Seiring perkembangan zaman, permainan tradisional acap kali ditinggalkan. Kondisi itu membuat anak zaman ”now” merasa asing dengan permainan tradisional.
Oleh
JUMARTO YULIANUS
·5 menit baca
Seiring perkembangan zaman, permainan tradisional acap kali ditinggalkan. Kondisi itu membuat anak zaman ”now” merasa asing dengan permainan tradisional. Namun, hal tersebut tak berlaku bagi anak-anak di Gang Pendamai, Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Pada era kecanduan bermain gawai, mereka tetap bermain gasing, logo, dan egrang.
Suasana di Gang Pendamai cukup riuh, Sabtu (20/6/2020) menjelang tengah hari. Di sebuah gang dengan lebar sekitar 3 meter di Kelurahan Telawang, Kecamatan Banjarmasin Barat, beberapa anak asyik bermain. Tempat mereka bermain dikenal dengan nama Kampung Permainan Tradisional Banua (KPTB) Pendamai.
Fikri Luqmanul Faras (7) dan beberapa anak mengambil masing-masing sebuah gasing kayu dan seutas tali. Begitu meja arena bagasing (bergasing atau bermain gasing) dibuka, mereka pun bersiap untuk melemparkan gasing. Mereka menunjuk Fikri untuk melemparkan gasing terlebih dahulu.
Setelah gasing yang dilempar Fikri berputar di arena bermain, Muhammad Iqbal (15) mengambil ancang-ancang untuk melemparkan gasingnya. Bunyi debak terdengar cukup keras ketika gasing yang dilempar Iqbal menghantam gasing milik Fikri. Beberapa saat kemudian, kedua gasing itu pun berhenti berputar.
Permainan gasing gapuk seperti itu diulang terus oleh Fikri, Iqbal, dan beberapa anak lainnya. Sebagai variasi permainan, mereka juga mengambil gasing yang sedang berputar di arena bermain dengan sebuah sendok kayu. Gasing yang masih berputar di atas sendok kemudian dioper dari satu anak ke anak lain sampai gasing itu berhenti berputar.
”Gasing gapuk adalah permainan favorit ulun (saya). Sejak belum sekolah, sudah bisa bermain gasing. Belajar bagasing juga di sini (KPTB Pendamai),” ujar Fikri. Bocah kelas I sekolah dasar (SD) itu tak hanya bisa dan jago bermain gasing, tetapi juga jago bermain logo, egrang, dan bakiak. Selain itu, ia juga sudah terampil menabuh babun, alat musik jenis gendang dalam pagelaran musik panting.
Sementara itu, Noor Askia (12) dan beberapa anak lainnya asyik bermain egrang atau batungkau. Mereka beradu cepat mencapai ujung gang. Setelah bolak-balik beberapa kali, mereka ganti bermain logo atau balogo, salah satu permainan tradisional suku Banjar. Dalam balogo, anak-anak mendorong logo yang terbuat dari tempurung kelapa. Logo didorong menggunakan tongkat dari bambu yang disebut panapak atau campa.
Seseorang atau sebuah tim harus berupaya mendorong logo agar bisa meluncur dan merobohkan logo pihak lawan yang dipasang secara berjajar. Masih ada beberapa permainan tradisional lain yang biasa dimainkan anak-anak di sana. Namun, siang itu tak dimainkan. Misalnya, bakiak dan congklak atau badaku. Anak-anak baru berhenti bermain ketika hujan rintik-rintik semakin deras.
Mereka segera mengemas peralatan bermain dan mengembalikan pada tempatnya. Menurut Askia, bermain logo lebih seru daripada bermain gawai. ”Kalau pas di rumah, biasanya main gadget juga, tetapi kada (tidak) lama. Karena ulun bisa seharian bermain dengan teman-teman di sini,” kata siswi kelas V SD, yang beberapa kali menjuarai lomba balogo tingkat Kota Banjarmasin.
Sama seperti Fikri dan anak-anak lain, Askia juga mengenal balogo di KPTB Pendamai. Sejak kelas III SD, ia menggandrungi balogo. Ia semakin intens bermain ketika mempersiapkan diri untuk mengikuti lomba balogo yang biasanya digelar Dinas Kepemudaan dan Olahraga (Dispora) Kota Banjarmasin ataupun Provinsi Kalimantan Selatan.
Melestarikan tradisi
KPTB Pendamai digagas oleh pasangan suami istri Muhammad Suriani (64) dan Hj Siti Nursiah (61) pada 2015. Keduanya prihatin melihat anak-anak zaman sekarang tak lagi mengenal permainan tradisional. Banyak anak yang kecanduan gawai sehingga tak mengetahui tradisi dan lupa bersosialisasi.
”Kami membentuk kampung permainan tradisional dalam rangka melestarikan tradisi. Kami ingin anak-anak zaman sekarang tetap mengenal dan mencintai permainan tradisional. Dari permainan itu, mereka juga belajar bersosialisasi,” tutur Suriani, Ketua KPTB Pendamai.
Suriani tak hanya terampil bermain aneka permainan tradisional, tetapi juga sangat piawai membuat peralatan bermain. Ia mengajari cucunya dan anak-anak lain sebaya cucunya untuk bermain di gang depan rumahnya, yang merupakan sebuah gang buntu. Semua peralatan bermain dibuat Suriani sendiri.
”Awalnya hanya beberapa anak yang rajin ikut bermain di tempat kami setiap sore. Lama-kelamaan, hampir semua anak kampung sekitar sini ikut bermain. Sekarang ini, kalau kumpul semua, jumlahnya sekitar 60 anak, mulai dari anak berusia 4 tahun sampai dengan remaja,” kata Nursiah.
Menurut Iqbal, KPTB Pendamai membuatnya mengenal dan menyukai permainan tradisional. Semua permainan tradisional yang diajarkan Suriani sudah dikuasainya. Remaja yang baru lulus sekolah menengah pertama (SMP) itu juga sudah mulai belajar membuat beberapa alat permainan.
”Ulun bermain di sini sejak kelas V SD. Lebih senang bermain di sini karena banyak teman,” ujarnya. Iqbal kini menjadi mentor permainan tradisional bagi anak-anak yang lain. Ia tak hanya kerap menjuarai lomba permainan tradisional tingkat kota dan provinsi, tetapi juga pernah dibawa ke luar daerah, seperti Jakarta dan Malang untuk menyosialisasikan permainan tradisional balogo. ”Permainan tradisional itu lebih asyik daripada permainan gadget,” katanya.
Membentuk karakter
Menurut Nursiah, permainan tradisional tak hanya mengajarkan anak bersosialisasi, tetapi juga mengajarkan nilai-nilai positif pada anak, seperti kesetiakawanan, sportivitas, kepercayaan diri, dan pantang menyerah. ”Dunia anak adalah dunia bermain. Lewat permainan juga karakter anak harus dibentuk,” tutur Bendahara Yayasan Bina Banua Pendamai itu.
Dalam rangka pembentukan karakter dan pengembangan minat bakat, anak-anak yang rutin datang bermain juga dibekali seni musik dan tari tradisional Banjar. Suriani dan Nursiah dibantu beberapa sukarelawan untuk melatih anak-anak bermain musik, menyanyi, dan menari.
Anak-anak yang kini berada di bawah naungan Yayasan Bina Banua Pendamai juga dibekali pelajaran agama Islam untuk memperkuat iman dan takwa mereka. ”Kami tidak ingin anak-anak terjerumus dalam pergaulan yang tidak sehat. Anak-anak harus bisa jadi SDM (sumber daya manusia) yang berkualitas dan mampu bersaing,” ujar Nursiah.
Dalam kurun waktu lima tahun, KPTB Pendamai perlahan-lahan mampu menghidupkan permainan tradisional atau permainan kampung di tengah kota. Anak zaman now pun dibuat tak asing dengan gasing, tetapi tetap mampu bersaing di era revolusi industri 4.0.