PURWOKERTO, KOMPAS — Uskup Emeritus Keuskupan Purwokerto Julianus Sunarka SJ berpulang dalam usia 78 tahun di Rumah Sakit Elisabeth, Semarang, Jawa Tengah, Jumat (26/6/2020) siang. Romo, yang identik dengan belangkon penutup kepala, meninggalkan semangat toleransi sekaligus warisan pendidikan di tanah Banyumas Raya.
Misa rekuiem dan pemakaman direncanakan di kompleks Girisonta, Kabupaten Semarang, Sabtu, sekitar pukul 10.00. Dalam suasana pandemi Covid-19, pemakaman hanya bisa dihadiri sekitar 20 orang.
Sekretaris Keuskupan Purwokerto Romo FX Bagyo Purwosantosa Pr menyampaikan, pihaknya mendapatkan informasi bahwa Mgr Sunarka masuk rumah sakit pada Jumat pagi karena sesak napas dan kemudian mendapatkan kabar bahwa ia meninggal sekitar pukul 13.50. ”Beliau sakit jantung sejak lama. Jantungnya bengkak. Tampaknya sesak karena itu,” tutur Bagyo.
Dia mengatakan, Keuskupan Purwokerto merasa kehilangan sosok yang kebapakan dan sangat peduli dengan umat. ”Kami sungguh kehilangan. Meskipun sudah pensiun, beliau sungguh-sungguh ada di hati umat. Umat begitu terkesan dengan sosoknya yang sederhana, selalu menyapa, dan sungguh-sungguh memikirkan umat. Tidak hanya umat Katolik, tapi juga umat Katolik dengan umat beragama lain,” katanya.
Bagyo menyebutkan, selama memimpin sekitar 60.000 umat Katolik di Keuskupan Purwokerto, Sunarka dikenal sebagai pribadi yang sederhana serta suka blusukan, turun mengunjungi umat. ”Beliau suka blusukan. Misalnya, setiap hari raya, beliau tidak merayakan misa di Gereja Katedral, tetapi justru pergi ke stasi-stasi terpencil mengunjungi umat. Misalnya, misa Natal dan Paskah di desa-desa,” paparnya.
Oleh karena pandemi Covid-19 dan penerapan protokol kesehatan, menurut Bagyo, Keuskupan Purwokerto kemungkinan hanya mengutus tiga atau empat perwakilan untuk melayat ke Girisonta. ”Misa Sabtu-Minggu ini di paroki-paroki nanti akan mengintensikan (mendoakan) untuk (kedamaian dan keselamatan jiwa) Mgr Sunarka,” katanya.
Mgr Sunarka lahir di Klepu, Yogyakarta, 25 Desember 1941. Dia pribadi yang sangat sederhana dan kental dengan budaya dan moral Jawa (njawani ). Salah satu warisan berharga dari Sunarka adalah STIKOM Yos Sudarso Purwokerto.
Merasa kehilangan
Sunarka adalah pribadi yang kental dengan pendekatan budaya Jawa dan sangat sederhana. Budayawan Banyumas, Ahmad Tohari, merasa kehilangan sosok yang sederhana dan ramah tersebut. ”Saya merasa kehilangan seorang sahabat yang sangat penting buat saya. Romo Narka itu sahabat saya yang pada tahun 1995 bersama-sama mendirikan forum kerukunan umat beragama di Banyumas,” kata Ahmad Tohari di Purwokerto.
Ahmad Tohari menyebutkan, Sunarka merupakan sosok yang sederhana dan mampu membangun hubungan antarumat beragama yang baik. Ketika ibunda Ahmad Tohari meninggal, Sunarka hadir dan duduk di samping Ahmad Tohari saat tahlilan. ”Secara pribadi, saya dekat dan yang saya catat selalu adalah ketika beliau masih di Keuskupan Purwokerto, beliau tamu saya yang pertama di hari Lebaran. Itu istimewa sekali,” paparnya.
Oleh karena penampilan sehari-hari yang selalu mengenakan belangkon, semacam ikat kepala dalam tradisi Jawa, sebagian umat menyebutnya ”Romo Belangkon”. Vikaris Jenderal Keuskupan Agung Semarang Romo YR Edy Purwanto mengatakan, Sukarna merupakan pribadi yang visioner, humoris, dan terbuka. ”Sangat dekat dengan orang kecil serta kaum lemah (sekeng),” kata Romo Edy melalui pesan singkat.
Kepribadian itu pula yang membuat Sunarka diterima semua kalangan. Terhadap para pastornya, ia dikenal sangat peduli. ”Beliau benar-benar hadir sebagai seorang bapak yang mengayomi serta memberikan dorongan untuk menjadi imam yang berwawasan luas dan berpendidikan tinggi,” tutur Romo Edy.