Kesatuan Hidrologis Gambut di Sumsel Berstatus Siaga
Kondisi tiga Kesatuan Hidrologis Gambut di Sumatera Selatan yang dipasangi alat pengukur tinggi muka air berstatus Siaga. Hal ini disebabkan air tidak lagi menggenangi lahan gambut.

Fasilitas timbunan kanal di kawasan Suaka Margasatwa Padang Sugihan, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, Jumat (16/8/2019). Ini merupakan kawasan yang mendapatkan sejumlah sarana infrastruktur restorasi gambut oleh Badan Restorasi Gambut sejak tahun 2017.
PALEMBANG, KOMPAS — Tiga Kesatuan Hidrologis Gambut di Sumatera Selatan yang dipasangi alat pengukur tinggi muka air berstatus Siaga. Hal ini disebabkan air tidak lagi menggenangi lahan gambut.
Bahkan, ada satu Kesatuan Hidorologis Gambut (KHG) yang sudah mendekati ambang batas toleransi, yakni 40 sentimeter di bawah permukaan gambut. Intervensi terus dilakukan untuk mencegah terjadinya kekeringan di lahan gambut.
Kepala Kelompok Kerja Pengembangan Data Badan Restorasi Gambut (BRG) Abdul Karim Mukharomah dalam diskusi virtual ”Sosialisasi Restorasi Gambut Sumatera Selatan 2020” yang digelar oleh BRG, Rabu (1/7/2020), mengatakan, berdasarkan pendataan yang dilakukan pada 14 Mei-14 Juni, tiga KHG yang dipasangi alat pengukur tinggi muka air di Sumsel berstatus Siaga. Status ini ditetapkan karena tinggi muka air sudah di bawah 0 alias air sudah tidak lagi menggenangi permukaan lahan gambut.

Adapun di Sumsel menurut data Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Sumsel terdapat 36 KHG. Sejauh ini, baru tiga KHG yang dipasang alat pengukur tinggi muka air, yakni di kawasan KHG Sungai Lalan-Sungai Merang, KHG Sungai Bumai-Sungai Sibumbung, dan KHG Sungai Sembilanga-Sungai Lalan. Total ada 14 alat tinggi muka air yang dipasang di tiga KGH itu.
Berdasarkan pengukuran pada 14 Mei-14 Juni, di KHG Sungai Lalan-Sungai Merang, tinggi muka air menurun dari 11 sentimeter di bawah permukaan lahan gambut menjadi 20 cm di bawah permukaan lahan gambut. Di KHG Sungai Bumai-Sungai Sibumbung tinggi muka air menurun dari 11 cm di bawah permukaan lahan gambut menjadi 31 cm di bawah permukaan lahan gambut.
Sementara di KHG Sungai Sembilang-Sungai Lalan mengalami kenaikan, yakni dari 16 cm di bawah permukaan gambut menjadi 11 cm di bawah permukaan gambut. Meskipun demikian, kawasan itu tetap berstatus Siaga. ”Naik turunnya tinggi muka air sangat bergantung pada curah hujan dan juga tingkat kelembaban di lahan gambut tersebut,” ucap Abdul.
Baca juga : Melawan Korona dan Karhutla dari Lahan Gambut

Pusat Latihan Gajah di kawasan Suaka Margasatwa Padang Sugihan, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, Jumat (16/8/2019). Kawasan itu mendapatkan infrastruktur restorasi gambut oleh Badan Restorasi Gambut agar gambut lebih basah dan risiko kebakaran menurun signifikan.
Hanya saja, indikator tinggi muka air tidak bisa mewakili kondisi keseluruhan lahan gambut karena alat dipasang di titik tertentu saja. Untuk itu, masyarakat sekitar juga turut dilibatkan untuk memantau kondisi lahan gambut di lapangan. ”Hal ini penting karena jika lahan gambut kering, tentu akan lebih mudah terbakar,” ucapnya. Alat ini berfungsi sebagai upaya mitigasi guna mencegah terjadinya kebakaran lahan gambut.
Alat ini berfungsi sebagai upaya mitigasi guna mencegah terjadinya kebakaran lahan gambut.
Secara keseluruhan, ada 154 alat pemantau tinggi muka air yang tersebar di tujuh provinsi yang menjadi prioritas BRG. Selain Sumsel yang sudah dipasangi 14 alat pengukur tinggi muka air, BRG juga memasang alat pengukur tinggi muka air di Riau (52 unit), Jambi (16 unit), Kalimantan Barat (20 unit), Kalimantan Tengah (41 unit), Kalimantan Selatan (9 unit), dan Papua (2 unit).
Kini, lanjut Abdul, ada sebuah sistem yang sedang dikembangkan untuk memantau risiko kebakaran lahan di lahan gambut dengan mengintegrasikan beberapa aspek, yakni Sistem Pemeringkatan Bahaya Kebakaran di Lahan Gambut (Peatland Fire Danger Rating System/P-FDRS). ”Ini merupakan yang pertama di Indonesia,” ucapnya.

Sistem ini mengintegrasikan sejumlah aspek seperti cuaca, algoritma untuk menghitung kerentanan, suhu udara, kelembaban, curah hujan, serta data titik panas. Karena itu, dalam sistem ini ada beberapa instansi yang terlibat, yakni BRG; Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG); Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT); Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan); serta Institut Pertanian Bogor (IPB). ”Dengan sistem ini pengukuran kondisi lahan gambut akan lebih komprehensif,” katanya.
Sejumlah upaya terus dilakukan untuk mempertahankan kelembaban lahan gambut, seperti pembuatan hujan buatan dalam teknologi modifikasi cuaca yang sudah berjalan sejak awal Juni lalu dan akan dilanjutkan pertengahan Juli mendatang.
Baca juga : Hujan Buatan Tekan Risiko Karhutla di Sumatera
”Hingga saat ini sudah ada 14.000 ton garam (NaCl) yang ditaburkan di sejumlah awan hujan,” ucap Kepala Balai Pengendalian Perubahan Iklim dan Kebakaran Hutan dan Lahan Wilayah Sumatera Ferdian Krisnanto. Namun, saat ini pelaksanaan teknologi modifikasi cuaca ditunda sementara karena peralatannya sedang digunakan di Kalimantan. Namun, pada pertengahan Juli akan kembali dilanjutkan kembali hingga 30 hari ke depan sampai Agustus 2020. ”Nanti akan dilakukan teknologi modifikasi cuaca lagi mumpung awan hujan masih ada,” ujar Ferdian.

Petugas Manggala Agni berupaya memadamkan api yang membakar lahan di Desa Arisan Jaya, Kecamatan Pemulutan Barat, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan, Kamis (6/10/2018). Kebakaran lahan masih terjadi di Sumsel mengingat curah hujan yang rendah di beberapa daerah di Sumsel.
Teknologi modifikasi cuaca diharapkan dapat membuat lahan gambut dalam lebih basah sehingga potensi kebakaran lahan dapat diminimalisasi. Itulah sebabnya, teknologi modifikasi cuaca tahap pertama difokuskan pada dua daerah rawan, yakni Musi Banyuasin dan Ogan Komering Ilir. Di dua daerah itu, masih banyak gambut dalam yang jika sudah terbakar akan sangat sulit dipadamkan.
Kepala Dinas Pertanahan dan Lingkungan Hidup Sumatera Selatan Edward Candra mengungkapkan, untuk melakukan pembasahan lahan gambut, pada periode 2018-2019, di Sumsel sudah dibangun 768 sekat kanal, 257 sumur bor, 50 hektar revegetasi, dan 11 paket revitalisasi.
Namun, menurut dia, agar proses penahanan air di lahan gambut lebih optimal, perlu dibuat sekat kanal permanen. ”Dengan ini penurunan air di lahan gambut bisa lebih lambat dan lebih tahan lama,” ucapnya.

Kebakaran lahan terjadi di Dusun III, Arisan Jaya Pemulutan Barat, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan, Sabtu (3/8/2019) dini hari. Tim satuan tugas karhutla Sumsel berjibaku untuk memadamkan api yang sudah mendekati permukiman penduduk. Kebakaran terjadi di kawasan areal penggunaan lain. Asap dari kebakaran sempat mengganggu lalu lintas di jalur lintas timur Sumatera.
Adapun rencana intervensi hingga 2020 akan dilakukan di 11 KHG di Sumsel yang tersebar di Kabupaten Musi Banyuasin, Musi Rawas, Musi Rawas Utara, Banyuasin, dan Ogan Komering Ilir. ”Hanya saja, ada sejumlah pengurangan karena ada realokasi dan refokusing anggaran akibat pandemi,” ujar Edward.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPDB) Ogan Ilir juga melakukan pembasahan gambut dengan membangun sodetan sepanjang 12,4 kilometer yang menghubungkan Sungai Meriak dengan Sungai Keramasan. Saat ini, proses pembangunan sodetan dengan lebar 14 meter dan kedalaman 6 meter ini sudah mencapai 8,3 km. ”Pembangunan diharapkan selesai pada akhir 2020,” ujar Kepala Pelaksana BPBD Ogan Ilir Zamhuri.
Dengan pembuatan sodetan bernilai sekitar Rp 40 miliar itu, diharapan lahan gambut di sekitar sodetan tetap basah dan dapat mengurangi risiko kebakaran lahan. Sodetan ini akan melintasi 55 desa yang tersebar di tiga kecamatan rawan kebakaran, yakni Indralaya Utara, Pemulutan, dan Pemulutan Barat.