Penegakan Hukum Sektor SDA di Kalsel Belum Optimal
Penegakan hukum di sektor sumber daya alam di Kalimantan Selatan, khususnya terkait pertanggungjawaban korporasi, masih belum optimal. Kendati tren penindakan meningkat, hukuman yang diberikan belum memberikan efek jera.
Oleh
JUMARTO YULIANUS
·3 menit baca
BANJARMASIN, KOMPAS — Penegakan hukum pada sektor sumber daya alam di Kalimantan Selatan, khususnya terkait pertanggungjawaban korporasi, masih belum optimal. Kendati tren penindakannya meningkat, hukuman yang diberikan belum memberikan efek jera yang cukup. Bahkan, beberapa kasus yang melibatkan korporasi tak kunjung ditindaklanjuti.
Sorotan pada penegakan hukum sektor sumber daya alam (SDA) di Kalimantan Selatan itu mengemuka dalam diskusi publik dengan tema ”Pertanggungjawaban Korporasi Sumber Daya Alam di Kalimantan Selatan”. Diskusi diselenggarakan oleh Yayasan Auriga Nusantara bersama Pusat Edukasi Antikorupsi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara daring (webinar), Kamis (25/6/2020).
Kepala Satuan Tugas (Satgas) Pembelajaran Eksternal Pusat Edukasi Antikorupsi KPK Tomi Murtomo mengatakan, kasus pemidanaan korporasi di Indonesia sudah terjadi pada 2010. Pertanggungjawaban korporasi itu kemudian menjadi pusat perhatian sejak keluar Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi.
Kasus pertama pemidanaan korporasi terjadi di Kalsel. Adanya korporasi yang menjadi subyek hukum tindak pidana diharapkan lebih memberikan efek jera. Penerapan sanksi berupa denda juga bisa dianggap sebagai pascapemulihan dari biaya sosial yang timbul dari tindak pidana korporasi.
”Namun, penegakan hukum di sektor SDA, khususnya terkait pertanggungjawaban korporasi ini belum efektif meskipun trennya meningkat,” kata Tomi.
Hal yang menjadi catatan, menurut Tomi, hukuman yang diberikan belum memberikan efek jera yang cukup. Denda yang diberikan juga belum menutup biaya sosial dari tindak pidana yang dilakukan,” kata Tomi.
Khusus untuk kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) saja, KPK mencatat ada tren peningkatan penindakan di Kalsel dalam sepuluh tahun terakhir. Pada 2009, ada 34 kasus karhutla yang ditangani. Selanjutnya pada 2018 meningkat menjadi 527 kasus.
”Kami menganggap bahwa kurang efektifnya penegakan hukum itu kemungkinan lebih dari sisi kapasitas aparat penegak hukumnya. Untuk itu, kapasitas seluruh aparat penegak hukum memang perlu ditingkatkan,” ujarnya.
Selain peningkatan kapasitas para penegak hukum, menurut Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jentera Yunus Husein, perlu dukungan ahli atau kampus di berbagai bidang untuk membuktikan adanya tindak pidana yang dilakukan korporasi. ”Kampus harus punya keberpihakan. Jangan berpendapat tergantung pendapatan,” katanya.
Kampus harus punya keberpihakan. Jangan berpendapat tergantung pendapatan.
Guru Besar Hukum dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Abdul Halim Barkatullah mengatakan, perlu juga ada sinkronisasi di antara semua aparat penegak hukum dalam menuntut korporasi untuk bertanggung jawab atas kegiatan usahanya yang merusak lingkungan dan menimbulkan kerugian negara.
”Sementara ini, kewenangan di antara kepolisian, kejaksaan, dan KPK itu berbeda-beda. Harusnya, kalau bicara SDA, kewenangan institusi tersebut saling berkaitan. Untuk itu, koordinasi antarlembaga sangat penting guna menyamakan tujuan penegakan hukum SDA,” katanya.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalsel Kisworo Dwi Cahyono mengatakan, Kalsel sudah darurat ruang dan bencana ekologis. Dari 3,7 juta hektar (ha) luas wilayah Kalsel, separuhnya sudah dibebani dengan perizinan tambang (33 persen) dan perkebunan kelapa sawit (17 persen).
Kondisi itu menimbulkan sejumlah dampak, seperti banjir, karhutla, konflik agraria akibat hilangnya desa dan ruang hidup rakyat, pencemaran sungai, korban tewas di lubang tambang, dan kriminalisasi terhadap masyarakat. ”Meskipun Kalsel dikenal sebagai lumbung energi, masyarakatnya masih kerap mengalami pemadaman listrik,” katanya.
Pengajar Fakultas Hukum ULM yang juga Ketua Pusat Kajian Antikorupsi dan Good Governance ULM Ahmad Fikri Hadin mengatakan, penegakan hukum terhadap korporasi yang belum optimal itu juga tak lepas dari kehidupan sosial masyarakat di Kalsel. Selama ini, masyarakat belum satu visi dan pemahaman dalam memandang tindakan korporasi yang merusak lingkungan.
Dari sisi sosiologis, orang Dayak dan orang Banjar sering berselisih di antara mereka sendiri karena korporasi memainkan politik divide et impera atau adu domba. Satu atau beberapa orang lokal sengaja dijadikan pimpinan untuk melawan masyarakatnya sendiri. ”Masyarakat juga perlu diberdayakan agar tetap bisa menjalankan fungsi kontrol,” katanya.