Pekerja Asing dan Kelindan Trauma Tambang di Sultra
Kedatangan ratusan pekerja asing asal Republik Rakyat China ke Sulawesi Tenggara terus mendapat gelombang penolakan dari masyarakat.
Kedatangan ratusan pekerja asing asal Republik Rakyat China ke Sulawesi Tenggara terus mendapat gelombang penolakan dari masyarakat. Polemik pekerja asing ini memantik sumbu kekecewaan akan sengkarut permasalahan tambang. Aksi penolakan hanya puncak gunung es dari permasalahan yang terjadi.
Peserta aksi merapatkan barisan di depan kantor Imigrasi Kelas I Kendari, Sulawesi Tenggara. Terik sinar matahari, Senin (29/6/2020) siang, menaungi massa yang menolak kedatangan ratusan pekerja asal China. Di sela kepulan asap hitam dari ban bekas yang dibakar, mereka menggelar aksi shalat jenazah dengan replika keranda mayat di depannya.
”Jadi kita melakukan shalat jenazah di sini sebagai simbol matinya pengawasan pekerja asing di Imigrasi Kendari,” kata Awal Rafiul, koordinator aksi, kepada rekan-rekannya.
Puluhan orang dari Aliansi Persatuan Mahasiswa Pemuda Sultra Bergerak menggelar aksi di kantor Imigrasi Kelas I Kendari. Mereka menuntut agar pihak Imigrasi membatalkan kedatangan ratusan pekerja asing di Sulawesi Tenggara.
Kami menuntut agar kedatangan tahap kedua pekerja asing ini dibatalkan.
Awal menuturkan, kedatangan pekerja asing melukai perasaan masyarakat yang sedang berjuang melawan pandemi Covid-19. Sekian lama warga bergulat dengan pandemi Covid-19 agar tidak tertular dan menambah deretan kasus. Namun, saat belum ada normal baru, pemerintah malah membuka pintu kedatangan para pekerja asing. Data Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Sultra, jumlah kasus positif 346 kasus dengan 6 orang meninggal, 117 masih dirawat, dan 221 telah sembuh.
Selain itu, tutur Awal, sejumlah permasalahan terkait pekerja asing membelit dua perusahaan tersebut. Terakhir Maret lalu, 49 pekerja asing tiba dengan memakai visa kunjungan, bukan visa kerja.
Baca juga : Gelombang Penolakan Pekerja China di Sultra Meluas
”Imigrasi tidak berbuat apa-apa dengan hal ini. Kami menuntut agar kedatangan tahap kedua pekerja asing ini dibatalkan,” kata Awal. Gelombang penolakan kedatangan pekerja China di Sultra memang terus terjadi.
Pada Selasa (30/6), aksi lanjutan penolakan pekerja asing kembali bergolak. Sebanyak 105 pekerja asing diperkirakan akan tiba pada Selasa malam. Massa kembali memblokade perbatasan Kendari-Konawe Selatan. Mereka melanjutkan aksi di simpang bandara.
Menanamkan modal
Total 500 pekerja asing didatangkan PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) dan PT Obsidian Stainless Steel (OSS) dengan rencana tiga kali kedatangan. Dua perusahaan asing ini berada di kawasan mega industri Morosi, Konawe.
PT VDNI merupakan anak perusahaan dari Jiangsu Delong Nickel Industry Co Ltd, yang berada di China. Sementara itu, PT OSS tercatat merupakan bagian dari Hongkong Xiangyu Hansheng Co Ltd dan Singapore Xiangyu Hansheng Pte Ltd. Kedua perusahaan ini telah menanamkan modal puluhan triliun rupiah membangun fasilitas pemurnian nikel.
Baca juga : 156 Pekerja Asal China Tiba di Sultra, Massa Razia Kendaraan
Aksi penolakan pekerja asing di Sultra yang terus berlangsung dianggap merupakan bentuk kekecewaan masyarakat terhadap pemerintah, terutama Pemprov Sultra. Selain itu, hal tersebut merupakan ekses dari trauma masyarakat akan tambang yang tidak menyejahterakan.
”Jadi, ini merupakan keresahan mendalam masyarakat yang belum selesai bergulat dengan pandemi Covid-19, dihadapkan pada masuknya pekerja China. Apalagi seperti kita semua tahu bahwa asal virus tersebut memang dari China,” kata Darmin Tuwu, sosiolog Universitas Haluoleo.
Kedatangan pekerja China ini, tutur Darmin, menjadi pemantik keresahan berlipat masyarakat. Pemerintah seperti menunjukkan ketidakberpihakan mereka terhadap warga sendiri. Selain itu, Darmin menjelaskan, masyarakat Sultra memiliki trauma terhadap sektor pertambangan. Sektor ini ternyata tidak memberikan kesejahteraan kepada masyarakat luas.
”Kalaupun ada yang bisa dinikmati masyarakat, hanya jalan yang dibangun perusahaan. Tapi jalan itu untuk lewat truk dan material mereka (perusahaan) juga. Jadi, kalau ada manfaatnya itu pun sangat kecil yang bisa dirasakan orang banyak,” ucap Darmin.
Baca juga : Perusahaan dan Pemprov Dituntut Transparan Terkait Pekerja Asing di Sultra
Puncak gunung es
Akademisi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari, Hariman Satria, menjabarkan, aksi penolakan masyarakat yang terus berlangsung hanya fenomena puncak gunung es dari permasalahan yang terjadi. Permasalahan demi permasalahan terus terjadi dan tidak pernah terselesaikan, dari permasalahan pekerja asing, pekerja lokal, hingga soal lingkungan.
”Jadi, pemerintah gagal dalam memberikan keyakinan kepada masyarakat bahwa dengan adanya perusahaan dan para pekerja asing ini menjadi energi baru, gizi, bagi ekonomi masyarakat. Pemerintah tidak pernah transparan dan menyimpan semua hal ini sendiri,” ujar Hariman.
Berkait hal ini, Ketua DPRD Sultra Abdurrahman Saleh mengusulkan audit keseluruhan terhadap PT VDNI dan PT OSS, khususnya terkait tenaga kerja. Pemerintah daerah selama ini tidak mendapat informasi jelas terkait pekerja asing yang datang, visa yang dipakai, hingga keahlian yang dimiliki.
”Kita punya pengalaman dari 49 pekerja yang datang dengan visa kunjungan. Kalau dengan visa kunjungan, artinya ada kompensasi 100 dollar AS yang tidak dibayar per orang per bulan,” kata Rahman.
Kepala Dinas Transmigrasi dan Tenaga Kerja Sultra Saemu Alwi mengatakan, data perusahaan ada 11.227 pekerja lokal yang merupakan karyawan tetap. Namun, pihaknya akan memverifikasi kembali status pekerja ini apakah benar pekerja tetap atau karyawan kontrak. Dengan kedatangan 500 pekerja asing, tutur Saemu, akan ada 5.281 pekerja lokal yang akan diterima sebagai tenaga pendamping. ”Kami mengimbau perusahaan jujur dan melapor berkala,” tambahnya.
Baca juga : Ribuan Pekerja Kawasan Industri Nikel di Sultra Cemaskan PHK
Indrayanto, External Affairs Manager PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) dan PT Obsidian Stainless Steel (OSS), menyampaikan, 500 pekerja asing yang didatangkan ini adalah tenaga ahli untuk menyelesaikan pembangunan 33 tungku smelter yang sedang dibangun perusahaan. Mereka akan bekerja sesuai keahlian dengan teknologi pemurnian yang baru.
”Jadi memang secara teknologi alatnya itu berbeda. Karena itu, mereka harus datang untuk memasang. Kami berjanji berkomitmen terkait kedatangan pekerja ini, baik protokol Covid-19 maupun ketenagakerjaan,” kata Indrayanto.
Hingga pertengahan Juni ini, tambahnya, sebanyak 709 pekerja asing masih bekerja di dua perusahaan tersebut. Para pekerja asing ini juga didampingi pekerja lokal dalam proses di lapangan. Total pekerja lokal di dua perusahaan itu 11.000 karyawan tetap dan sekitar 20.000 pekerja kontrak.
”Kami berharap investasi tetap berjalan baik di VDNI maupun di OSS. Kalau kami ekspor, negara akan dapat devisa. Dan seperti kita tahu, penopang devisa negara saat ini adalah ekspor,” ujarnya.
Hariman Satria menambahkan, persoalan tenaga kerja terampil bukan hal yang sulit ditemukan di Indonesia. Kemampuan pekerja lokal untuk membangun gedung atau alih teknologi sangat mungkin dilakukan. ”Hanya tinggal pengawasan pemerintah kita. Apakah pemerintah mau mengawasi ketat alih teknologi, pekerja lokal, dan menyaring betul pekerja asing yang datang di Sultra?”