Sepasang Harimau yang Ditangkap di Solok Belum Siap Berburu Sendiri
Dua harimau muda yang ditangkap di Kabupaten Solok, Sumatera Barat, karena berkeliaran di perladangan warga belum siap berburu sendiri.
SOLOK, KOMPAS — Dua harimau muda yang ditangkap di Kabupaten Solok, Sumatera Barat, karena berkeliaran di perladangan warga belum siap berburu sendiri. Butuh waktu untuk menunggu gigi mereka sempurna sehingga sanggup berburu sendiri dan bisa dilepasliarkan.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumbar Erly Sukrismanto di Solok, Senin (29/6/2020), mengatakan, kedua harimau berusia sekitar setahun itu belum memungkinkan untuk dilepasliarkan dalam waktu dekat. Ciri-ciri fisik sepasang anak harimau bernama Putri Singgulung dan Putra Singgulung itu belum memungkinkan untuk berburu.
Kedua harimau itu kini dirawat di Pusat Rehabilitasi Harimau Sumatera Dharmasraya (PR-HSD). ”Mudah-mudahan segera bisa berburu. Di PR-HSD, ada kandang buru tempat harimau dilatih berburu dengan diberi umpan satwa hidup. Kalau sudah siap, baru kami lepasliarkan kembali,” kata Erly saat proses evakuasi Putra Singgulung ke PR-HSD.
Senin pagi, tim BKSDA Sumbar, tim PR-HSD, dan warga mengevakuasi harimau yang diberi nama Putra Singgulung di kebun karet di Jorong Beringin, Nagari Gantuang Ciri, Kecamatan Kubung, Kabupaten Solok. Harimau sepanjang sekitar 1,5 meter dengan berat sekitar 50 kilogram itu masuk perangkap pada Minggu (28/6/2020) pagi.
Baca juga : Harimau yang Ditangkap di Solok Dievakuasi ke PR-HSD
Sebelumnya, Sabtu (13/6/2020), Putri Singgulung ditangkap di perladangan yang hanya berjarak ratusan meter dari lokasi penangkapan saudaranya itu. Putri Singgulung telah terlebih dahulu menjalani rehabilitasi di PR-HSD. Lokasi perangkap berada area penggunaan lain (APL) tidak jauh dari Hutan Lindung Bukit Barisan dan Suaka Margasatwa Barisan.
Putri Singgulung dan Putra Singgulung serta induknya menampakkan diri di perladangan warga di Nagari Gantuang Ciri serta Nagari Koto Gaek dan Nagari Jawi-Jawi, Kecamatan Gunung Talang, sejak 7 Mei 2020. Mereka sering berkeliaran di perladangan sehingga membuat warga resah. Upaya penangkapan dilakukan karena pengusiran dengan bebunyian meriam karbit tidak berhasil.
Erly berharap induk kedua harimau itu kembali ke hutan sehingga tidak perlu ditangkap. Meskipun demikian, perangkap tetap dipasang di perladangan dalam area penggunaan lain sebagai antisipasi jika induknya tetap berkeliaran.
Baca juga : Mengevakuasi Harimau Sumatera di Solok
Warga pun diimbau tetap berhati-hati beraktivitas di ladang. Masyarakat juga diminta tidak mengganggu habitat harimau serta tidak memburu mangsa harimau, seperti rusa, kancil, dan babi. Jika habitat terganggu dan mangsa berkurang, harimau bakal keluar untuk memangsa ternak dan hewan peliharaan warga. ”Masyarakat harus bisa hidup berdampingan dan harmonis dengan satwa,” ujar Erly.
Secara terpisah, Catrini Pratihari Kubontubuh, Direktur Eksekutif Yayasan Arsari Djojohadikusumo, pengelola PR-HSD, mengatakan, Putra Singgulung tiba di PR-HSD pukul 17.30. Secara umum tidak terlihat ada luka dan cedera pada harimau tersebut.
Masyarakat harus bisa hidup berdampingan dan harmonis dengan satwa.
”Secara fisik tidak terlihat ada luka dan sebagainya. Namun, kondisi keseluruhan baru bisa diinformasikan setelah tim medis PR-HSD Arsari yang dipimpin manajer operasional, dokter hewan Saruedi Simamora, melakukan pemeriksaan,” kata Catrini.
Sesuai prosedur, lanjutnya, Putra Singgulung bakal diistirahatkan 2-3 hari, kemudian menjalani pemeriksaan kesehatan, dan menjalani masa karantina 14 hari. Kondisi harimau menjadi pertimbangan dalam perencanaan proses rehabilitasi.
Sementara itu, Putri Singgulung, ujar Catrini, dalam kondisi baik. Masa karantina 14 hari berakhir Selasa (30/6/2020) ini. Apabila hasil observasi bagus, pemantauan Putri Singgulung akan dikurangi, tidak intensif 24 jam seperti sebelumnya.
Baca juga : Seekor Harimau Sumatera Muda Masuk Perangkap di Solok
Ia menyebutkan, Putri Singgulung, belum mampu berburu sendiri. Hal itu salah satunya dilihat dari kelengkapan gigi harimau. Semua gigi Putri Singgulung masih berupa gigi susu. Ketika diberikan daging berkulit, harimau dengan panjang sekitar 1 meter itu belum bisa mengunyah kulit.
“Kalau mangsa hidup, dia belum bisa menyobek dengan giginya. Kecepatan penumbuhan gigi juga tergantung asupan makanan dan gizi. Kami banyak memberikan kalsium agar giginya lebih cepat tumbuh sehingga siap berburu,” ujar Catrini.
Manajemen konflik
Dewan Penasihat Forum Harimau Kita Munawar Kholis berpendapat, secara umum, kasus konflik harimau dan manusia di Sumatera tidak jauh berbeda jumlahnya dengan tahun-tahun sebelumnya. Selain Sumbar, daerah yang sering terjadi konflik adalah Aceh, Riau, dan Sumatera Utara.
“Dari jumlah kasusnya, tidak jauh berubah dengan sebelumnya. Cuma memang karena arus informasi sangat cepat, misal harimau masuk kampung saja sudah heboh, sampai ke media sosial. Ini yang kadang memperparah situasi. Kadang langsung direspons dengan upaya evakuasi harimau,” kata Kholis ketika dihubungi dari Padang.
Menurut Kholis, kemunculan harimau tidak harus langsung direspons dengan evakuasi. Belum tentu harimau itu hendak berkonflik dengan manusia, bisa jadi sekadar lewat. Kondisi ini perlu diantisipasi lebih. Sebelum dievakuasi, perlu pendalaman situasi yang lebih detail terkait seberapa sering harimau melintas.
“Kalau dievakuasi, kebetulan yang tertangkap anaknya, seperti kasus di Solok, akan lebih panjang prosesnya. Induknya belum tentu tertangkap. Induknya mencari-cari anaknya di sana. Situasi konflik akan semakin panas. Kita tidak tahu bagaimana reaksi induk yang mencari anaknya. Evakuasi harimau juga butuh proses panjang dan dana besar serta belum tentu menyelesaikan akar konflik,” ujar Kholis.
Evakuasi harimau juga butuh proses panjang dan dana besar serta belum tentu menyelesaikan akar konflik. (Munawar Kholis)
Kholis melanjutkan, sebenarnya hal normal bila harimau mendekat ke permukiman. Apalagi semakin lama ladang ataupun permukiman semakin dekat ke hutan. Dengan semakin dekatnya ladang ke hutan, satwa mangsa harimau, seperti babi, bakal tertarik ke ladang. Harimau pun berburu ke lokasi yang banyak mangsanya.
Kondisi demikian, kata Kholis, tidak bisa serta merta diartikan sebagai konflik karena perilaku harimau memang mencari lokasi yang banyak mangsanya. Selain itu, induk harimau yang sedang membesarkan anaknya juga punya kecenderung ke pinggir hutan untuk menghindari pejantan.
Baca juga : Warga Diimbau Tinggalkan Kawasan Konservasi
Masalah lainnya dalam konflik harimau dan manusia adalah perburuan harimau dan berkurangnya populasi mangsa. Kata Kholis, praktik perburuan harimau harus ditindak tegas. Sementara itu, jika populasi mangsa harimau terganggu, populasi mangsanya harus dipulihkan.
Ditambahkan Kholis, kasus perjumpaan ataupun konflik harimau dan manusia dalam kondisi sekarang sulit dikurangi. Walaupun demikian, dampak dari konflik tersebut bisa diminimalkan. Masyarakat mesti bisa memahami perilaku harimau sehingga ketika bertemu tidak terjadi hal yang merugikan manusia dan harimau.
Ketika berladang, misalnya, lanjut Kholis, warga tidak beraktivitas sendirian karena berpotensi diserang harimau. Pola beternak juga mesti diubah, hewan ternak dimasukkan ke kandang. Warga juga diminta tidak memasang jerat ataupun pagar kawat di sekitar ladang yang bisa mencederai harimau.
“Sulit mengurangi konflik tetapi mengurangi dampaknya bisa. Caranya, harus betul-betul pahami perilaku harimau. Setiap kabupaten semestinya punya peta daerah-daerah rawan konflik. Masyarakat di sana harus dibina dalam mengantisipasi konflik secara mandiri. Ketika ada konflik ringan, misal harimau lewat, masyarakat mesti paham bagaimana cara bersikap,” ujar Kholis.