Warung Desa Disiapkan untuk Menyerap Komoditas Perkebunan Rakyat
Program desa mandiri yang digencarkan Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat didorong berkontribusi mengatasi perekonomian di desa, salah satunya bisa menyerap komoditas perkebunan rakyat melalui warung desa.
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
·4 menit baca
PONTIANAK, KOMPAS — Program desa mandiri di Kalimantan Barat bakal semakin dikembangkan dengan pembentukan warung desa di setiap desa mandiri. Warung desa diharapkan bisa menjadi badan usaha milik desa yang menyalurkan produk pertanian desa sekaligus menyalurkan produk dari luar ke desa.
”Penataan ekonomi di desa mandiri akan dilakukan terintegrasi. Tahun depan dibentuk warung desa. Sekarang sedang dikaji potensi desa yang nantinya bisa diserap di warung desa,” ujar Gubernur Kalimantan Barat Sutarmidji, Jumat (26/6/2020).
Seperti diketahui, Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat beberapa tahun terakhir menggencarkan program desa mandiri. Pada 2018 hanya ada satu desa mandiri dari total 2.031 desa di Kalbar, kini sudah ada 214 desa mandiri.
Sutarmidji menargetkan di seluruh desa mandiri nantinya tersedia warung desa. Warung desa terhubung dengan perusahaan daerah. Selain menerima barang-barang dari perusahaan daerah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, warung desa juga menyerap komoditas rakyat dan menjual ke perusahaan daerah. Dengan demikian, rantai pemasarannya tidak panjang.
Warung desa ini dirancang menjadi semacam embrio badan usaha milik desa (BUMDes) bagi desa yang belum memiliki BUMDes. Modal BUMDes bisa berasal dari dana desa, bisa juga mengakses dana kredit usaha rakyat.
”Hasil pertanian dan perkebunan di desa dibeli warung desa. Pemasarannya bekerja sama dengan perusahaan daerah. Tahun depan diharapkan tidak ada lagi desa sangat tertinggal dan tertinggal,” kata Sutarmidji.
Tahun depan diharapkan tidak ada lagi desa sangat tertinggal dan tertinggal. (Sutarmidji)
Seperti diketahui, harga komoditas perkebunan rakyat karet dan lada beberapa tahun terakhir anjlok. Harga lada beberapa tahun lalu pernah Rp 100.000-Rp 200.000 per kilogram, kini tinggal Rp 28.000-Rp 40.000 per kg. Harga karet sekitar 10 tahun lalu pernah Rp 20.000 per kg, kini Rp 5.000-Rp 6.000 per kg. Rantai pemasaran panjang membuat petani tidak menikmati harga layak (Kompas.id 24/6/2020). Dengan adanya warung desa, diharapkan rantai pemasaran bisa diperpendek.
Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Tanjungpura, Pontianak, Eddy Suratman mengatakan, perusahaan daerah hendaknya menyiapkan konsep bagaimana mekanisme kerja hubungan antara warung desa di kabupaten-kabupaten dan ke perusahaan daerah di tingkat provinsi.
”Mekanisme itu yang harus disiapkan perusahaan daerah terlebih dahulu. Setelah mekanisme itu dibuat, selanjutnya perlu pelatihan di daerah terkait mekanisme serta hak dan kewajiban masing-masing,” kata Eddy.
Tantangannya adalah menumbuhkan jiwa kewirausahaan di desa. Sisi bisnisnya perlu dilatih dengan melatih petani bagaimana cara berbisnis. Badan usaha di tingkat desa tidak bisa dibiarkan berkembang sendiri di tengah minimnya pengalaman. ”Tidak sederhana, tetapi harus dimulai,” ujarnya.
Selain melalui program desa mandiri, upaya lain untuk memulihkan harga komoditas perkebunan rakyat di tingkat petani juga sedang dirancang di organisasi perangkat daerah terkait. Beberapa waktu lalu digelar pertemuan sejumlah pihak untuk membahas permasalahan harga komoditas.
Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian Provinsi Kalbar Samuel menjelaskan, beberapa waktu lalu Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Kalbar beserta dinas terkait se-Kalbar dan asosiasi pengusaha karet menggelar pertemuan secara daring membahas produktivitas dan tata niaga komoditas, khususnya karet. Namun, hasilnya masih dirumuskan oleh Bappeda.
Direktur BUMDes Bukit Melayu Rayak, Desa Sungai Melayu, Kabupaten Ketapang, Benidiktus, mengatakan, BUMDes yang ia kelola sejauh ini menjalankan usaha pariwisata. Jika ke depan BUMDes akan diarahkan menyerap komoditas perkebunan rakyat, sistemnya hendaknya dijelaskan oleh pemerintah daerah. Dengan demikian, tatkala BUMDes diminta menyerap komoditas rakyat, fungsinya bisa berjalan optimal.
Sebagai contoh, BUMDes sebetulnya bisa menjual elpiji 3 kg, tetapi BUMDes sulit mendapatkan kuota elpiji. Berkaca dari hal itu, jika BUMDes ke depan juga diarahkan untuk menyerap komoditas rakyat, sistemnya hendaknya jelas, misalnya syarat kerja sama dengan perusahaan daerah seperti apa dan sistem bisnisnya seperti apa.
Sistemnya hendaknya jelas. (Benidiktus)
Benidiktus mengatakan, di desanya, komoditas karet rakyat terbengkalai karena harganya hanya Rp 5.000 per kg. Petani tidak tertarik menyadap karet. Jika ada yang membeli dengan harga layak, sebetulnya sangat ditunggu petani.
Ada juga petani yang memilih menjadi buruh perkebunan sawit karena dinilai lebih besar pendapatannya daripada menyadap karet yang harganya rendah. Namun, untuk penduduk yang sudah berusia tua, kebun karet bisa menjadi tumpuan hidup di masa tua.