Noktah Merah Perkawinan di Tengah Pelonggaran
Pelonggaran protokol pencegahan Covid-19 di Kota Semarang belum sepenuhnya diikuti kedisiplinanan warga. Sebuah acara perkawinan justru memunculkan kluster penularan baru. Hajatan di hari bahagia justru berujung duka.
Sejumlah pelonggaran protokol pencegahan Covid-19 di Kota Semarang, Jawa Tengah, belum sepenuhnya diikuti kedisiplinanan warga. Salah satu yang menyesakkan, muncul dari hajatan perkawinan. Hajatan yang semestinya menjadi hari bahagia justru berujung petaka.
Hamid (44), mengenang pilu, pernikahan sepupu perempuannya yang dilangsungkan di rumah sepupunya di Kelurahan Tambakerjo, Kecamatan Gayamsari, Kota Semarang, Kamis (11/6/2020). Beberapa hari kebahagiaan dirasa, keluarga dirundung duka karena adik serta ibu mempelai perempuan meninggal.
Selain mereka, ayah mempelai wanita juga masuk rumah sakit dan dirawat. Ketiganya dilaporkan positif Covid-19. Pelacakan pun dilakukan pada sejumlah hadirin. Data Dinas Kesehatan Kota Semarang, total terdapat 10 orang positif Covid-19.
Hamid menuturkan, pernikahan sepupunya itu memang sudah disiapkan sejak Januari 2020. Namun, saat akad nikah, kondisi kedua orangtua mempelai sedang tidak sehat. Saat itu, adik mempelai yang meninggal itu sehat.
”Bapaknya punya asam urat berat, sedangkan ibunya infeksi rahim setahun ini. Namun, selama ini memang belum pernah dites Covid-19. (Akad nikah) tetap digelar karena begitu senangnya orangtua melihat anak pertamanya bertemu jodoh di usia 40 tahun,” ujarnya.
Baca juga: Menikah di Tengah Pandemi Covid-19
Dari informasi yang dihimpun Kompas, pernikahan ini dilangsungkan sederhana. Mempelai dan kerabat dekatnya sekitar 10 orang melingkari meja di ruang tamu. Sejumlah orang, termasuk kedua mempelai, sudah menggunakan masker.
Namun, jumlah tamu yang hadir dari kedua belah pihak melebih ketentuan, sehingga diduga ada penularan Covid-19. Selain kerabat di ruang tamu, ada puluhan orang lain yang juga berkumpul di ruang lain dan luar rumah.
”Dari keluarga mempelai perempuan ada 20 orang, sedangkan keluarga laki-laki sepertinya lebih dari itu. Protapnya (maksimal) 30 orang, berarti sudah melanggar. Apalagi, jika melihat situasi rumahnya yang sempit,” kata Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang Abdul Hakam.
Meski demikian, menurut Hamid, akad nikah pada Kamis (11/6/2020) tersebut sudah diupayakan sesuai protokol kesehatan. Di depan rumah tersedia tempat cuci tangan dengan sabun, begitu juga cairan antiseptik. Sejumlah kursi disediakan di luar rumah sehingga yang hadir tak menumpuk di dalam. Resepsi yang direncanakan dilaksanakan pada Minggu (14/6) pun akhirnya batal.
Penelusuran
Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Semarang Muhdi mengemukakan, begitu tersiar kabar terkait pernikahan yang menjadi kluster penularan Covid-19, pihaknya langsung menelusuri. Dari laporan, pernikahan sudah sesuai prosedur.
”Yang jelas, menikahnya di rumah, bukan di masjid. Saat prosesi akad nikah, jumlahnya sembilan orang. Pihak KUA hanya mengurusi akadnya. Kalau ada acara lain setelah itu, kami tidak tahu menahu karena itu sudah wilayahnya gugus tugas Covid-19,” kata Muhdi.
Baca juga : Antara Janur Kuning yang Melengkung dan Covid-19
Muhdi menuturkan, dalam menyelenggarakan layanan perkawinan, pihaknya mengacu Surat Edaran (SE) Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama terkait pedoman pelayanan nikah pada masa pandemi Covid-19. Pihaknya juga mengingatkan kepada keluarga untuk menerapkan protokol kesehatan.
Dalam SE disebutkan, prosesi akad nikah yang dilaksanakan di KUA atau di rumah diikuti sebanyak-banyaknya 10 orang. Sementara akad nikah di masjid atau tempat pertemuan diikuti 20 persen kapasitas ruangan dengan maksimal dihadiri 30 orang.
Di sisi lain, pada pembatasan kegiatan masyarakat (PKM) Kota Semarang tahap III, 8-21 Juni 2020, diatur bahwa pernikahan boleh dilaksanakan dengan dihadiri maksimal 30 orang. Pada PKM tahap IV, 22 Juni hingga 5 Juli 2020, Pemkot Semarang melonggarkan menjadi maksimal 50 orang.
Atas kejadian itu, Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang Abdul Hakam mengatakan telah berkomunikasi dengan pihak Kantor Kemenag Kota Semarang. Menurut Hakam, petugas lebih baik tak menikahkan jika situasi di tempat akad nikah tak sesuai ketentuan.
Petugas lebih baik tak menikahkan jika situasi di tempat akad nikah tak sesuai ketentuan.
Dosen antropologi sosial Universitas Diponegoro, Ahmad Khairudin, berpendapat, munculnya penularan Covid-19 dari sejumlah tradisi dalam kehidupan, termasuk perkawinan, menjadi sebuah dilema, apalagi jika dikaitkan dengan sistem kekerabatan sosial masyarakat Indonesia terutama di Jawa. Belum lagi berita simpang-siur dan hoaks soal Covid-19 yang sering kali membuat masyarakat membandel.
”Pesta pernikahan memang salah satu siklus hidup di mana di berbagai kebudayaan dunia secara umum diupacarakan. Ritual itu adalah bagian dari inisiasi pada fase berikutnya, anak ke remaja, remaja ke dewasa, dan seterusnya. Karena itu bagian dari siklus hidup, orang pasti berkait dengan jaringan sosial dan kekerabatan,” ujarnya.
Menurut Khairudin, tidak jarang pesta pernikahan juga menjadi simbol status sosial sehingga pada keluarga yang mampu dirayakan secara besar-besaran. Ini menjadi hal rumit di tengah pandemi Covid-19 saat kerumunan manusia menjadi salah satu potensi penularan.
”Pembatasan tamu mungkin akan sulit, tetapi jika sama-sama teredukasi bisa saja dialihkan menjadi sistem giliran,” ujarnya.
Meski demikian, Khairudin mengakui, praktiknya tentu sulit jika hanya mengandalkan pengawasan aparatur birokrasi. Kesepakatan warga dan pelibatan para tetangga dalam mendisiplinkan protokol kesehatan mesti didorong sehingga ada saling kontrol.
Pernikahan juga menjadi simbol status sosial sehingga kadang dirayakan besar-besaran. Ini menjadi hal rumit di tengah pandemi saat kerumunan manusia salah satu potensi penularan.
Peningkatan kasus
Saat ini, jumlah kasus positif Covid-19 di Kota Semarang terus melonjak. Menurut data laman Siaga Corona Kota Semarang, Selasa (23/6) malam, terdapat 1.227 kasus positif kumulatif, dengan rincian 595 orang dirawat, 517 orang sembuh, dan 115 orang meninggal.
Sepekan terakhir, jumlah kasus positif dirawat juga bertambah signifikan, dari 291 orang pada 18 Juni menjadi 595 orang pada 23 Juni. Sebelumnya, tambahan kasus, antara lain, terjadi pada pedagang pasar tradisional, ASN Pemkot Semarang, dan tenaga kesehatan.
Baca juga : Cinta Sejati di Tengah Wabah Covid-19
Hakam mengklaim, penambahan kasus disebabkan pihaknya secara aktif melacak orang-orang yang berkontak erat dengan pasien positif. Hingga Senin (22/6) telah dilakukan sebanyak 27.000 tes usap (swab) dan 20.000 tes cepat di Kota Semarang.
Meski demikian, mulai Senin (22/6), Pemkot Semarang memberlakukan PKM tahap IV dengan kembali melonggarkan sejumlah ketentuan. Selain menambah batas tamu pernikahan, jam operasi unit usaha juga diperpanjang dari sebelumnya hingga pukul 21.00 menjadi pukul 22.00. Selain itu sejumlah tempat wisata juga boleh dibuka. Meski demikian, pembukaan tempat wisata harus seizin Dinas Kebudayaan dan Pariwisata setempat dan mengacu protokol kesehatan.
Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi menuturkan, Pemkot Semarang bersama TNI-Polri akan terus menggecarkan patroli. Berkaca dari tiga bulan penanganan Covid-19, pihaknya akan terus menyadarkan masyarakat agar menerapkan SOP kesehatan.
”Jangan karena merasa masih muda dan kuat lalu di mana-mana nongkrong. Tidak. Hal-hal seperti itu yang saat ini jadi sasaran tim patroli. Di mana-mana memakai SOP kesehatan. Selain itu, strategi tes cepat dan swab secara masih terus kami lakukan setiap hari,” kata Hendrar.
Baca juga : Warga Belum Disiplin, PKM di Kota Semarang Diperpanjang
Guru Besar Ilmu Kesehatan Masyarakat pada Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Anies membenarkan, penambahan kasus positif Covid-19 karena semakin masifnya tes usap. Namun, dengan terus bertambahnya kasus, virus korona baru terbukti masih ada dan banyak beredar di masyarakat.
Sementara terkait kedisiplinan masyarakat, ia menilai masih buruk. ”Contohnya masih terlihat di jalan-jalan orang yang tak menggunakan masker atau tidak menggunakannya dengan benar. Apalagi, jika hal seperti itu ditemukan di acara-acara seperti pernikahan,” katanya.
Menurut dia, meski belum optimal, pemerintah daerah sudah tampak menyosialisasikan protokol kesehatan kepada masyarakat. ”Namun, ini perlu digencarkan lagi hingga tingkat terkecil dalam masyarakat. Sejauh ini (sosialisasi) belum memuaskan,” lanjutnya.
Kecenderungan orang berkumpul, terutama dalam upacara-upacara besar kehidupan, seperti perkawinan, memang merupakan kebutuhan alamiah manusia. Namun, pada masa pandemi yang belum berakhir, semua pihak mesti mengesampingkan ego untuk patuh pada protokol kesehatan. Jangan sampai perkawinan justru membubuhkan noktah merah, duka mendalam.