”Jurus” Jitu Petani Muda Batu dalam Menembus Pasar
Pandemi ternyata membuka peluang luas bagi dunia hobi. Di Batu, Jawa Timur, pembibit anggrek dan sayuran ramai dicari. Konsumennya adalah warga kota yang hobi bertanam.
Di halaman kebun anggrek DD Orchid Nursery di Desa Dadaprejo, Kecamatan Junrejo, Batu, beberapa anak muda sibuk mengemas anggrek berumur 5 bulan-1 tahun menggunakan kertas koran bekas, Kamis (18/6/2020). Bibit yang sudah terbungkus itu kemudian dimasukkan dalam kardus sebelum dikirim ke konsumen.
Pada saat bersamaan, dua mobil minibus berpelat nomor Surabaya tiba. Rombongan calon pembeli yang didominasi perempuan itu pun langsung menyusuri kebun dan beberapa di antaranya langsung menanyakan jenis dan harga anggrek yang dimaksud.
Suasana seperti ini menjadi keseharian DD Orchid Nursery selama pandemi. Aktivitas pengiriman anggrek terus berjalan, bahkan cenderung meningkat selama pandemi. Selain itu, konsumen juga masih datang—tentunya sambil mengenakan masker.
Dedek Setia Santoso (42), pemilik DD Orchid Nursery, mengatakan beberapa strategi sengaja ia terapkan untuk menembus pasar dalam situasi serba tidak pasti seperti sekarang. Strategi yang dimaksud, antara lain, memperbanyak rilis anakan anggrek, memerbaiki kemasan, hingga memperluas jaringan pasar.
Dalam hal memperbanyak rilis anakan, Dedek sengaja menggandakan jumlah silangan yang kemudian didaftarkan ke Royal Holticultura Society di Inggris. Jika dalam kondisi normal biasanya Dedek mendaftarkan 2-3 hasil silangan, sebulan terakhir ada 15 silangan yang ia daftarkan, yang sebagian besar merupakan jenis dendrobium.
Baca juga: Menyesap Manis Madu Petani Jambi Kala Pandemi
Dedek mulai mendaftarkan anggrek silangannya tahun 2016 sehingga tidak ada kesulitan saat dirinya harus melakukan langkah serupa terhadap persilangan-persilangan berikutnya. Tentu saja, ia menggunakan cara daring.
Adapun memperluas jaringan dilakukan dengan cara menghubungi lagi teman dan mahasiswa/pelajar yang pernah magang kerja di tempatnya. Mereka yang tengah libur sekolah/kuliah atau belum mendapatkan pekerjaan, diajak berbisnis bersama dengan menjual anggrek melalui media daring.
”Kita buat grup Whatsapp (WA) jual beli daring. Saya kirim anggrek, mereka tinggal jual dengan cara memposting di Facebook, Instagram, dan media sosial lainnya. Mereka bisa dapat uang dari rumah. Sistemnya dropship, kami yang mengirim ke mana-mana,” tuturnya.
Strategi yang diterapkan, menurut Dedek, membawa hasil. Petani muda yang mengawali usaha budidaya anggrek di halaman dengan luas lahan 1 meter x 0,5 meter dan modal Rp 25.000 itu mengaku angka penjualannya naik signifikan selama pandemi. Hal ini tidak terlepas kebijakan kerja dari rumah. Banyak orang menghalau penat dengan menyibukkan diri bertaman di rumah.
Jika biasanya Dedek mengirim rata-rata 15 tanaman per hari, saat ini meningkat menjadi 45-50 tanaman per hari. Harga anggrek yang dijual bervariasi, mulai dari Rp 12.500 untuk satu bibit hingga yang berharga jutaan rupiah untuk anggrek dewasa.
Baca juga: Melihat Kembali Tradisi Memuliakan Padi di Ciptagelar
Konsumennya berasal dari berbagai daerah di Tanah Air. Untuk menunjang produksi, Dedek merangkul 75 petani di Dadaprejo sebagai mitra. ”Tidak ada kesulitan untuk mengirim karena kami sudah bekerja sama dengan ekspedisi. Mereka melakukan jemput bola dan memeberikan prioritas kepada saya,” katanya.
Berbeda dengan DD Orchid Nursery yang sudah berjalan lebih dari 10 tahun, sejumlah anak muda di Kota Batu merintis bisnis hortikultura berbadan hukum (CV) dengan mengusung semangat baru, yakni hidup sehat. Mereka membuat sayur sehat ramah lingkungan yang baru diluncurkan pekan lalu.
Ada beberapa jenis sayur yang dikembangkan, di antaranya sawi daging, pakcoy, andewi/selada, kalian, dan sawi bungkuk. Sayur-mayur yang ditanam secara organik itu dijual dalam polybag seharga Rp 5.000 per buah.
Komisaris CV Batu Sehat Berdaya (BSB), Salma Safitri Rahayaan, mengatakan, begitu kegiatan ini diluncurkan, pihaknya sudah mendapatkan 14 konsumen di Batu dan Malang dengan jumlah pesanan hampir 300 polybag. Sayur itu diantarkan ke konsumen menggunakan jasa kurir.
”Marketing kami sederhana, melalui grup WA dan jalur pribadi ke teman-teman,” katanya. Konsumen yang menjadi sasaran adalah warga Batu dan Malang. Untuk konsumen di luar kota tidak dilayani dengan pertimbangan ongkos kirim tinggi. Untuk pengiriman ke Malang saja ongkos kirimnya 40 persen dari harga jual produk.
Baca juga: Budidaya Padi Sistem Hidroganik
Menurut Salma pihaknya juga membangun sistem keanggotaan (membership). Dalam pembelian berikutnya, konsumen bisa menukarkan polybag bekas yang mereka miliki (dari pembelian pertama) dengan uang kembalian senilai Rp 1.000 per polybag. Dengan demikian, mereka hanya membayar Rp 4.000 per polybag jika ingin membeli sayur pada tahap berikutnya.
Cara ini dinilai ramah lingkungan. ”Polybag hasil penukaran dari konsumen akan kami gunakan untuk menanam lagi, tinggal kami kasih tambahan tanah. Selain itu, setelah anggota banyak, nantinya pelanggan akan mendapatkan bonus pupuk sayur organik yang kami produksi,” tuturnya.
BSB memiliki semangat mendorong agar warga Batu sehat dan berdaya secara ekonomi. Penggunaan polybag menjadi inovasi karena sejauh ini pangsa pasar sayur organik banyak tapi belum ada yang menjual dengan bentuk seperti itu.
Melalui polybag, orang bisa mengonsumsi makanan dalam kondisi segar tanpa harus disimpan dalam lemari pendingin. Mereka juga fleksibel, bisa mengatur kapan hendak mengonsumsinya. ”Tidak harus hari ini. Jadi ada sensasi makan sehat dan segar,” katanya.
Untuk menyediakan sayur ramah lingkungan tersebut, BSB bermitra dengan petani, sekolah, dan kelompok masyarakat yang bersedia menyisihkan lahan untuk menanam sayur, termasuk mereka yang kini menjadi penganggur karena Covid-19.
BSB akan membeli sayur dari mitra sekaligus mengontrol proses penyiraman dan pemupukan guna menjamin agar apa yang dilakukan betul-betul alami, tanpa bahan kimia.
Baca juga: Asal-usul dan Evolusi Padi hingga ke Nusantara
Cara seperti ini, menurut Salma di satu sisi menyediakan pangan sehat dan di sisi lain menjadi terobosan di kala pandemi. Pada saat banyak sektor dan pekerjaan tumbang oleh Covid-19, kegiatan bertani masih jaya. Bahkan, sebagian orang kini menjadikan aktivitas menanam di lahan sempit sebagai tren.
”Orang bisa tidak beli baju, tidak rekreasi karena pandemi, tetapi mereka tetap butuh pangan. Ini bagian dari survive kami di tengah pandemi,” ujarnya. Di sisi lain, BSB ingin kembalikan Batu sebagai sentra sayur ramah lingkungan. Menjadikan Batu sebagai penyedia sayur organik. Hal ini penting karena selama ini banyak petani yang menggunakan bahan kimia.
Orang bisa tidak beli baju, tidak rekreasi karena pandemi, tetapi mereka tetap butuh pangan. Ini bagian dari survive kami di tengah pandemi.
Akademisi sekaligus Direktur Utama Badan Inkubator Wirausaha Universitas Brawijaya Malang Setyono Yudo Tyasmoro mengatakan petani memang sempat down akibat pembatasan sosial berskala besar. Namun, saat ini mereka mulai beraktivitas dan tumbuh lagi.
Dalam situasi seperti sekarang, menurut Yudo, petani memang harus memutar otak. Kreativitas menjadi salah satu kunci keberhasilan. Memang, masalah sumber daya manusia petani masih menjadi salah satu kendala. Belum semua petani bisa berinovasi.
”Kalau cara-cara reguler terkena dampak Covid-19, cara lain harus diambil, misalnya melalui penjualan dengan sistem daring. Memperbanyak silangan untuk mereka yang berkecimpung di dunia anggrek,” kata Yudo.
Dia menilai bahwa kondisi pangan di Indonesia selama pandemi mencukupi. Bahkan, dampak pandemi membuat masyarakat banyak yang memanfaatkan sumber daya pangan lokal.
Yuk mulai bertanam..