Warga Di-”lockdown”, Pekerja Asing Di-”download”
Keresahan mahasiswa, warga, hingga emak-emak di Sultra terus memuncak. Pemerintah menyetujui kedatangan 500 pekerja China ke Bumi Anoa di tengah pandemi Covid-19. Di sini, isu kesehatan dan ekonomi saling berkelindan.
Keresahan mahasiswa, warga, hingga emak-emak di Sulawesi Tenggara memuncak. Alasannya, pemerintah pusat juga provinsi menyetujui kedatangan 500 pekerja China ke ”Bumi Anoa” meski di tengah pandemi Covid-19. Belum selesai persoalan kesehatan, isu ekonomi kini lantas menyeruak.
”Demo saja. Saya dukung itu. Masak kondisi begini malah kasih datang orang asing. Sekarang, kan, korona di mana-mana,” kata Ati Rostiana (55), warga Konawe Selatan, Selasa (23/6/2020).
Berjarak 300 meter dari kediamannya, ratusan mahasiswa, pemuda, dan masyarakat sipil menolak kedatangan 500 tenaga kerja asing (TKA) asal China. Massa berkumpul di simpang Bandara Haluoleo, berorasi, hingga memblokade jalan sembari menunggu kedatangan gelombang pertama pekerja China yang diperkirakan tiba sore itu.
Ati bingung dengan kebijakan pemerintah mendatangkan pekerja asing karena kini sedang terjadi pandemi. Banyak orang, termasuk dirinya, sedang menjaga diri agar tidak terkena virus yang belum ada obatnya itu.
”Kita ini sudah disuruh tinggal di rumah, nda ke mana-mana. Ini saja jualan saya baru buka kurang dari seminggu. Tapi kenapa yang orang luar bebas datang?” kata Ati sembari memperbaiki masker kain di mulutnya.
Belum lagi, ucap ibu tiga anak ini, kini bukan hal mudah bagi warga lokal untuk mendapat pekerjaan. Salah seorang anaknya, yang bekerja menjadi petugas kargo bandara, dirumahkan sebulan lalu. Semuanya, kata Ati, kontras dengan orang asing datang bekerja di Sultra.
Kekesalan Ati senada dengan orasi yang digaungkan peserta aksi dari siang hingga sore hari. Mereka bergantian memberikan orasi, menggaungkan penolakan kedatangan para pekerja asing.
”Kita semua sudah dibatasi pergerakan karena penyebaran virus. Dilarang keluar. Dilarang mudik. Kami mengerti akan hal itu,” kata Benny Putra Manggala, koordinator aksi dari Institut Agama Islam Negeri Kendari.
Akan tetapi, Benny tidak mengerti saat pekerja asing dari China justru diberi izin datang lantas bekerja. ”Hal itu sama halnya warga sudah di-lockdown, tetapi pekerja asing malah di-download,” katanya.
Benny dan rekan-rekan menuntut kedatangan tenaga kerja asing itu ditunda. Sebab, Sultra, Indonesia, bahkan global masih dalam pandemi Covid-19. Banyak persoalan di perusahaan yang belum juga terselesaikan.
Salah satu yang paling mutakhir adalah kedatangan 49 pekerja asal China juga dilakukan oleh perusahaan yang sama ke Sultra pada Maret lalu. Para pekerja ini datang dengan visa kunjungan, bukan visa kerja. Dengan visa kunjungan, berarti ada pelanggaran aturan, yaitu Pasal 122 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.
Baca juga : Gelombang Penolakan Pekerja China di Sultra Meluas
”Pasalnya jelas, itu pidana lima tahun penjara dan denda Rp 500 juta. Tetapi apa yang terjadi? Tidak ada tindakan apa-apa,” katanya.
Oleh karena itu, tambah Benny, pihaknya menyarankan kedatangan tenaga kerja asing ditunda dahulu. ”Kami tidak anti-investasi. Tetapi, perbaiki dulu semua kesalahan yang terjadi,” ujarnya.
Kedatangan TKA China kali akan berlangsung dalam tiga gelombang selama tiga pekan. Gelombang pertama, sebanyak 156 orang telah tiba pada Selasa malam. Selanjutnya pada Selasa (30/6/2020) dan Selasa (7/7/2020). Total, ada 500 pekerja diajukan PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) dan PT Obsidian Stainless Steel (OSS). Dua perusahaan asing ini berkantor di kawasan mega-industri di Morosi, Konawe.
Pada Selasa pukul 20.30, sebanyak 156 pekerja tiba di Bandara Haluoleo, Kendari. Memakai pesawat carter dari Manado, mereka tiba di Sultra. Belasan kendaraan komersial digunakan untuk mengantar mereka ke lokasi perusahaan di Morosi, sekitar 2,5 jam dari bandara. Mereka rencananya akan menjalani karantina di lokasi perusahaan.
Kami tidak anti-investasi. Tetapi, perbaiki dulu semua kesalahan yang terjadi.
Aparat keamanan di luar dan di dalam bandara berjaga dengan ketat. Alasannya, massa dan warga masih bersiaga di simpang bandara. Sembari membakar ban dan berorasi, mereka juga merazia setiap kendaraan yang keluar dari bandara.
Persoalan kompleks
Salah seorang yang hadir di bandara adalah Ketua DPRD Sultra Abdul Rahman Saleh. Ia telah menunggu sejak sore untuk memantau dan mengecek kedatangan 156 pekerja China ini. Ketika para pekerja datang, dia memeriksa beberapa sampel visa para pekerja. Rahman ingin memastikan apakah pekerja ini benar memakai visa pekerja, yaitu visa 312.
Menurut Rahman, dirinya juga masih meminta data lengkap tentang keahlian yang dimiliki para pekerja ini. Hal tersebut penting untuk mengetahui jenis keahlian yang dimiliki sesuai dengan kategori yang ada. ”Jadi, ini belum tuntas karena masih ada tahapan yang harus dilewati. Belum lagi berbagai hal yang harus ditelaah dari persoalan yang terjadi di perusahaan,” ujarnya.
Rahman melanjutkan, visa kerja yang digunakan 156 orang ini tetap akan dievaluasi, apakah sesuai aturan atau tidak. Audit keahlian, mulai dari sertifikasi hingga uji petik lapangan, akan dilakukan untuk memastikan keahlian para pekerja asing tersebut.
”Karena kita punya pengalaman, 49 TKA China yang datang Maret lalu di PT Virtue Dragon Nickel Industry dan PT Obsidian Stainless Steel awalnya memakai visa kunjungan. Baru ketika tiba, mereka memakai visa 312, yaitu tenaga ahli. Namun, saya dapat info lagi, ada yang bukan tenaga ahli, tetapi helper atau kerja-kerja biasa,” tutur Rahman.
Baca juga : 156 Pekerja Asal China Tiba di Sultra, Massa Razia Kendaraan
Dengan memakai visa kunjungan, menurut Rahman, ada banyak kerugian yang dialami negara. Para pekerja tidak membayar dana kompensasi penggunaan TKA sebesar 100 dollar AS per orang per bulan. Selain itu, ada potongan pajak penghasilan yang hilang sebesar 20 persen setiap orang.
”Bisa dibayangkan kalau datang 1.000 pekerja, tetapi hanya pakai visa kunjungan. Dengan rata-rata gaji 1.500 dollar AS per orang, dalam sebulan, ada potensi sekitar Rp 9 miliar yang hilang. Di sisi lain, pekerja yang tidak pakai visa kerja itu bisa dipidana lima tahun dan denda Rp 500 juta,” katanya.
Oleh karena itu, Rahman menambahkan, pihaknya akan membentuk tim terpadu untuk mengevaluasi total permasalahan tenaga kerja asing di PT VDNI dan PT OSS. Selain visa TKA, juga akan ada evaluasi keberadaan tenaga kerja lokal yang tidak seimbang. Selama ini, banyak ketidaksesuaian yang terjadi di perusahaan.
”Kami hanya minta perusahaan mengikuti aturan yang berlaku. Kalau nanti dalam evaluasi ada visa yang tidak sesuai, kami minta pekerja tersebut segera dideportasi,” ucapnya.
Indrayanto, External Affairs Manager PT VDNI dan PT OSS, pada Rabu (24/6/2020) menyampaikan, 156 pekerja itu langsung melalui protokol kesehatan dan menjalani karantina. Tim kesehatan Pemerintah Kabupaten Konawe juga berjaga di lokasi untuk proses pemeriksaan. Semua pekerja itu dipastikan menjalani karantina selama 14 hari sebelum bekerja.
Kami hanya minta perusahaan mengikuti aturan yang berlaku. Kalau nanti dalam evaluasi ada visa yang tidak sesuai, kami minta pekerja tersebut segera dideportasi.
Terkait visa kerja, Indra mengatakan, perekrutan pekerja ini telah melalui proses panjang dan bertahap. Data diri, sertifikasi, dan lainnya telah diajukan ke kementerian sebelum mendapatkan visa. ”Kalau tidak lengkap, izinnya tidak akan keluar. Jadi apa lagi yang mau dievaluasi?” katanya.
Para pekerja ini merupakan tenaga ahli pembangunan 33 smelter di dua perusahaan. Dari total 500 orang, sebanyak 200 orang akan bekerja di PT VDNI dan 300 orang di PT OSS. Mereka didatangkan karena secara teknologi, alat di smelter itu berbeda.
Hingga pertengahan Juni, tambah Indra, sebanyak 709 pekerja asing masih bekerja di dua perusahaan tersebut. Para pekerja asing ini juga didampingi pekerja lokal dalam proses di lapangan. Total pekerja lokal yang ada di dua perusahaan itu 11.000 karyawan tetap dan sekitar 20.000 pekerja kontrak.
”Kami berharap investasi tetap berjalan, baik di VDNI maupun di OSS. Kalau kami ekspor, negara akan dapat dari devisa. Seperti kita tahu, penopang devisa negara saat ini adalah ekspor,” ujarnya.
Persoalan TKA China di dua perusahaan tersebut memang kompleks yang harus ditinjau dan harus mengikuti aturan. Sebab, hal ini menyangkut penerimaan keuangan negara, kesehatan global, dan keresahan masyarakat. Sejumlah elemen masyarakat berjanji akan terus melakukan aksi sampai tuntutan mereka diterima.
Sementara itu, bagi Ati Rostiana, dia hanya bisa berharap kesehatan keluarga terjaga dan anak-anaknya tetap bisa bekerja. ”Asal keluarga saya tidak kena virus dan anak-anak saya bisa bekerja sudah cukup. Tidak perlu ada pekerja asing,” katanya.
Baca juga : Tenaga Kerja Asing di Dua Perusahaan di Sultra Akan Dievaluasi Total