Jangan Teraniaya di Jagat Maya
Serangan siber secara global dalam masa pandemi Covid-19 akibat virus korona jenis baru dalam tiga bulan terakhir melonjak 6.000 kali lipat.
Serangan siber secara global dalam masa pandemi Covid-19 (coronavirus disease 2019) akibat virus korona jenis baru (SARS-CoV-2) dalam tiga bulan terakhir, menurut perusahaan teknologi dunia, IBM, melonjak 6.000 kali lipat.
Kejahatan digital menambah runyam persoalan warga dunia yang sudah babak belur dihantam krisis kesehatan sekaligus krisis ekonomi. Covid-19 telah menjangkiti hampir 9,8 juta jiwa warga di 216 negara dengan hampir 495.000 jiwa di antaranya (5 persen) meninggal dunia.
Baca juga: Peretasan Data Pengguna Rawan Berlanjut Menjadi Kejahatan Siber
Pandemi, menurut Dana Moneter Internasional (IMF), berpotensi mengakibatkan pertumbuhan ekonomi negara-negara terkemuka, antara lain AS, Jerman, Perancis, Inggris, Jepang, Italia, dan Spanyol minus 5-13 persen.
Di Indonesia, serangan siber yang akhir-akhir ini mengagetkan publik ialah dugaan kebocoran data diri pasien Covid-19. Ada peretas (hacker) yang mengklaim memilki lebih dari 320.000 data pasien Covid-19 dan menjualnya cuma 300 dollar AS atau Rp 4,2 juta di situs Raid Forums. Meski otoritas membantah dan menjamin keamanan data pasien Covid-19, kemunculan informasi tersebut sudah cukup membuat gelisah.
Kenaikan serangan siber di masa pandemi terutama terkait dengan keterbatasan masyarakat beraktivitas untuk mencegah potensi penularan. Mencegah penularan, masyarakat menerapkan jaga jarak fisik sampai transaksi seluruh aspek kehidupan memakai sistem digital. Kondisi ini linier dengan tumbuhnya serangan siber dari para peretas yang bertujuan mendapat manfaat ekonomi, menebar teror, atau menguji keamanan sistem digital yang dikelola unit-unit layanan.
Demikian benang merah pada Bincang Kompas berupa seminar dalam jaringan internet (webinar) bertema ”Penegakan Hukum Kejahatan Digital” yang digelar Jumat (26/6/2020) malam. Bincang Kompas merupakan kerja sama Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya dengan harian Kompas.
Acara yang turut disiarkan melalui akun Youtube Fakultas Hukum Untag Surabaya ini menghadirkan narasumber Wakil Pemimpin Redaksi Kompas Tri Agung Kristanto, dosen FH Untag Surabaya Otto Yudianto, dosen FH Universitas Negeri Sebelas Maret Solo Hari Purwadi, Guru Besar Etika Moral Universitas Widya Dharma, Pontianak, Prof William Chang, OFM Cap dan Ketua Bidang Advokasi Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Nuruddin Lazuardi. Pada kesempatan itu, Dekan FH Untag Surabaya Slamet Suhartono juga memberikan sambutan atas kerja sama tersebut.
Jangan pasrah
Tri Agung mengatakan, kejahatan digital tidak pernah sepi menghiasi pemberitaan media massa. Di harian Kompas, pemberitaan sejak Januari 2011 terekam setidaknya 500 pemberitaan tentang kejahatan digital. Tiga tahun terakhir, mengutip data Mabes Polri, ada sekitar 7.000 orang yang diperiksa karena terlibat kejahatan digital terkait pelanggaran Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Menurut Tri Agung, jagat maya yang banjir informasi juga penuh dengan permainan informasi manipulatif terkait dengan modus politik, hukum, ekonomi, sosial yang menjangkau aspek suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Dunia digital terus digunakan sebagai sarana menebar narasi atau berita bohong dengan tujuan menciptakan dan melanggengkan keresahan publik.
Gangguan terhadap keharmonisan kehidupan berbangsa dan bernegara akibat berita bohong mencerminkan keruntuhan dan kegagalan dunia memelihara nilai-nilai demokrasi.
Warga dunia harus kritis terhadap gelombang informasi di jagad maya. Saring sebelum sharing (menyebarkan informasi). Cek dan ricek informasi. Lebih percaya kepada lembaga otoritas dan atau media dengan kredibilitas tinggi daripada informasi dari lembaga atau media yang belum teruji.
Baca juga: Jumlah Serangan Siber Meningkat
Otto mengatakan, dalam kehidupan sehari-hari, bertebarannya informasi bohong mengganggu ketentraman masyarakat. Kasus-kasus perceraian meningkat yang salah satunya akibat pasangan termakan informasi bohong.
Selain itu, kejahatan digital, lanjut Otto, belum mendapat perhatian lebih meski sudah ada UU ITE. Regulasi ini memang mengatur 13 jenis tindak pidana ITE, tetapi masih banyak aspek yang belum terjangkau. Di sisi lain, jalan pemidanaan terhadap pelaku kejahatan terkadang belum efektif atau manjur untuk mendorong ketertiban.
Jejak digital
Purwadi mengatakan, dunia digital membuat perubahan tak terduga dalam banyak aspek kehidupan. Namun, dalam pengamatannya, kebanyakan negara belum memiliki definisi hukum yang standar tentang kejahatan digital. Padahal, tipe kejahatan ini banyak, antara lain cyber-trespass (akses ilegal), cyber-deception (pencurian), cyber-porn (eksploitasi seksual), dan cyber-violence (kekerasan verbal).
Purwadi masih melihat, meski saat ini sudah masuk zaman digital, ada aspek hukum penting yang belum mengakomodasinya. Misalnya, negara-negara terkemuka, berbagai transaksi khususnya daring telah lazim memakai tanda tangan elektronik (bukan tanda tangan dan cap basah). Namun, di Indonesia, praktik tanda tangan elektronik belum lazim dipakai untuk pengurusan dokumen penting.
Penanganan kejahatan digital juga memerlukan cara yang berbeda. Bukti atau jejak digital pelaku menjadi bagia dalam barang bukti digital untuk penyelidikan dan penyidikan. Dokumen data elektronik yang mengandung informasi untuk pembongkaran praktik kejahatan dapat menjadi bukti penguat. Dengan demikian, tidak harus ada bukti dokumen kertas untuk penanganan kejahatan digital.
Baca juga: Waspadai Serangan Siber, Sudah 88 Juta Serangan sejak Januari 2020
William mengatakan, aspek terutama dalam dunia digital tetaplah manusia. Untuk menekan potensi kejahatan digital, manusia harus selalu ingat dengan norma dan prinsip kehidupan yang berlandaskan etika serta moral. Nilai-nilai kejujuran, kebaikan, kesetaraan tetap harus dipelihara dalam ranah lalu lintas informasi digital.
Secara khusus, William menyoroti ketidaksetaraan perlakuan warga negara di hadapan hukum dalam konteks dunia digital. Ada kalangan masyarakat terutama pejabat publik yang ingin mendapat imunitas dari potensi disadap. Padahal, penyadapan sah dilakukan oleh penegak hukum dalam kepentingan hukum.
”Berdasarkan azas keadilan, setiap warga negara seharusnya diperlakukan secara setara. Tidak boleh ada yang bersembunyi di balik argumen ’privacy’ atau imunitas agar tidak disadap,” kata Pastor William.
Adapun Nuruddin menambahkan, salah satu faktor yang menyebabkan gelombang informasi merugikan masyarakat ialah inkompetensi perusahaan media dengan ujung tombak jurnalis. Di Indonesia ada lebih dari 120.000 wartawan, tetapi yang bersertifikat kompetensi tak sampai 17.000 orang (14 persen). Ada lebih dari 10.000 perusahaan media digital tetapi yang terverifikasi administratif dan faktual tak sampai 550 (5,5 persen).
Kompetensi jurnalis dan ”keabsahan” media merupakan modal teramat berharga bagi keberlangsungan penyebaran informasi yang terpercaya dan berkualitas. Tanpa kesadaran tinggi untuk meningkatkan kualitas diri, kalangan jurnalis dan perusahaan media bisa terjebak pada situasi produksi pemberitaan yang tidak akurat, penjiplakan (plagiat), kesalahan terus-menerus, mengejar sensasi, narasi yang tak bermanfaat, dan masyarakat tidak tercerdaskan apalagi tercerahkan.
”Pendidikan tetap menjadi aspek penting bagi manusia untuk menanamkan nilai-nilai kebaikan sehingga tetap lurus dan jernih dalam kehidupan digital,” kata Nuruddin.