Gubernur Maluku Murad Ismail kerap melontarkan pernyataan kontroversial seputar isu pandemi Covid-19. Banyak kalangan memberi reaksi kritis, tetapi muncul juga anggapan bahwa itu lahir dari spontanitas sosoknya.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·4 menit baca
Gubernur Maluku Murad Ismail kerap melontarkan pernyataan kontroversial seputar pandemi Covid-19. Banyak kalangan memberi reaksi kritis, tetapi muncul juga anggapan bahwa kontroversi itu lahir dari spontanitas yang menjadi ciri khas sosok Murad. Kedua perspektif itu saling beraduk dalam pusaran jagat maya hingga ruang perjumpaan nyata di Maluku.
Sejak virus korona penyebab Covid-19 masuk ke Tanah Air, dalam wawancara dengan sejumlah awak media di Jakarta, Murad dengan penuh percaya diri mengatakan virus tersebut tidak akan mencapai Maluku. Alasan Murad, suhu di Maluku sangat panas, di atas 39 derajat celsius, menyebabkan virus sudah mati sebelum mencapai Maluku.
Hal yang sama kembali ia ulangi dalam pertemuan terbuka dengan sejumlah pihak pada pertengahan Maret 2020. Agenda pertemuan itu membahas persiapan Maluku menghadapi Covid-19, termasuk membicarakan isu adanya seorang pasien pelaku perjalanan dari Pulau Jawa yang menderita gejala mirip Covid-19 di Ambon. Kala itu belum ada kasus Covid-19 di Maluku.
Namun, pada 22 Maret 2020, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Provinsi Maluku mengumumkan kasus pertama. Pelaku perjalanan dimaksud hasil pemeriksaannya positif. Pengumuman ini membuktikan virus korona sudah ada di Ambon. Hingga Selasa (23/6/2020), kasus positif Covid-19 di Maluku sebanyak 633 kasus.
Pada 6 April 2020, Kompas menurunkan tulisan berjudul ”Cuaca Panas Tak Bunuh Virus Korona”. Dikatakan, virus merebak di banyak wilayah, termasuk di daerah panas dan lembab, seperti Indonesia. Berjemur di sinar matahari atau pada suhu lebih dari 25 derajat celsius tak mencegah penularan virus. Namun, paparan sinar matahari bisa meningkatkan jumlah vitamin D yang berperan dalam pembentukan tulang dan menjaga kekebalan tubuh.
Belum hilang kontroversi suhu panas itu, pada awal bulan ini Murad kembali mengeluarkan pernyataan bahwa kenaikan kasus signifikan pada awal Juni disebabkan oleh musim hujan. Hal itu disampaikan Murad dalam keterangan pers di kantor gubernur. Namun, dia hanya melempar pernyataan itu tanpa menjelaskan alasannya.
Pernyataan itu pun kembali menuai kritik dari masyarakat. Pasalnya, hal itu tak sejalan dengan yang selama ini menjadi acuan umum, yakni penyebaran virus terjadi ketika orang tidak menjalankan protokol kesehatan, seperti menjaga jarak, raji mencuci tangan, dan memakai masker.
Dalam pantauan Kompas, kenaikan kasus itu terjadi juga karena pemerintah tak kunjung menerapkan pembatasan sosial berskala besar. Padahal, angka reproduksi efektif (Rt) mulai naik hingga saat ini mencapai 2,2. Artinya, satu pasien menulari 2,2 orang.
Tak berhenti di situ, Murad kembali mengeluarkan pernyataan, dirinya ”menantang” siapa saja yang mau tinggal dengan pasien Covid-19, ia akan membiayai makan dan minum orang itu. Komentar Murad saat itu menanggapi puluhan pasien yang dirawat di mes Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan Provinsi Maluku yang memaksa pulang.
Para pasien bahkan sempat membakar pos di dalam kompleks mes itu pada 12 Juni. Sebagian suara publik meminta pemerintah memulangkan mereka. Namun, Murad tidak sependapat dengan itu. Pernyataan yang terkesan menantang itu pun tentu bukan dalam artian membuat sayembara, melainkan hanya ucapan spontan retoris.
Pasalnya, aksi penolakan warga itu mengganggu kerja gugus tugas. Pasien dinyatakan sembuh dan boleh pulang jika dua kali pemeriksaan usap (swab) menunjukkan hasil negatif. Karena itu, pasien yang memaksa pulang tanpa syarat tersebut akan menyusahkan keluarga dan orang-orang di sekitarnya.
Murad sebenarnya berupaya mengingatkan publik akan bahaya virus yang merambat sangat cepat itu. Saking bersemangatnya, ia sampai mengeluarkan ”tantangan” tadi. Namun, ”tantangan” itu menjadi bola liar di media sosial. Sejumlah warganet bahkan menyatakan menerima tantangan itu.
Terakhir, Murad kembali membuat heboh saat menggelar konferensi pers di Kantor Gubernur Maluku, Senin (15/6/2020). Saat itu, dia meminta Wali Kota Ambon Richard Louhenapessy agar tidak cengeng dalam menangani Covid-19. Hal itu dilontarkan Murad menyusul pernyataan Richard sebelumnya yang menagih janji dukungan dari Murad kepada Pemerintah Kota Ambon dalam penanganan Covid-19.
Belakangan, dinamika hubungan antarkedua pemimpin daerah itu kembali mencair. Saat menjadi pembicara dalam webinar yang digelar Forum Bahasa Media Massa Maluku, Selasa (16/6/2020) malam, Richard mengatakan, dirinya sudah berkomunikasi dengan Murad melalui telepon. ”Kami sudah teleponan. Tidak ada masalah lagi,” kata Richard saat itu.
Pengamat sosial dan politik dari Universitas Pattimura, Ambon, Josep Antonius Ufi, berpendapat, gaya komunikasi pemimpin harus mempertimbangkan audiens. Murad, yang pernah menjadi Komandan Korps Brigade Mobil Polri, perlu mengubah pola komunikasinya sebagai pemimpin publik. ”Coba bandingkan gaya SBY (Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono), latar belakang militer, tetapi rasanya seperti orang sipil,” katanya.
Josep memahami gaya komunikasi spontan dan blakblakan yang menjadi pembawaan Murad secara pribadi. Hal itu bisa disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Namun, jika berada di ruang publik, Murad merupakan pemimpin publik yang setiap ucapannya menjadi konsumsi publik. ”Tidak bisa memaksakan publik dan lingkungan mengikuti gaya dan pola komunikasinya,” ujar Josep.
Baru setahun dua bulan Murad memimpin Maluku. Tidak ada kata terlambat bagi Murad....