Kayuhan Sehat Menuju Wisata Cerdas Baru di Tengah Pandemi Covid-19
Gairah gowes melanda kota-kota besar di Indonesia, tak terkecuali Bandung. Fungsinya ganda. Selain menyehatkan tubuh, pesepeda berpotensi jadi pelopor wisata cerdas baru yang lesu dihantam pandemi.
Gairah gowes melanda kota-kota besar di Indonesia, tak terkecuali Bandung. Fungsinya ganda. Selain menyehatkan tubuh, pesepeda berpotensi jadi pelopor wisata cerdas baru yang lesu dihantam pandemi.
Secuil ruas Jalan Veteran, Kota Bandung, Jawa Barat, mendadak ramai sejak beberapa hari terakhir. Barisan toko dan penjual sepeda disesaki pengunjung. Kawasan itu menjadi anomali kala pandemi Covid-19.
Ketika mayoritas pusat bisnis sepi pengunjung, toko-toko sepeda di sana justru selalu ramai. Senin (22/6/2020), keramaian itu terlihat lagi. Bahagia bagi pemilik toko. Namun, tidak untuk semua pengunjung. Banyak pengunjung kecewa karena sepeda incarannya tidak tersedia.
Salah satunya Rudi (22), warga Kelurahan Pungkur, Bandung. Siang itu, dia sudah delapan kali keluar masuk toko. Namun, ia tidak berjodoh dengan sepeda gunung yang ia impikan. ”Pesan lewat online (daring) juga sama, stok barangnya enggak ada. Padahal, sudah rencana gowes bareng teman ke Dago,” ujarnya kecewa.
Rudi mengidamkan sepeda Polygon Xtrada 5. Menurut dia, sepeda tersebut cocok digunakan untuk menyusuri jalan di kawasan perbukitan. Di situs resmi www.polygonbikes.com, sepeda jenis ini dibanderol Rp 5.550.000. Namun, kenyataannya, harganya lebih tinggi di pasaran.
Baca juga : Tren Bersepeda, Hilangnya Jalur Lambat, dan Bus BTS
Kecewa tak mendapatkan sepeda incarannya, Rudi tidak ingin berpaling ke sepeda jenis lain. Menurut dia, sepeda Polygon Xtrada 5 sesuai dengan kebutuhannya. Dia gemar menjelajah alam di kawasan hutan, perkebunan, dan perkampungan.
Mahasiswa salah satu perguruan tinggi swasta di Bandung tersebut berencana kembali ke kawasan itu pekan depan. Namun, tidak ada jaminan ia akan mendapatkannya. Sebab, ia harus bersaing dengan pemburu sepeda lainnya.
”Paling lama minggu depan harus sudah beli sepeda. Kalau enggak, saya bisa stres karena terlalu lama di rumah,” ujarnya.
Rudi mengaku sudah tiga bulan lebih sering beraktivitas di rumah. Selain membuatnya bosan, badannya pun mudah lemas. Menurut dia, bersepeda menjadi salah satu solusi paling rasional untuk berolahraga saat pandemi Covid-19. Meskipun berkelompok, jumlahnya dapat diatur agar tidak terlalu banyak dan tetap menjaga jarak.
Bersepeda menjadi salah satu solusi paling rasional untuk berolahraga saat pandemi Covid-19. Meskipun berkelompok, jumlahnya dapat diatur agar tidak terlalu banyak dan tetap menjaga jarak
Semangat kota
Keinginan untuk bugar dan tidak stres juga membuat Ridwan (38), warga Gedebage, Kota Bandung, rutin mendatangi sejumlah toko sepeda dalam sepekan terakhir. Minggu (21/6/2020), ia singgah di salah satu toko yang menjual sepeda produk Pacific di Jalan Otto Iskandardinata, Kota Bandung. Ia mengincar sepeda Pacific Vigilon 3.0 di toko tersebut. Sepeda itu dibanderol Rp 3,9 juta seperti tertulis pada selembar kertas yang digantungkan di kabel remnya.
Bermaksud membandingkan harga di tempat lain, Ridwan melangkah ke luar toko untuk menelepon temannya yang sedang berada di Jalan Veteran. Namun, ia terkejut saat kembali ke toko itu. Harga sepeda incarannya berubah menjadi Rp 4,5 juta.
”Cepat sekali naik harganya. Kalau begini terus, harus segera beli sepeda sebelum harganya naik lagi,” ujarnya.
Akan tetapi, karena hanya membawa uang Rp 4 juta, Ridwan tidak jadi membeli sepeda jenis itu. Ia berencana membeli sepeda Pacific seri lain. ”Mesti pilih-pilih lagi yang sesuai budget. Tetapi, target beli sepeda pekan depan supaya bisa gowes untuk olahraga dan menyegarkan pikiran,” ujar karyawan salah satu bank swasta itu.
Baca juga : Sepeda Seharga Puluhan Juta hingga yang Bekas Kini Laris Manis
Ridwan mengaku lebih sering bekerja di rumah dalam tiga bulan terakhir. Untuk menjaga kebugaran tubuh, ia senam setiap pagi. Menurut dia, dengan senam, badannya menjadi tidak kaku meskipun sering duduk saat bekerja di rumah. Namun, ia gampang jenuh. ”Kalau bersepeda, bisa ganti suasana. Jadi, bukan hanya tubuh yang sehat, melainkan juga pikiran,” ujarnya.
Bersepeda menjadi gaya hidup baru bagi sebagian orang di Bandung. Setiap pagi dan sore, tidak sulit menemukan pesepeda di jalan utama, seperti Jalan Merdeka, Jalan Ir H Djuanda, Jalan Asia-Afrika, Jalan Diponegoro, dan Jalan Ahmad Yani.
Gairah itu disambut Pemerintah Kota Bandung dengan mereaktivasi jalur sepeda di kota itu. Reaktivasi ini dilakukan dengan mengecat jalur sepeda di sisi kiri jalan yang pudar dihajar zaman. Pada jalur tersebut juga diberi tulisan menggunakan cat dengan kalimat Kanggo Sapeda Wungkul (Hanya untuk Sepeda).
”Hari ini mulai reaktivasi jalur sepeda dan membuat jalur yang baru,” ujar Wakil Wali Kota Bandung Yana Mulyana, Jumat (12/6/2020).
Menurut Yana, reaktivasi jalur itu merupakan komitmen menjadikan sepeda sebagai transportasi menuju tempat kerja. Harapannya dapat memancing minat masyarakat untuk menerapkannya. Untuk menandai program tersebut, Yana bersama komunitas sepeda di Bandung bersepeda dari rumah dinasnya di Jalan Nyland menuju Balai Kota Bandung di Jalan Wastukancana.
Yana menuturkan, bersepeda tidak hanya untuk rekreasi, tetapi juga transportasi sehari-hari. Ia berharap hal itu bisa menjadi budaya dalam aktivitas warga.
Ketua Umum Gowes Baraya Bandung (GBB) Anggana Nugraha berharap, meningkatnya minat warga bersepeda tidak hanya euforia. Tetapi, dapat dijadikan gaya hidup untuk hidup lebih sehat. Selain untuk kebugaran tubuh, bersepeda juga lebih ramah lingkungan karena dapat mengurangi polusi udara dari kendaraan bermotor.
Anggana mengatakan, di tengah pandemi, sepeda kembali jadi alternatif baru berwisata. Selain menguatkan tubuh, bersepeda ikut menyehatkan kawasan wisata yang lesu akibat hantaman Covid-19. ”Kita bisa berlibur dengan mengenal lebih jauh kawasan di sekitar kita sembari tetap menyehatkan tubuh,” katanya.
Kita bisa berlibur dengan mengenal lebih jauh kawasan di sekitar kita sembari tetap menyehatkan tubuh. (Anggana Nugraha)
Pelopor baru
Dalam buku Pariwisata di Hindia-Belanda (1891-1942) yang ditulis Achmad Sunjayadi, sepeda memiliki peran besar meletakkan dasar pariwisata di Indonesia. Salah satu yang terekam sejarah adalah keberadaan Nederlandsch Indische Wielrijders-Bond (NIWB) atau Perkumpulan Sepeda Hindia-Belanda.
Organisasi ini berdiri 1 Januari 1893 atau 3 tahun setelah ban karet berisi angin diperkenalkan tahun 1890. Anggotanya orang Eropa. Kedekatan dengan negeri Belanda, yang dianggap sebagai salah satu empunya sepeda, membuat teknologi ini berkembang di Hindia Belanda.
Sunjayadi mengatakan, ada versi sejarah yang mengatakan sepeda diperkenalkan di Asahan, Sumatera Utara, oleh seorang Eropa yang bekerja di perusahaan tembakau tahun 1894. Wajar, tak sembarangan orang bisa membeli barang-barang yang dibuat di luar negeri.
Akan tetapi, ia memperkirakan, sepeda sudah menggilas Nusantara awal 1890. Mengutip Java Bode tahun 1890, ada perjalanan sepeda seorang tidak dikenal dari Batavia (Jakarta) ke Buitenzorg (Bogor) pada 7 April 1890. Tujuannya, ”Melintasi sebagian kecil Insulinde (negara kepulauan-nama lain Indonesia) kita yang indah”.
Baca juga : Dorongan Lajur Sepeda ”Pop Up” Tetap Ada, Bahkan Durasinya Diperpanjang
Selain organisasi yang diisi orang Eropa, ada juga perhimpunan sepeda yang didirikan orang Tionghoa, Chineese Wielrijders-Bond di Batavia tahun 1898. Perhimpunan itu berdiri untuk mempererat persahabatan dan saling membantu anggota yang mengalami kecelakaan di jalan. Orang Eropa dan pribumi bisa juga bergabung dalam kelompok ini. Agen sepeda yang bermitra dengan kelompok ini disebutkan ada di Buitenzorg, Sukabumi, dan Bandung.
Kegiatan NIWB dan perkumpulan lainnya lambat laun berkembang pesat. Tidak hanya berolahraga, mereka juga gemar melakukan perjalanan ke berbagai tempat saat akhir pekan. Kegiatan itu disebutkan sebagai awal promosi dan kegiatan wisata di Hindia Belanda.
Saat ini, Anggana mengatakan, pesepeda bisa kembali jadi pelopor. Tidak hanya menyehatkan tubuh, tetapi juga ikut mempromosikan cara berwisata sehat. Saat pandemi Covid-19, syarat bersepeda seharusnya dilakukan lebih ketat.
Tidak hanya menyehatkan tubuh, tetapi juga ikut mempromosikan cara berwisata sehat. Saat pandemi Covid-19, syarat bersepeda seharusnya dilakukan lebih ketat.
”Kalau sebelum pandemi wajib memakai helm, sepatu, dan sarung tangan, saat ini ditambah masker dan membawa hand sanitizer. Jaga jarak minimal 1 meter. Selain itu, kebiasaan nongkrong saat atau setelah bersepeda harus ditinggalkan,” ujarnya yang mengakui masih ada pesepeda yang belum disiplin menerapkan hal itu.
Gowes kembali menjadi gaya hidup baru kala pandemi Covid-19. Namun, semuanya harus lebih dari sekadar meributkan jenis dan spesifikasi sepeda yang digunakan. Dengan tetap mengutamakan, syarat keselamatan dan kesehatan, kayuhannya bisa menjadi semangat orang Indonesia berbuat lebih cerdas di kala pandemi.