Sudah sepekan terakhir sejumlah desa di Kecamatan Jelai Hulu dan Manis Mata, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, dilanda banjir. Hingga Jumat (26/6/2020), ketinggian banjir masih 1-2 meter.
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
·3 menit baca
MANDO UNTUK KOMPAS
Banjir masih melanda Kecamatan Jelai Hulu, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, hingga Jumat (26/6/2020).
PONTIANAK, KOMPAS — Sudah sepekan terakhir sejumlah desa di Kecamatan Jelai Hulu dan Manis Mata, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, dilanda banjir. Hingga Jumat (26/6/2020), ketinggian banjir 1-2 meter karena Sungai Jalai masih meluap. Banjir tersebut juga dinilai sebagai bencana ekologis, pertanda kualitas lingkungan kian menurun.
Mando (30), warga Jelai Hulu, Jumat (26/6/2020), menuturkan, banjir salah satunya melanda Riam, ibu kota Kecamatan Jelai Hulu tepatnya Desa Periangan, sekitar 400 kilometer dari Pontianak. Ketinggian banjir hingga Jumat sore masih sekitar 1 meter, dan di lokasi yang rendah sekitar 2 meter. Rumah warga di bantaran sungai masih terendam.
”Rumah yang masih terendam banjir diperkirakan ratusan. Belasan keluarga mengungsi ke bangunan milik desa. Yang mengungsi rata-rata warga di bantaran Sungai Jalai. Rumah mereka hanya satu lantai sehingga mereka mengungsi,” kata Mando.
Banjir di Riam sudah sekitar satu minggu. Seminggu terakhir, intensitas hujan relatif lebih tinggi. Selain itu, ada beberapa kampung lainnya juga banjir, misalnya Kampung Limus dan Deranu. Ketinggian banjir sekitar 1,5 meter.
”Salah satu akses jalan menuju kota Riam juga masih banjir sehingga warga menggunakan akses lainnya, yakni jalan pertambangan dan perkebunan sawit. Di kampung lainnya, yakni Asam Jelai, Biku Sarana, Setipaian, meski berangsur surut, banjir masih menggenang,” ujar Mando.
Di kota Riam sudah ada posko kesehatan. Pertokoan pun sudah ada yang buka. Namun, baru beberapa toko yang buka karena toko di bantaran sungai rata-rata masih terendam banjir.
Banjir masih melanda Kecamatan Jelai Hulu, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, hingga Jumat (26/6/2020).
Banjir di Ketapang juga terjadi di Kecamatan Manis Mata. Martinus (28), warga Manis Mata, menuturkan, sejauh pengamatannya, desa yang dilanda banjir, antara lain, Kelampai, Tribun Jaya, Sengkuang Merabung, Kemuning, Terusan, dan Kalimantan. Ketinggian banjir masih sekitar 1 meter di Sengkuang Merabung. Masyarakat di daerah itu membuat tempat khusus yang lebih tinggi supaya bisa berlindung.
Sementara itu, di Darit, Kecamatan Menyuke, Kabupaten Landak, yang sempat dilanda banjir pada Rabu (24/6/2020), jumat pagi perlahan surut. Kepala Desa Darit Kris Biantoro, Jumat pagi, menuturkan, akses dari Landak menuju Kabupaten Bengkayang sudah bisa dilintasi terutama kendaraan roda empat pada Jumat pagi. Ketinggian air hanya sekitar setengah meter.
Di pusat desa, ketinggian banjir tinggal beberapa sentimeter. Pasar pada Jumat pagi sudah tidak tergenang. ”Pemilik toko masih proses bersih-bersih. Banjir di permukiman penduduk juga sudah surut sejak Kamis sore hingga Jumat surut. Namun, jika di hulu curah hujan lebat, biasanya ketinggian air bertambah lagi,” ujarnya.
Prakirawan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Bandara Supadio Pontianak, Dina Ike, menuturkan, curah hujan pada 27-29 Juni tidak merata di wilayah Kalbar. Namun, pada 30 Juni hingga awal Juli diperkirakan curah hujan akan kembali merata lagi di wilayah Kalbar.
Bencana ekologis
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalbar Nikodemus Ale menilai, banjir yang terjadi khususnya di Ketapang merupakan bencana ekologis. Banjir saat ini menunjukkan kualitas lingkungan di Kalbar yang kian menurun.
Perubahan itu terjadi karena pengelolaan lingkungan tidak arif, tidak mengedepankan kelestarian, misalnya industri yang berbasis ekstraktif. ”Curah hujan yang tinggi hanya faktor pendukung. Kalau lahan belum beralih fungsi, bencana ekologis sangat kecil kemungkinan terjadi,” ungkap Nikodemus.
Banjir bandang menerjang Kecamatan Jelai Hulu, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, akhir Agustus 2017 lalu.
Catatan Kompas, pada akhir Agustus 2017, Kecamatan Jelai Hulu pernah dilanda banjir. Bahkan, kala itu, banjir bandang. Akibatnya, sejumlah rumah warga rusak parah dan hanyut diterjang banjir bandang.
Curah hujan yang tinggi hanya faktor pendukung. Kalau lahan belum beralih fungsi, bencana ekologis sangat kecil kemungkinan terjadi.
Catatan Kompas pada 2018, Ketua Badan Pengurus Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Kalbar yang saat itu dijabat Stefanus Masiun mengatakan, luas Kalbar 14,7 juta hektar. Sebanyak 11,7 juta hektar sudah terbebani berbagai izin: sawit 4,5 juta hektar, tambang 2,7 juta hektar, hak penguasaan hutan 1,3 juta hektar, dan hutan tanaman industri 3,2 juta hektar. Wilayah kelola masyarakat hanya tersisa 3 juta hektar.