau pernah menewaskan beberapa warga tahun 2012-2013. Harimau itu pun tidak pernah berhasil dievakuasi, tetapi gambarnya tertangkap di kamera jebak.
Baca juga: Penegakan Hukum Kematian Harimau Tunggu Hasil Nekropsi
Penegakan hukum
Hingga saat ini, penyelidikan terhadap kasus peracunan harimau di Aceh Selatan dan Mandailing Natal masih berlangsung. Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh Agus Arianto menuturkan, penyelidikan kasus di Trumon tengah dilakukan Kepolisian Resor Aceh Selatan. Agus berharap kasus ini diusut sampai tuntas agar menjadi pembelajaran bagi publik.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polisi Resor Aceh Selatan Inspektur Satu Zeska Taruna menuturkan, pihaknya belum bisa menyimpulkan penyebab kematian harimau jika belum ada hasil resmi dari laboratorium.
”Kami ada laboratorium forensik sendiri dan nanti dibuatkan berita acara sehingga pro justitia (memiliki kekuatan hukum),” kata Zeska.
Beberapa saksi sudah diperiksa, termasuk pemilik kambing dan kebun, tetapi belum ada yang ditetapkan sebagai tersangka karena alat bukti belum mencukupi. Zeska menuturkan, kasus itu akan ditangani sesuai aturan dan pihaknya berkomitmen penanganannya akan tuntas.
Adapun terhadap kasus kematian harimau di Mandailing Natal, Kepala Bidang Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Wilayah III Padangsidempuan Gunawan Alza mengatakan, saat ini pihaknya masih menunggu hasil nekropsi harimau itu. Penegakan hukum pun akan dilakukan terhadap kasus kematian harimau itu.
Menurut Bobby, pihaknya kini berfokus melakukan sosialisasi penanganan konflik harimau di desa penyangga TNBG. Harimau sumatera merupakan salah satu spesies kunci di taman nasional yang mempunyai luas 72.150 hektar itu. Konflik yang berakhir dengan meracun satwa diharapkan tidak terjadi lagi.
”Saat ini kami melakukan pendampingan di desa itu agar masyarakat bisa menangani konflik harimau sumatera. Konflik satwa di desa yang terisolasi hutan itu sudah berulang kali terjadi,” kata Bobby.
TNBG merupakan salah satu populasi harimau sumatera. Selama 2013-2019, Balai TNBG mengumpulkan 49 foto harimau sumatera di TNBG dari 36 titik pemasangan kamera. ”Dari analisis loreng, diperkirakan sedikitnya ada tujuh individu harimau di TNBG,” kata Bobby.
Adapun di Aceh diperkirakan harimau tersisa 179 ekor yang tersebar di KEL dan Ulu Masen. Namun, data itu terakhir diperbarui pada tahun 2000-an.
Data dari BKSDA Aceh sejak 2007 hingga 2019, konflik harimau dengan manusia terjadi 98 kali. Kawasan paling sering terjadi konflik harimau adalah kabupaten Aceh Selatan. Sembilan warga tewas dan puluhan ternak mati diterkam harimau. Sementara enam harimau mati karena terkena jerat.
Direktur Flora Fauna Aceh Dewa Gumay menuturkan, polisi harus mengusut kasus itu dengan serius. Sebab, jika pelaku tidak ditahan, hal itu akan menjadi catatan buruk penegakan hukum dalam kasus kejahatan lingkungan.
Salah satu kasus kejahatan terhadap satwa yang belum tuntas adalah kematian lima ekor gajah di Aceh Jaya. Meski sudah memakan waktu enam bulan, hingga kini belum ada tersangka. Polisi telah menetapkan daftar pencarian orang, tetapi belum berhasil meringkusnya.
”Padahal, kasus seperti ini polanya sudah terjadi bertahun-tahun. Harusnya polisi mulai berpikir soal teknik investigasi baru terhadap kasus perburuan satwa liar dan pembunuhan pakai racun,” kata Dewa.
Pihaknya mendorong kepolisian agar lebih serius menangani kasus kejahatan terhadap satwa lindung. Jika tidak, suatu saat harimau akan punah.
Dewan Penasihat Forum Harimau Kita Munawar Kholis berpendapat, memang sulit mengurangi konflik, tetapi mengurangi dampaknya bisa. Caranya, warga harus betul-betul memahami perilaku harimau. Setiap kabupaten semestinya punya peta daerah-daerah rawan konflik. Masyarakat harus dibina dalam mengantisipasi konflik secara mandiri.