Waspadai Potensi Pelanggaran Pilkada di Tengah Pandemi
Potensi pelanggaran Pilkada 2020 di tengah pandemi Covid-19 tinggi. Bantuan Covid-19 misalnya, rawan dipakai untuk bahan kampanye.
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
·3 menit baca
PONTIANAK, KOMPAS — Pandemi Covid-19 meningkatkan potensi kerawanan pelanggaran dalam Pemilihan Kepala Daerah 2020. Potensi pelanggaran yang perlu diwaspadai, misalnya penyalahgunaan bantuan sosial untuk masyarakat, terutama oleh petahana.
Ada tujuh kabupaten di Kalimantan Barat yang menggelar Pemilihan Kepala Daerah 2020, yaitu di Kabupaten Kapuas Hulu, Sintang, Sekadau dan Sambas. Kemudian, Kabupaten Bengkayang, Ketapang dan Melawi.
Pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tanjungpura Pontianak Jumadi, Rabu (1/7/2020), menuturkan, sebelumnya belum pernah daerah menyelenggarakan pilkada di tengah bencana nonalam (pandemi Covid-19). Ada potensi pelanggaran dalam pilkada di tengah pandemi yang perlu diwaspadai.
”Paling tidak yang pertama potensi penyalahgunaan bantuan sosial bagi masyarakat oleh petahana. Bantuan-bantuan sosial di tengah pandemi Covid-19 saat ini sangat menguntungkan petahana,” ungkap Jumadi.
Bantuan-bantuan sosial di tengah pandemi Covid-19 saat ini sangat menguntungkan petahana.
Oleh karena itu Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) hendaknya mengawal agar bantuan sosial tidak menjadi kampanye politik. Bantuan sosial tersebut sangat mungkin dibagi saat memasuki masa kampanye.
Jumadi menekankan jika bantuan itu program pemerintah, harus disampaikan bahwa sumbernya dari dana pemerintah. ”Kalau misalnya ada narasi politik dalam menyalurkan bantuan, itu pelanggaran. Jangan pula diklaim sebagai bantuan pribadi, padahal itu bantuan secara nasional dan kewajiban daerah untuk membantu,” ujar Jumadi.
Jangan pula diklaim sebagai bantuan pribadi, padahal itu bantuan secara nasional dan kewajiban daerah untuk membantu.
Potensi pelanggaran lainnya yang perlu diwaspadai adalah kemungkinan adanya upaya pihak tertentu menghalangi pemilih datang ke tempat pemungutan suara (TPS) saat pencoblosan. Misalnya menakuti pemilih bahwa tidak ada jaminan keselamatan di TPS di tengah pandemi saat ini sebagai kampanye negatif. Hal itu bisa saja menjadi modus operandi agar partisipasi kelompok tertentu rendah dan menguntungkan pihak lain.
Komisioner Bawaslu Provinsi Kalbar Faisal Riza mengatakan, pandemi Covid-19 memang meningkatkan kerawanan pemilihan kepala daerah. Bawaslu Kalbar melakukan supervisi dan koordinasi dengan Bawaslu Kabupaten.
Dalam konteks pandemi saat ini, ada banyak bantuan bagi masyarakat dari negara. Bantuan itu berpotensi dipolitisasi. ”Ini tantangan dalam melakukan pengawasan. Apalagi masyarakat secara ekonomi sedang lemah dalam situasi saat ini,” kata Faisal.
Pandemi saat ini, tambahnya, meningkatkan kerawanan, baik dari sisi administrasi penyelenggaraan maupun dari sisi politik uang dari bantuan tersebut.
”Kalau nanti sudah ada penetapan pasangan calon kepala daerah, kemudian jika dalam penyampaian bantuan ada simbol-simbol politik dan narasi kampanye atau mengarahkan dukungan, itu pelanggaran. Bisa dilihat dari situ saat di lapangan,” ungkap Faisal.
Selain itu, potensi pelanggaran bisa dari dimensi pelanggaran administrasi, pidana, dan etik, dalam verifikasi faktual dukungan terhadap bakal calon perseorangan. Misalnya jika warga tidak mau ditemui di tengah pandemi saat ini, sebetulnya bisa dengan video call.
”Kapan video call dilakukan, mengawasainya agak sulit. Dalam kondisi saat ini pengawasan yang perlu dilakukan sinergi dengan gugus tugas di kabupaten menghadapi situasi pandemi saat pilkada,” ujarnya.
Umi Rifdiyawati dari Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDi) Kalbar mengatakan, pilkada dalam kondisi normal saja ada potensi pelanggaran, apalagi dalam kondisi pandemi saat ini. Daerah tidak pernah memiliki pengalaman melaksanakan pilkada di tengah pandemi. Penyelenggara pemilu hendaknya melakukan kerja-kerja detail dan perlu komitmen kuat.