Kritik Itu seperti Sambal: Berlebihan Bikin Mulas, tetapi Tiada Juga Tak Sedap
Selama pandemi Covid-19, interaksi dengan anggota keluarga di rumah menjadi lebih sering. Komunikasi pun menjadi lebih intens. Tak heran jika kritik, sindiran, hingga pujian hadir di dalamnya.
Oleh
MELATI MEWANGI
·5 menit baca
Selama pandemi Covid-19, interaksi dengan anggota keluarga di rumah menjadi lebih sering. Komunikasi pun menjadi lebih intens. Tak heran jika kritik, sindiran, hingga pujian hadir di dalamnya. Dari semua itu, kritik adalah hal yang paling dihindari, tetapi malah sering dilakukan antar-anggota keluarga.
Memang tiada satu pun insan yang tak luput dari kritik. Mereka juga pernah mengkritik orang lain. Namun, perasaan seseorang akan menjadi berbeda saat dikritik anggota keluarga di rumah. Sedikit yang tampak baik-baik saja, setelah mendengarnya, beberapa pergi menjauh.
Charles A Gallagher SJ dalam buku Anda Dapat Mengubah Dunia: Kiat Menata Hidup Keluarga Bahagia (1996) mengatakan, kepedihan paling besar terjadi apabila seorang anggota keluarga memberikan kritik atas diri anggota yang lain. Mereka yang dikritik oleh keluarga akan merasakan pengkhianatan pribadi yang lebih dalam.
Keluarga seharusnya menjadi tempat pengungsian, kedamaian, dan penghiburan. Hubungan saling menguatkan, memberi pujian, dan mendukung satu sama lain seharusnya diperbanyak. Tindakan bebas untuk mengkritik satu sama lain di antara anggota keluarga tak boleh dibiarkan menjadi kebiasaan.
Kebiasaan mengkritik kadang tak pernah disadari pemberi kritik. Di sinilah diperlukan peran semua anggota keluarga untuk mengingatkan satu sama lain dengan lembut apabila ada anggota keluarga yang sedang mengalami keadaan kritis.
”Kita mencintai keluarga kita. Mengapa kita mengkritik begitu banyak?” ucap Gallagher.
Kritik menusuk kalbu pernah dirasakan perantau asal Jawa Tengah, L (25). Beberapa hari lalu, menjelang keberangkatannya melanjutkan studi di kota lain, orangtuanya mengkritik pilihan hidup yang dijalani saat ini. ”Perempuan, buat apa sekolah tinggi!” begitu kira-kira kritik yang ia terima dan bukan pertama kali dilontarkan oleh anggota keluarga yang dia sayangi.
Pernyataan itu membuat dirinya semakin hilang kepercayaan terhadap keluarga di rumah. Sekeras apa pun L berupaya membela diri, tetap saja tak ada ruang diskusi yang terjalin. ”Saya berharap orangtua paham dengan pribadi ini. Namun, mereka sering tidak mau mendengarkan pendapat dan mencari pembenaran lain, jadi malas cerita,” ucap L.
Meski sudah sampai di perantauan, kritik tetap berlanjut lewat obrolan telepon. Padahal, pernyataan sebelumnya masih terngiang dalam pikiran. L pun menepi. Ia tidak merespons semua panggilan telepon dari anggota keluarga. Kali ini, ia ingin memberikan efek kejut kepada mereka bahwa dirinya masih terluka dan tidak setuju dengan kritik tersebut.
”Rasanya masih sakit. Kalaupun diangkat, tidak nyaman juga, malah canggung. Saya tahu apa yang saya lakukan (tidak merespons telepon) adalah salah, tetapi tidak tahu harus bagaimana lagi,” katanya.
Kritik dalam keluarga menimbulkan banyak luka dibandingkan kritik dari teman atau atasan di tempat kerja. Gallagher mengibaratkannya seperti kanker jiwa yang mengacu pada kematian harapan dan harga diri. Rasanya seperti dikhianati dan dihakimi.
Kritik dalam keluarga menimbulkan banyak luka dibandingkan kritik dari teman atau atasan di tempat kerja.
Sumber utama kecenderungan seseorang mengkritik, kata Gallagher, disebabkan kemarahan, kejengkelan, atau karena dipermalukan di hadapan orang lain dan membalas kritik yang diterima. Hampir semua kritik muncul sebagai reaksi terhadap sesuatu yang telah atau sedang dilakukan orang lain yang tak disukai.
Faktor lain adalah kritik menghasilkan kritik. Artinya, orang yang paling sering mendapatkan kritik cenderung untuk menjadi orang paling kritis terhadap orang lain. Sebaiknya, keluarga menambah pujian sebagai pengganti kritik. Bahkan, dibutuhkan setidaknya 50 pujian untuk menyembuhkan satu kritik.
”Pujian ikhlas yang diberikan dalam keluarga membantu seseorang menyadari kebaikan sendiri,” ucapnya.
Seperti sambal
Ada berbagai cara untuk menangani dan merespons kritik dengan positif. Praktisi pengembangan diri asal Inggris, Gill Hasson, dalam buku Positive Thinking: Menemukan Kebahagiaan dan Meraih Impian Melalui Pikiran Positif merumuskannya ke dalam dua hal, yakni mulai dengan mendengar dan klasifikasi masalah serta solusinya.
Jika seseorang tidak tahu dengan jelas apa yang dituduhkan pemberi kritik, ulangi kembali apa yang mereka katakan. ”Aku cuma ingin memperjelas, apa kamu barusan bilang…?” atau ”Aku tidak yakin kalau aku benar-benar memahaminya, apa menurutmu…?”
Apabila sudah mendapatkan penjelasan dari mereka, tanyakan juga menurut mereka apa solusinya. Setelah melakukan semua tahapan itu, perlambatlah percakapan.
”Hal itu memberi Anda waktu untuk mempertimbangkan apa yang diucapkan oleh sang pemberi kritik, memutuskan apakah hal itu adil dan valid, serta memutuskan tanggapan Anda nantinya,” kata Hasson.
Saat dikritik anggota keluarga, Karunia SF (25) tak lantas menerimanya begitu saja. Apalagi, saat kritik yang dilontarkan tanpa dasar, mulai dari pilihan pekerjaan hingga kebiasaannya yang sangat pribadi. Ia selalu memastikan alasan penyampaian tersebut. Ruang diskusi setelah dikritik harus terbuka agar tak menimbulkan perang batin. Semua pihak harus bersedia mendengarkan dan didengarkan.
Pilihan hidup yang dijalani Karunia pun tak luput dari kritik. Ia berusaha untuk mematahkan kritik itu dengan membuktikannya. ”Saya ingin mengubah mindset Bapak dan Ibu. Make them believe, mereka jadi terbuka akan hal baru,” ujarnya.
Pada usia anak atau remaja, pernyataan kritik yang dilontarkan terkait dengan kebiasaan sehari-hari. Bisa jadi kritik tersebut akan mengubah orang menjadi lebih baik. Gallagher mendefinisikannya sebagai perbaikan, bukan kritik. Perbaikan berarti menunjuk kesalahan dengan cara yang halus tanpa mempergunakan kata-kata menyerang apa pun atau penggambaran karakter.
Perbaikan berarti menunjuk kesalahan dengan cara yang halus tanpa mempergunakan kata-kata menyerang apa pun atau penggambaran karakter.
Perbaikan: ”Lampu di kamarmu masih menyala. Tolong padamkan! Kami akan menunggumu melakukannya sebelum makan malam.”
Kritik: ”Lampunya menyala lagi! Kamu sungguh lalai dan tidak berperasaan.”
Menjalani hidup tanpa kritik atau pujian bagaikan menyantap nasi tanpa sambal. Kalau tidak ada, kok, ya kurang menggugah. Berlebihan juga bikin mulas. Semua harus pas sesuai porsi.