Sebanyak 240 polisi dari jajaran Polda Sumatera Selatan mengaku sebagai pemakai narkoba. Hal ini terkuak ketika Kepala Polda Sumsel membuat program “pengakuan dosa”. Mereka pun akan direhabilitasi.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Sebanyak 240 polisi dari jajaran Polda Sumatera Selatan mengaku memakai narkoba. Hal ini terkuak ketika Kepala Polda Sumsel membuat program ”pengakuan dosa”.
Atas pengakuan ini, mereka tidak dihukum, tetapi mengikuti tahapan rehabilitasi. Langkah ini dianggap penting untuk mencegah adanya polisi yang bermain-main dengan narkoba atau menjadi korban dari para sindikat.
Kepala Bidang Humas Polda Sumatera Selatan Komisaris Besar Supriadi, Senin (6/7/2020), mengungkapkan, pengakuan ini bagian dari program Kepala Polda Sumsel Inspektur Jenderal Eko Indra Heri. Kepala Polda Sumsel memberikan kesempatan bagi para anggotanya yang menggunakan narkoba untuk mengaku.
”Sampai 15 Juni 2020, ada 240 polisi yang mengaku menggunakan narkoba. Mereka tersebar di seluruh polres yang ada di Sumatera Selatan,” ungkapnya.
Supriadi mengatakan, 240 orang ini hanya oknum dan tidak mewakili institusi Polri. Secara keseluruhan, ada 8.000 polisi di Sumsel, hanya 240 yang menggunakan narkoba. ”Mereka inilah yang harus kita sembuhkan,” katanya.
Nantinya, mereka akan dikumpulkan di Markas Polda Sumsel untuk kemudian menjalani rehabilitasi dengan bantuan tenaga medis dan juga rohaniwan. ”Setelah menjalani rehabilitasi ini, harapannya, mereka tidak lagi menggunakan narkoba,” ucapnya.
Langkah ini membuktikan keseriusan Polri menghilangkan pengaruh narkoba di internal Polri. Rehabilitasi ini hanya untuk anggota Polri yang menjadi pengguna. Adapun oknum polisi yang mencoba bermain-main bahkan terlibat dalam pengedaran narkoba tentu akan mendapatkan sanksi yang tegas. Hal ini tergambar dari pemberhentian secara tidak hormat delapan oknum polisi di jajaran Polda Sumsel yang terlibat narkoba.
Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi Sumatera Selatan John Turman Panjaitan mendukung upaya Polda Sumsel tersebut. ”Saya harap hal ini juga diikuti oleh institusi lainnya, terutama penegak hukum,” ucapnya.
Menurut dia, langkah ini penting untuk mencegah aparat penegak hukum terjerumus ke dunia narkoba. ”Ketika mereka sudah terjebak sebagai pencandu narkoba, sesungguhnya merekalah yang menjadi korban para sindikat,” ungkapnya.
Ketika mereka sudah terjebak sebagai pencandu narkoba, sesungguhnya merekalah yang menjadi korban para sindikat. (John Turman Panjaitan)
Hal ini akan lebih berbahaya karena yang menjadi pencandu adalah aparat penegak hukum yang seharusnya memberantas narkoba. ”Bayangkan jika oknum polisi yang menjadi pencandu ini adalah penyidik, tentu akan sangat berbahaya,” kata John.
Jika masih ada pencandu narkoba di tubuh Polri, tentu akan mencoreng nilai baik yang sudah muncul di masyarakat.
Berdasarkan survei Litbang Kompas, 62,1 persen masyarakat yang tinggal di 16 kota besar di Indonesia menganggap citra kepolisian baik, 25,1 persen menganggap masih buruk, dan 12,8 persen menjawab tidak tahu.
Langkah rehabilitasi sangat penting untuk menghilangkan kecanduan di dalam tubuh anggota Polri. ”Dengan rehabilitasi, kemungkinan pencandu bisa sembuh mencapai 90 persen, tetapi 10 persen bisa saja kembali karena kondisi lingkungan,” ungkap John.
Karena itu, John berharap ada psikolog yang menguatkan mental mereka agar tidak kembali terjerumus menjadi pemakai narkoba. Menurut dia, banyak orang yang terjerumus ke dalam narkoba karena adanya pengaruh lingkungan dan ajakan orang lain. ”Mereka mencoba berkali-kali dan akhirnya kecanduan,” ucapnya.