Hilirisasi komoditas karet di Sumsel mendesak dilakukan menyusul makin terpuruknya harga karet petani akibat ekspor yang turun selama pandemi korona. Sebanyak 99 persen produk karet Sumsel diekspor.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·5 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Hilirisasi komoditas karet mendesak dilakukan menyusul terpuruknya harga karet akibat turunnya ekspor selama pandemi Covid-19. Dari 800.000 ton karet yang dihasilkan di Sumatera Selatan per tahun, sekitar 99 persen di antaranya untuk pasar ekspor.
Ketua Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Sumsel Alex K Eddy, Kamis (25/6/2020), mengatakan, ada beberapa negara yang sudah membuka kembali keran ekspor, seperti China, Amerika Serikat, dan beberapa negara Eropa. Hanya saja, jumlahnya belum signifikan. ”Perekonomian di negara tersebut belum sepenuhnya pulih,” ucapnya.
Berdasarkan data Gapkindo Sumsel pada Februari, ekpor karet di Sumsel mencapai 79.471 ton, Maret 70.416 ton, April 63.859 ton, dan Mei yang hanya 48.295 ton. Harga karet pun masih di kisaran 1 dollar AS-1,1 dollar AS per kilogram. ”Selama tiga bulan terakhir, harga karet tak jauh dari kisaran angka itu,” ucapnya.
Alex tidak bisa menduga kapan harga karet akan membaik. ”Kalaupun Covid-19 sudah mereda pada tiga bulan ke depan, tetap butuh waktu untuk memulihkan perekonomian sebuah negara,” ucap Alex.
Irwanto (30), seorang petani karet dari Kecamatan Payaraman, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan, mengatakan, harga karet di tingkat petani sekitar Rp 6.000-Rp 6.500 per kg. Angka ini turun dibandingkan dengan tahun lalu saat harga karet pernah menyentuh angka Rp 9.000 per kg. ”Namun, tetap saja, harga karet saat ini tidak sebanding dengan kebutuhan petani. Harga yang paling ideal sekitar Rp 10.000-Rp 13.000 per kg,” ucap Irwanto.
Akibatnya, sejak akhir Mei, banyak petani karet beralih pekerjaan menjadi buruh pemotong tebu di lahan sebuah perusahaan BUMN, yang sedang memasuki masa panen. Penghasilan yang didapat jauh lebih baik dibandingkan dengan menyadap karet.
Irwanto menjelaskan, ketika petani menjadi buruh panen tebu, mereka bisa mendapatkan Rp 600.000 per minggu. Ketika menyadap karet, petani hanya mendapat Rp 200.000-Rp 300.000 per minggu. Jangka waktu panen tebu sendiri akan berlangsung hingga November 2020. Dirinya berharap, ketika waktu panen tebu berakhir, harga karet sudah kembali membaik.
Kepala Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Dinas Perkebunan Sumatera Selatan Rudi Arpian mengatakan, harga karet lelang di tingkat Unit Pengolahan dan Pemasaran Bokar (UPPB) per Juni di kisaran Rp 6.500- Rp 7.000. Harga itu sedikit lebih baik dibandingkan dengan Mei yang berada di kisaran Rp 6.000 sampai Rp 6.500 per kg.
”Harga di lelang saja sudah rendah, apalagi di petani mandiri. Kemungkinan harga karet bisa lebih anjlok lagi dengan selisih mencapai Rp 2.000 per kg (dari harga lelang),” katanya.
Hanya saja, jumlah petani yang bergabung ke UPPB masih minim. Saat ini, jumlah UPPB di Sumsel mencapai 241 unit. Memang, bertambah dibandingkan dengan tahun lalu yang berjumlah 217 unit, tetapi UPPB tersebut hanya menampung sekitar 10 persen dari total petani yang ada di Sumsel, yakni sekitar 576.000 kepala keluarga.
Rudi menerangkan, harga karet tidak sebanding dengan biaya produksi yang harus dikeluarkan petani. Sebagai ilustrasi, rata-rata kepemilikan lahan produktif petani karet di Sumsel seluas 1,43 hektar per keluarga. Jika hasil produksi per hektar hanya 227 kilogram per bulan, dengan harga karet Rp 6.000 per kg, penghasilan kotor yang diterima petani sekitar Rp 1.947.660 per bulan.
Sementara upah sadap dan pupuk sekitar Rp 1.000.950 per hektar. Alhasil, pendapatan bersih petani hanya sekitar Rp 497.660, sangat jauh dari cukup dibandingkan dengan upah minimum Provinsi Sumatera Selatan tahun 2020, yakni Rp 3.043.111.
Padahal, dari sekitar 8 juta warga Sumsel, sekitar 30 persen di antaranya menggantungkan hidupnya dari komoditas karet alam. ”Kebanyakan karet di Sumsel diserap oleh Jepang, Amerika Serikat, Singapura, China, dan Malaysia. Ketika negara itu mengurangi permintaan akibat pandemi, harga karet di Sumsel pun turun tajam,” ucapnya.
Untuk itu, ujar Rudi, yang paling utama saat ini adalah meningkatkan penyerapan domestik. Salah satu caranya dengan hilirisasi. Saat ini, sudah ada tim yang akan dibentuk untuk mencari pasar agar hasil petani dapat digunakan untuk produk dalam negeri.
Rudi memaparkan, Balai Riset dan Standardisasi Industri Palembang dan Pusat Penelitian Karet Sembawa Sumatera Selatan sudah memiliki teknologinya, tinggal bagaimana meningkatkan pasar agar produk karet milik petani bisa diserap. ”Sebagai langkah awal, kami akan mencari pasar, dimulai dari industri kecil dan menengah,” ucapnya.
Agar hasil petani dapat digunakan untuk produk dalam negeri.
Kepala Biro Perekonomian Provinsi Sumsel Afrian Joni mengatakan, pihaknya akan menyasar industri kecil menengah untuk memproduksi produk karet. Beberapa daerah telah berjalan, seperti di Muara Enim, Banyuasin, dan Musi Banyuasin. ”Namun, industri ini memang masih berupaya bangkit untuk bertahan dalam situasi pandemi,” katanya.
Afrian mengakui, untuk menggaet industri besar, perlu waktu. Saat ini, pemerintah kesulitan merangkul investor besar karena mereka terbentur sejumlah kendala. Kendala itu berkaitan dengan infrastruktur dan insentif. Mengatasi permasalahan ini, ujar Afrian, dalam waktu dekat pemerintah akan membuat peraturan daerah (perda) yang akan mempermudah investasi.
Di sisi lain, ujar Afrian, pemerintah juga tengah membuat perda sebagai payung hukum pembentukan badan usaha milik daerah (BUMD) agro. BUMD ini bisa menyerap langsung karet dari petani atau menjadi penghubung antara petani dan perusahaan. Perda ini sendiri sudah dirancang dan akan disahkan pada 2021.
Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sumatera Selatan Harry Widodo mengungkapkan, target dalam jangka pendek yang akan dilakukan adalah mencari produk yang dapat dikembangkan di Sumsel, termasuk mencari peluang pasar yang ada. ”Jika ini sudah berhasil, tahap selanjutnya baru beranjak ke industri yang lebih besar,” ucapnya.
Berdasarkan hasil pertemuan dengan sejumlah pemangku kepentingan, produk karet di Sumsel bisa digunakan untuk sarung tangan, karet gelang, dan kebutuhan medis.
Adapun untuk menuju ke industri yang besar butuh persiapan yang lebih matang, mulai dari regulasi hingga infrastruktur. ”Jika infrastruktur tidak memadai, tentu ongkos produksi akan lebih mahal. Hal ini tentu akan menjadi pertimbangan bagi para investor,” ucapnya.