Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan menargetkan tambahan 50 unit pengolahan dan pemasaran bokar guna mengantisipasi rendahnya harga karet di Sumsel.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan menargetkan penambahan 50 unit pengolahan dan pemasaran bokar atau UPBB di Sumsel hingga akhir tahun ini setelah pada semester pertama tahun ini jumlah UPBB bertambah 25 unit. UPBB penting untuk memotong rantai pasok karet di Sumsel yang masih panjang.
Kepala Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Dinas Perkebunan Sumsel Rudi Arpian, dalam diskusi daring ”Intercroping pada Tanaman Karet, Strategi Pengembangan Tanaman Karet Berkelanjutan”, Senin (29/6/2020), menuturkan, perkembangan UPPB di Sumsel lebih cepat dari perkiraan. Saat ini sudah ada penambahan sebanyak 25 UPPB, dari yang semula berjumlah 217 UPPB pada akhir tahun 2019 menjadi 242 UPPB. Padahal, angka itu merupakan target hingga akhir tahun. ”Karena pencapaian ini, kami menargetkan tambahan UPPB mencapai 50 unit hingga akhir tahun 2020,” ujar Rudi.
Rudi menilai keberadaan UPPB akan membantu petani karet keluar dari masalah utama, yakni rendahnya harga karet. ”Dengan membentuk UPPB harga yang diperoleh akan jauh lebih baik. Ada selisih harga hingga Rp 3.000 per kilogram (kg) dibanding menjualnya pada tengkulak,” ucapnya.
Idealnya 1 kg beras sebanding dengan 1 kg karet.
Saat ini, ujar Rudi, harga karet pada petani mandiri sekitar Rp 4.500-Rp 5.000 per kg, adapun untuk UPPB harganya berkisar Rp 6.500-Rp 7.000 per kg. Untuk membeli 1 kg beras, petani harus menghasilkan 3 kg getah karet. Padahal, idealnya, 1 kg beras sebanding dengan 1 kg karet.
Oleh karena itu, pembentukan UPPB terus didorong. Apalagi, saat ini, UPPB yang ada baru menampung sekitar 10 persen dari total petani di Sumsel yang berjumlah 576.139 keluarga.
Rudi mengatakan, setidaknya ada tiga pihak yang harus dilalui karet petani sebelum sampai ke pabrik, yakni pengepul desa, pedagang besar, dan broker. ”Itulah sebabnya harga karet di tingkat petani mandiri jauh lebih rendah dibandingkan dengan petani yang melelang karetnya melalui UPPB,” ucapnya.
UPPB yang ada baru menampung sekitar 10 persen dari total petani di Sumsel yang berjumlah 576.139 keluarga.
Idealnya, satu desa memiliki satu UPPB sehingga ada sekitar 2.000 UPPB di Sumsel. Dengan demikian, skema satu lokasi, satu mutu, satu harga, dan satu hari lelang bisa terwujud.
Apabila hal itu bisa terwujud, lanjut Rudi, selain mata rantai niaga dapat dipangkas, petani juga memiliki posisi tawar yang lebih besar karena tonase bokar yang dijual jauh lebih besar dibandingkan dengan penjualan secara mandiri. ”Ini juga untuk menghindari adanya praktik arisan antara pengepul yang juga bisa merugikan petani,” ucapnya.
Keberadaan UPPB juga bertujuan untuk meningkatkan mutu karet yang diproduksi. Saat ini, rata-rata produksi karet di tingkat petani Sumsel masih sangat rendah yakni kurang dari 1,3 ton per hektar per tahun. Padahal, idealnya sekitar 1,8 ton per hektar per tahun. Bahkan, petani di Thailand atau Malaysia bisa mencapai 2 ton per hektar per tahun.
Hal ini juga diperparah dengan masih tingginya lahan karet tua yang membuat produktivitas kebun karet di Sumsel juga menurun. Dari total lahan karet di Sumsel yang mencapai 1.307.011 hektar, sekitar 136.622 hektar mengalami kerusakan. ”Jumlah inilah yang terus diupayakan untuk diremajakan,” ucapnya.
Tumpang sari
Peneliti Ahli Madya Agronomi Balai Penelitian Tanaman Karet Sembawa, Sahuri, mengatakan, keberadaan UPPB bisa menjadi wadah untuk meningkatkan kualitas produksi bagi para petani. Namun, cara budidaya karet juga memengaruhi produktivitas tanaman.
Saat ini, masih banyak petani yang menanam pohon karet hingga 700 pohon per hektar. Padahal, untuk mendapatkan hasil karet yang maksimal, setidaknya dalam 1 hektar hanya diisi oleh 400 pohon. Petani juga bisa menanaminya rentang antarpohon dengan komoditas lain dengan skema tumpang sari.
Ada beberapa tanaman yang cocok untuk ditanam di antara tanaman karet, seperti jagung, padi, cabai rawit, porang, atau tanaman palawija lainnya. ”Dengan demikian, petani masih bisa mendapatkan penghasilan di tengah anjloknya harga karet.
Ketua Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Sumsel Alex K Eddy menuturkan, pihaknya tidak tahu kapan harga karet bisa pulih dan berada di angka ideal. Turunnya harga ini disebabkan oleh aktivitas ekonomi di sejumlah negara yang menyerap karet terganggu pandemi Covid-19.
Akibat anjloknya harga, antusiasme petani untuk menyadap karet menurun signifikan. Data Gapkindo Sumsel menunjukkan, produksi karet pada 2020 hingga Mei hanya 358.244 ton, turun dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, yakni 443.996 ton.
Alex mengatakan, pabrikan sendiri masih menampung hasil dari pertanian. ”Masih ada hasil karet yang disimpan di gudang sampai ekonomi di sejumlah negara pasar sudah kembali pulih,” ucap Alex.