Ridwan Kamil: Pertanian Jadi Sektor Unggulan Jabar di Masa Depan
Tak ada satupun sektor yang luput dari dampak pandemi Covid-19 di Jawa Barat, termasuk pertanian. Ketangguhan dalam berinovasi dan memanfaatkan teknologi digital menjadikannya mampu bertahan.
Oleh
MELATI MEWANGI
·3 menit baca
PURWAKARTA, KOMPAS — Tak ada satu pun sektor yang luput dari dampak pandemi Covid-19 di Jawa Barat, termasuk pertanian. Ketangguhan dalam berinovasi dan memanfaatkan teknologi digital menjadikannya mampu bertahan. Sektor itu diperkirakan menjadi sektor unggulan Jabar kelak.
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengatakan, sektor pertanian terkena dampak paling kecil dibandingkan sektor lainnya selama pandemi. Persentase pertumbuhan ekonomi sektor ini menurun hanya 0,9 persen dari semula 4,1 persen. Pada sektor manufaktur dan jasa terjadi penurunan mencapai lebih dari 4 persen.
Kebutuhan pangan sampai kapan pun tetap akan diburu semua orang. ”Pertanian menjadi begitu luar biasa karena penjualannya meningkat selama Covid-19. Bisnis sektor ini sangat tangguh terhadap Covid-19,” ujar Kamil dalam seminar daring MarkPlus Government Roundtable bertajuk ”Jabar: Destinasi Investasi Prioritas Indonesia di Era Covid-19”, Kamis (25/6/2020).
Pelaku usaha pertanian bisa beradaptasi cepat dengan membaca kebutuhan masyarakat luas. Kamil mencontohkan, ada sebuah kampung di Jabar yang mengelola hasil pertanian warganya untuk dipasarkan secara daring selama pandemi.
Penjualannya meningkat hingga tiga kali lipat. Pemasaran dengan metode ini memudahkan pembeli dan menguntungkan karena penjual tidak lagi lewat tengkulak, tetapi langsung kepada konsumen.
Mereka yang terhubung dengan ekosistem digital berpotensi lebih baik dalam mengembangkan usahanya. Kamil optimistis pertanian yang dipadukan dengan transformasi digital bakal menjadi salah satu sektor unggulan Jabar di masa depan. Sektor unggulan lainnya di Jabar adalah industri dan wisata.
Pada awal pandemi, pasokan petani ke pasar induk berkurang berkisar 30-50 persen. Banyak orang enggan untuk ke pasar karena takut tertular Covid-19. Padahal, pertumbuhan sayur dan buah tak bisa dihentikan. Semua produk akan dipanen tak lama lagi.
Pendistribusian sayur ini lebih menguntungkan dibandingkan dijual ke pasar. Harga yang ditawarkan pun cukup tinggi, berbeda jika melalui tengkulak. Metode penjualan ini diharapkan dapat tetap berlangsung meski pandemi telah berakhir.
Kondisi tersebut melahirkan inovasi untuk memasarkannya secara digital. Petani hortikultura asal Purwakarta, Jabar, Ananda Dwi Septian (25), misalnya, Bersama 35 petani lainnya menjual sayur panenan kepada konsumen dengan sistem pengantaran langsung.
Usaha itu dirintis pada 25 Maret 2020. Kini, pelanggannya semakin meningkat. Dalam sehari, rata-rata 50-100 pak kemasan sayur laku terjual. Paket sayur siap masak, seperti sayur asem, lodeh, sup, dan capcai, pun dikemas apik. Harga yang ditawarkan Rp 5.000-Rp 10.000 per paket. Hampir dua bulan lamanya ia mencoba cara pemasaran ini.
“Pendistribusian sayur ini lebih menguntungkan dibandingkan dijual ke pasar. Harga yang ditawarkan cukup tinggi, berbeda jika melalui tengkulak. Metode penjualan ini diharapkan dapat tetap berlangsung meski pandemi telah berakhir,” kata Ananda.
Hal serupa juga dilakukan Dasep Badrusalam (33) di Garut, Jabar. Ia mendirikan Garut Fresh, untuk memasarkan produk sayuran dan buah segar dari kebun milik orangtua dan tetangganya. Sayuran dapat dipesan lewat telepon atau WhatsApp. Keesokan harinya, produk petani langsung diantar ke rumah konsumen tanpa biaya tambahan.
Dalam sehari, setidaknya ia mampu mengantongi Rp 2-3 juta dari berjualan sayur dan buah daring. Saat kondisi normal nanti, ia tetap akan menjalankan bisnis kedai teh dan berjualan sayur secara bersamaan.