Okupansi Hotel di Yogyakarta Mulai Naik, Pengunjung Lokal Mendominasi
Setelah menurun tajam pada awal pandemi Covid-19, okupansi hotel di Daerah Istimewa Yogyakarta kini mulai naik. Kunjungan tamu didominasi warga lokal dari DIY dan sekitarnya. Mereka dilanda kejenuhan selama pandemi.
Oleh
HARIS FIRDAUS/NINO CITRA ANUGRAHANTO
·5 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Setelah anjlok tajam di masa awal pandemi Covid-19, okupansi atau tingkat keterisian sejumlah hotel di Daerah Istimewa Yogyakarta mulai naik. Kunjungan tamu didominasi warga lokal, yakni dari wilayah DIY dan sekitarnya.
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DIY Deddy Pranowo Eryono mengatakan, saat ini ada 68 hotel dan restoran di DIY yang sudah beroperasi. Jumlah tersebut relatif sedikit karena baru sekitar 17 persen dari 400 hotel dan restoran anggota PHRI DIY.
”Sisanya masih menunggu demand (permintaan) wisatawan. Kami juga meminta agar protokol kesehatan harus disiapkan sedemikan rupa dulu. Ini menjadi hal yang sangat penting,” kata Deddy saat dihubungi, Rabu (1/7/2020).
Protokol kesehatan itu mencakup sejumlah aturan, misalnya karyawan dan tamu wajib memakai masker, mencuci tangan, dan menjalani pengukuran suhu tubuh. Selain itu, kamar yang telah digunakan tamu juga harus disemprot disinfektan lebih dulu sebelum digunakan tamu lain.
Bahkan, tamu dari zona merah diharuskan mengantongi bukti tes cepat dengan hasil nonreaktif atau tes reaksi rantai polimerase (polymerasechain reaction/PCR) dengan hasil negatif.
Manajemen hotel juga harus menyiapkan peralatan untuk mendukung pencegahan Covid-19, misalnya tempat cuci tangan dan cairan disinfektan di banyak sudut. Selain itu, karyawan hotel juga harus diedukasi agar benar-benar memahami dan mempraktikkan protokol kesehatan untuk mencegah penyebaran Covid-19.
Deddy menambahkan, beberapa waktu terakhir, tingkat okupansi kamar hotel di DIY mulai merangkak naik walaupun belum kembali seperti pada masa sebelum pandemi. Dia menyebut, saat ini rata-rata tingkat okupansi hotel berbintang di DIY sekitar 15-25 persen per hari. Adapun untuk hotel nonbintang, okupansinya masih sekitar 5 persen per hari.
Rata-rata tingkat okupansi hotel berbintang di DIY sekitar 15-25 persen per hari. Adapun untuk hotel nonbintang, okupansinya masih sekitar 5 persen per hari.
”Ini masih lebih baik dibandingkan saat awal pandemi. Saat itu, ada hotel yang sama sekali tidak menerima tamu. Kami masih beroperasi ini sebagai upaya branding dan menunjukkan bahwa hotel-hotel ini masih eksis,” kata Deddy.
Deddy mengungkapkan, pada akhir pekan, tingkat okupansi hotel di DIY meningkat, yakni berkisar 30-35 persen per hari. Adapun tamu yang datang didominasi pengunjung domestik, yakni warga DIY dan sekitarnya.
”Mereka ini warga Yogyakarta sendiri yang jenuh di rumah setelah sekitar tiga bulan di rumah saja. Ingin cari suasana berbeda dengan menginap di hotel. Kami juga menawarkan harga promo. Harga murah yang biasanya ditawarkan pada hari biasa kami tawarkan pada akhir pekan,” kata Deddy.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) DIY, rata-rata okupansi hotel bintang di DIY pada April 2020 hanya 5,36 persen. Tingkat okupansi itu menurun 28,54 poin jika dibandingkan okupansi Maret 2020 yang sebesar 33,90 persen. Jika dibandingkan okupansi pada April 2019 yang sebesar 62,75 persen, terjadi penurunan 57,39 poin.
Sementara itu, okupansi hotel bintang di DIY pada Mei 2020 tercatat sebesar 6,13 persen atau naik 0,77 poin dibandingkan okupansi pada April 2020. Namun, bila dibandingkan okupansi pada Mei 2019 sebesar 34,69 persen, terjadi penurunan sebesar 28,56 poin.
Saat diwawancarai Kompas, manajemen sejumlah hotel di DIY membenarkan kenaikan okupansi beberapa waktu terakhir. Kondisi ini, antara lain, dialami Hotel Swiss-Belboutique Yogyakarta.
Menurut Asisten Public Relation Manager Swiss-Belboutique Yogyakarta Shela Novitasari, di awal pandemi, jumlah kamar di hotel itu hanya terisi 2-8 kamar per hari. Namun, sejak dua pekan terakhir, rata-rata kamar yang terisi meningkat hingga 22-30 kamar per hari. Adapun total kamar di hotel itu sebanyak 122 kamar.
Jadi, mereka menginap itu bukan untuk berlibur, tetapi cari suasana lain untuk bekerja. (Shela Novitasari)
Shela menjelaskan, tamu yang menginap di hotel itu masih didominasi warga DIY dan Jawa Tengah. Rata-rata tamu di hotel tersebut menginap untuk keperluan bisnis atau pekerjaan.
”Beberapa tamu saya amati memang tampak betul bekerja. Terkadang mereka meminjam salah satu ruangan untuk meeting online (pertemuan daring). Jadi, mereka menginap itu bukan untuk berlibur, melainkan cari suasana lain untuk bekerja,” kata Shela.
Sementara di Hotel Grand Inna Malioboro, Yogyakarta, kenaikan okupansi itu juga mulai terasa. Public Relations Manager Grand Inna Malioboro Retno Kusuma menuturkan, pada awal pandemi, dari 227 kamar di hotel tersebut, kamar yang terisi hanya 5 sampai 10 kamar per hari. ”Saat awal-awal pandemi, okupansi kami memang sangat rendah,” katanya.
Meski demikian, sejak tiga minggu terakhir, jumlah tamu yang menginap di Grand Inna Malioboro mulai meningkat. Retno mengatakan, sejak 12 Juni 2020, jumlah kamar yang terisi di hotel itu sekitar 50 kamar per hari pada akhir pekan. ”Bahkan, pada Sabtu, 27 Juni lalu, jumlah kamar yang terisi mencapai 67 kamar,” tuturnya.
Retno menjelaskan, sebagian tamu yang menginap itu berasal dari wilayah DIY meski ada juga yang dari luar kota. Dia menambahkan, tamu yang berasal dari luar daerah mesti membawa surat sehat sebagai syarat untuk menginap. ”Kami juga menerapkan protokol kesehatan secara ketat,” ujarnya.
Sementara itu, Hotel Grand Aston Yogyakarta merasakan peningkatan okupansi sejak pertengahan Juni 2020. Marketing and Communications Manager Grand Aston Yogyakarta Sankar Adityas Cahyo mengatakan, saat ini okupansi di hotel tersebut bisa mencapai 20 persen. ”Padahal, saat masa awal pandemi, rata-rata okupansi hanya sekitar 5 persen,” ujarnya.
Sankar menjelaskan, kebanyakan tamu yang menginap di hotel tersebut berasal dari wilayah DIY. Para tamu itu menginap di hotel untuk berekreasi setelah merasa bosan tinggal di rumah selama beberapa bulan.
”Sampai sekarang, kebanyakan tamu kami adalah keluarga dari wilayah DIY. Mereka ini sudah kelamaan di rumah sehingga ingin keluar rumah tapi tetap aman. Makanya, pilihannya menginap di hotel,” ungkap Sankar.