Konektivitas Bengkulu-Jambi Diusulkan Lagi Membelah TN Kerinci Seblat
Rencana pembangunan jalan membelah Taman Nasional Kerinci Seblat sudah berulang kali ditolak pusat demi menyelamatkan lingkungan. Kali ini, Jambi dan Bengkulu sepakat menyusun lagi rencana usulan serupa.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·3 menit baca
JAMBI, KOMPAS — Gubernur Jambi Fachrori Umar menyambut usulan Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah mewujudkan konektivitas antarkedua wilayah. Namun, usulan yang bakal membelah zona inti Taman Nasional Kerinci Seblat itu kembali ditentang konservasionis maupun pengelola taman karena rentan mengancam kualitas lingkungan.
Konektivitas itu ada dua jalur. Jalur pertama, menghubungkan Kabupaten Mukomuko di Bengkulu dan Kabupaten Kerinci di Jambi sepanjang 40 kilometer. Jalur kedua menghubungkan Kabupaten Lebong (Bengkulu) dan Kabupaten Merangin (Jambi)) sepanjang 35 kilometer. Pembahasan kedua belah pihak diakhiri penandatanganan pernyataan bersama untuk peningkatan konektivitas tersebut, Selasa (23/6/2020).
”Jambi menyambut baik usulan ini,” ujar Fachrori menanggapi usulan Mersyah. Menurut dia, kedua provinsi perlu saling mendukung dan bersinergi untuk maju. Apalagi Jambi dan Bengkulu berbatasan langsung serta memiliki kedekatan sosial, budaya, dan kultural. Terkait usulan pembangunan jalan penghubung, pihaknya akan menyiapkan kajian menyeluruh dan berpedoman pada aturan.
Mersyah menambahkan, pembangunan jalan yang menghubungkan kedua provinsi itu akan meningkatkan ekonomi kedua daerah dan membangun kesejahteraan masyarakat. Pihaknya telah menyiapkan dokumen usulan pembukaan jalan tersebut. Selain itu, dia sudah merancang anggaran untuk tahun 2021. Pembangunan jalan itu direncanakan akan berjalan lewat kerja sama dengan Kodam II/Sriwijaya.
Ia pun beralasan pembangunan jalan tak hanya membuka konektivitas, tetapi juga sebagai jalur evakuasi bencana. Diakuinya, kedua jalan berada di kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Hal itu perlu disepakati lagi dan disesuaikan dengan tata ruang wilayah Sumatera.
Lebih lanjut Fachrori menjelaskan, pertemuan dirinya dengan Gubernur Bengkulu juga sebagai tindak lanjut kesepakatan bersama para gubernur se-Sumatera yang melahirkan Piagam Memorandum of Raflesia, 2019. Salah satu poin dalam memorandum itu membuat konektivitas antarprovinsi di Sumatera dapat betul-betul terhubung. Kemudian membangun kawasan ekonomi baru di barat Sumatera yang telah memiliki sejumlah pelabuhan.
”Di samping itu, untuk pengamanan wilayah terkait ancaman gempa dan tsunami. Konektivitas ini jadi mendesak,” jelasnya.
Kepala Balai TNKS Tamen Sitorus mengatakan, jalur yang akan dilalui itu merupakan zona inti dan zona rimba. Kondisi vegetasinya sangat baik dan topografinya curam. Yang tak kalah penting, kawasan itu merupakan jalur jelajah sejumlah satwa dilindungi dan memiliki peran penting bagi keseimbangan ekosistem.
”Karena kondisi-kondisi inilah kami mempertahankannya sebagai zona inti dan rimba,” jelas Tamen.
Usulan pembangunan jalan menembus zona inti TNKS telah diajukan setidaknya tiga kali sejak 2006. Selain jalan yang membuka dua jalur, masih ada lagi 30-an akses yang juga diajukan mencakup konektivitas empat provinsi, yakni Jambi, Bengkulu, Sumatera Barat, dan Sumatera Selatan.
Setiap kali usulan diajukan berujung penolakan pemerintah dengan alasan kepentingan menjaga keselamatan lingkungan. TNKS seluas 1,4 juta hektar itu diakui dunia sebagai benteng konservasi tersisa di wilayah tersebut.
Kawasan itu merupakan jalur jelajah sejumlah satwa dilindungi dan memiliki peran penting bagi keseimbangan ekosistem.
Aktivis konservasi lingkungan dari Lembaga Advokasi Hak Rakyat, Musnardi Moenir, menilai, usulan itu mengabaikan keselamatan lingkungan dan mengancam kehidupan masyarakat. Pembangunan jalan dapat merusak taman yang merupakan pusat hidrologi bagi aliran sungai-sungai besar di wilayah itu.
Alasan pemerintah daerah membuka jalan di dalam zona inti taman nasional itu juga tidak relevan. ”Alasannya, disebut sebagai jalur evakuasi gempa dan tsunami. Padahal, jalur yang akan dibuka sangat jauh dari pesisir,” katanya.
Pembangunannya yang membelah inti taman nasional rentan bakal diiringi berbagai kerusakan serta mendorong pembalakan dan perambahan liar serta perburuan satwa. Daripada mengusulkan pembukaan jalan di dalam taman nasional, lanjut Musnardi, lebih baik pemerintah daerah mengembangkan potensi wisata alam yang sudah banyak tersebar di wilayah itu. Pengembangan ekowisata akan lebih optimal mendorong kesejahteraan masyarakat.