Kekerasan Masih Terjadi, Perlindungan bagi Tenaga Kesehatan Terkait Covid-19 Sangat Dibutuhkan
Polisi diminta mengusut tuntas kasus pengeroyokan terhadap Jomima Orno (38), perawat Covid-19 di RSUD dr Haulussy, Ambon, Jumat (26/6/2020). Negara diminta memberi perlindungan bagi perawat dan tenaga kesehatan lain.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
AMBON, KOMPAS — Polisi diminta mengusut tuntas kasus pengeroyokan terhadap Jomima Orno (38), perawat Covid-19 di Rumah Sakit Umum Daerah dr Haulussy, Ambon, Maluku, Jumat (26/6/2020). Negara diminta memberi perlindungan bagi perawat dan tenaga kesehatan lain dari potensi kekerasan.
Ketua Dewan Perwakilan Wilayah Persatuan Perawat Nasional Indonesia Maluku Hery Jotlely, Selasa (30/6/2020), di Ambon, mengatakan, peristiwa yang menimpa Jomima memicu ketakutan bagi perawat lain, terutama yang bekerja dalam penanggulangan Covid-19. Mereka bekerja di puskesmas, rumah sakit, dan tempat karantina hingga membantu penelusuran kontak dan tes cepat Covid-19 di lapangan.
”Bukan kali ini saja perawat dan tenaga medis mengalami kekerasan, baik verbal maupun fisik. Kini, banyak yang takut akan jadi korban berikutnya. Namun, kami saling menguatkan dengan terus bekerja demi kemanusiaan,” kata Hery.
Sebelumnya, Jomima dikeroyok keluarga pasien Covid-19 yang meninggal atas nama HK (58). Kejadian itu berawal saat dia mengantar jenazah HK dari ruang isolasi ke kamar jenazah. Tiba di sana, pintu kamar jenazah tertutup sehingga ia berdiri menjaga jenazah di depan pintu dan perawat lain mengambil kunci. Tiba-tiba, muncul belasan orang. Belakangan diketahui, mereka adalah kerabat HK.
Seorang warga tiba-tiba memukul bagian kiri wajah Jomima. Seorang lagi memukulnya berulang kali. Jomima berusaha lari. Namun, seorang dari mereka mereka memegang tangannya dan yang lain memukulnya beramai-ramai.
Jomima juga ditendang beberapa kali. Alat pelindung diri yang digunakan sampai robek. Ia menderita luka lebam pada bagian kiri wajahnya. Mata kirinya memar.
Orang-orang itu mengatakan, HK meninggal bukan karena Covid-19. HK masuk ke rumah sakit dengan keluhan kanker usus, penyakit yang sudah lama diderita. Padahal, saat masuk rumah sakit, HK menjalani tes cepat Covid-19 dengan hasil reaktif. Selanjutnya dilakukan tes usap (swab)dan hasilnya pun positif. Hasil tes itu diumumkan beberapa hari sebelum HK meninggal pada Jumat pagi.
Ke depan, Hery mengharapkan perlindungan maksimal bagi perawat. Pascakejadian itu, pada Senin (29/6/2020), pihaknya sudah bertemu dengan manajemen RSUD dr Haulussy, Ambon. Pihaknya mengusulkan penguatan pengamanan baik secara internal maupun dengan bantuan dari Polri dan TNI. Pada Selasa siang ini, Hery menemui Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Maluku untuk meminta perlindungan bagi perawat dan petugas medis lain di lapangan.
Ia juga mendesak polisi mengusut kasus pemukulan hingga tuntas. Ia menyesalkan, salah satu pelaku pemukulan terhadap Jomima adalah perawat yang bertugas di RSUD Masohi, Kabupaten Maluku Tengah, di Pulau Seram. ”Dia seharusnya memberi edukasi kepada keluarga, bukan malah ikut memukul,” katanya.
Salah satu pelaku pemukulan terhadap Jomima adalah perawat yang bertugas di RSUD Masohi, Kabupaten Maluku Tengah, di Pulau Seram.
Jadi tersangka
Jomima bersama kuasa hukum telah melaporkan kasus tersebut beberapa jam setelah pemukulan. Kepala Subbbagian Humas Polres Kota Pulau Ambon dan Pulau-pulau Lease Inspektur Dua Titan Firmansyah mengatakan, polisi telah menetapkan tiga orang sebagai tersangka. Mereka adalah SH, NK, dan NH. Tidak tertutup kemungkinan, kata Titan, akan ada tersangka baru.
Selain kasus pemukulan, mereka yang menyerang Jomima juga diduga terlibat dalam kasus perampasan jenazah HK di Jalan Jenderal Sudirman, Desa Batu Merah. Perampasan jenazah itu terjadi setelah pemukulan terhadap Jomima. Mereka menghentikan mobil jenazah, lalu mengambil jenazah. Peti jenazah kemudian dibuang begitu saja di pinggir jalan.
Terhadap kasus perampasan jenazah itu, polisi sudah menetapkan delapan orang sebagai tersangka dan masih terus melakukan pengembangan. Para tersangka dijerat dengan Pasal 214 Kitab Undang-undang Hukum Pidana juncto Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Ancaman hukumannya 7 tahun penjara.