Ancaman Belum Usai, Normal Baru Mesti Dibarengi Protokol Kesehatan Ketat
Warga Kota Yogyakarta diminta terus menerapkan dan mematuhi protokol kesehatan, seperti jaga jarak, cuci tangan, serta mengenakan masker di tengah upaya menuju normal baru. Jangan terlena seolah pandemi telah selesai.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·5 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Warga Kota Yogyakarta diminta terus menerapkan dan mematuhi protokol kesehatan, seperti jaga jarak, cuci tangan, hingga mengenakan masker di tengah upaya menuju normal baru. Kondisi normal baru hendaknya dipahami sebagai suatu keadaan yang mengedepankan protokol kesehatan. Jangan terlena seolah pandemi Covid-19 telah berakhir.
”Jangan merasa bahwa ancaman Covid-19 sudah tidak ada. Jangan menganggap kita saat ini sudah bisa beraktivitas seperti seolah-olah sudah melewati ancaman Covid-19. Semua harus tetap waspada. Semua harus ikut menjaga agar protokol Covid-19 dijalankan semua dengan disiplin,” kata Wakil Wali Kota Yogyakarta Heroe Poerwadi di Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Rabu (24/6/2020).
Heroe menginginkan segenap warga bekerja sama memutus angka penyebaran lewat kepatuhan terhadap protokol kesehatan itu. Diharapkan kepatuhan masyarakat berimbas dengan rendahnya kasus positif Covid-19 di daerah tersebut.
Selanjutnya, Heroe menjelaskan, hingga Rabu sore terdapat sembilan orang pasien positif dari Kota Yogyakarta yang masih menjalani perawatan di rumah sakit rujukan. Selain itu, juga masih ada 53 pasien berstatus orang dalam pemantauan (ODP) dan enam pasien dalam pengawasan (PDP) yang juga masih dirawat di rumah sakit rujukan.
”Yang harus diwaspadai, sebagian besar kasusnya dari singgungan luar kota. Padahal, nanti akan ada wisatawan datang, mahasiswa datang. Protokol kesehatan harus diterapkan secara disiplin. Khususnya di tempat-tempat yang menjadi titik keramaian,” ujar Heroe.
Tidak hanya ramai pengendara kendaraan bermotor, tetapi juga para pesepeda. Para pesepeda pun kerap berkerumun sewaktu beristirahat di tengah perjalanannya.
Penerapan protokol kesehatan secara ketat menjadi penting mengingat beberapa pekan terakhir jalan raya kembali ramai di Kota Yogyakarta. Tidak hanya ramai pengendara kendaraan bermotor, tetapi juga para pesepeda. Para pesepeda pun kerap berkerumun sewaktu beristirahat di tengah perjalanannya.
Kawasan Malioboro, Tugu Kota Yogyakarta, hingga Titik Nol KM Yogyakarta, menjadi salah satu destinasi favorit para pesepeda. Biasanya, kawasan itu akan ramai setiap pagi dan sore. Namun, ada pula pesepeda yang sekadar melintas tanpa berhenti dulu di kawasan tersebut.
Sejak dua pekan lalu, petugas dari satuan polisi pamong praja disiagakan lebih lama di kawasan tersebut. Mereka bertugas mengingatkan pesepeda yang beristirahat secara berkerumun ataupun warga yang tak bermasker di daerah tersebut.
Kepala Satuan Polisi Pamong Praja DIY Noviar Rahmad menyampaikan, sejak 30 Mei terdapat 510 kerumunan yang ditertibkan di kawasan tersebut. Sebagian kerumunan terdiri dari pesepeda. Rata-rata satu kerumunan berjumlah 10 orang. ”Ada tiga sif kami berjaga. Pukul 10.00 hingga 14.00, pukul 14.00 hingga 18.00, dan pukul 19.30 hingga 23.30,” kata Noviar.
Ia mengungkapkan, terkait pengenaan masker, sekitar 90 persen warga yang beraktivitas di kawasan Malioboro memang terpantau sudah mengenakannya. Namun, masih ada sebagian kecil warga yang didapati tidak bermasker. Warga yang tak mengenakan masker akan diberi masker oleh petugas.
Sementara itu, Heroe menuturkan, pengaturan juga sudah dilakukan di kawasan Malioboro. Area pedestrian dibuat jalan searah agar bisa diterapkan pembatasan fisik. Pihaknya juga memasang QR Code yang harus dipindai lewat ponsel pengunjung guna melakukan pendataan dan pemantauan.
Pasar tradisional yang berada di Kota Yogyakarta masih beroperasi selama pandemi. Pasar beroperasi dengan sejumlah pembatasan. Misalnya, waktu operasional hanya diperbolehkan hingga pukul 12.00.
Selain itu, pengelola pasar juga diwajibkan memasang tali pembatas antara pembeli dan penjual. Tujuan pemasangan pembatasan itu agar jaga jarak fisik bisa diterapkan. Setiap orang yang beraktivitas di pasar juga harus mengenakan masker. Tanpa masker, mereka tidak diperbolehkan masuk pasar.
”Kami juga sedang berkoordinasi dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Yogyakarta agar nanti ada petugas yang berjaga. Jadi, selalu dilakukan monitoring terhadap pengunjung pasar yang hilir mudik. Ke depan, kami dorong pedagang juga mengenakan face shield agar kita semua aman,” kata Heroe.
Endang Mulyani (55), warga Kecamatan Danurejan, menyampaikan, selama ini masih berbelanja langsung di pasar selama pandemi. Ia bersiasat mendatangi pasar di waktu-waktu sepi agar bisa menerapkan jaga jarak fisik. Selain itu, masker dan sarung tangan juga perlengkapan wajib yang dibawanya setiap beraktivitas di luar.
”Saya cari waktu-waktu yang lengang kalau mau ke pasar. Kalau tidak pagi sekali, ya siang saja sekalian. Jadi kondisi pasar agak lengang. Sebisa mungkin saya jaga diri sendiri. Belanja juga seperlunya saja. Tidak banyak kontak di pasar,” kata Endang.
Normal baru disamakan dengan situasi normal sebelumnya. Padahal, keduanya sama sekali berbeda.
Sementara itu, Komandan Satuan Tugas Penanggulangan Covid-19 UGM Rustamadji menyampaikan, pihaknya tak memungkiri masih ada kalangan masyarakat yang memahami istilah normal baru. Normal baru disamakan dengan situasi normal sebelumnya. Padahal, keduanya sama sekali berbeda.
”Dalam normal baru ini ada protokol kesehatan yang harus diterapkan. Jaga jarak fisik, mengenakan masker, hingga cuci tangan serta pola hidup bersih dan sehat,” kata Rustamadji.
Ia menambahkan, kewaspadaan masyarakat atas kondisi penularan masih sangat diperlukan untuk menghindari penularan tersebut. Sebab, potensi penularan itu masih terjadi. Pencegahan hendaknya dikedepankan agar rumah sakit tidak memusatkan perhatian terhadap Covid-19, tetapi masih juga memberikan pelayanan kesehatan bagi pasien-pasien dengan masalah kesehatan lainnya.
”Jangan sampai penyakit lain terabaikan karena fokus pada ini. Padahal, sebenarnya Covid-19 bisa dicegah dengan menerapkan protokol kesehatan itu,” kata Rustamadji.
Dihubungi terpisah, Riris Andono Ahmad, ahli epidemiologi Universitas Gadjah Mada, mengatakan, tanpa pembatasan sosial, risiko yang paling tampak adalah peningkatan kecepatan penularan. Untuk itu, jaga jarak fisik dan protokol kesehatan ketat harus selalu diingatkan kepada masyarakat. Hendaknya normal baru ini tidak salah dipahami.
”Peningkatan bisa cukup cepat tanpa social distancing. Ini harus terus diingatkan untuk menerapkan social distancing. Edukasi perlu dilakukan secara lebih intens,” kata Doni, sapaan akrab Riris.